Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

<font size=1 color=#FF9900>PELECEHAN SEKSUAL</font><br />Di Bawah Pengaruh Anand

Polisi menetapkan Anand Krishna sebagai tersangka kasus pelecehan seksual. Pengacara Anand menunjuk bukti-bukti yang dimiliki polisi lemah.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT yang disodorkan polisi itu membuat Anand Krishna terkejut. Selasa malam pekan lalu itu, setelah memeriksanya sekitar sebelas jam, polisi memutuskan segera menahan Anand. Surat perintah penahanan dibuat dan Anand diminta menandatanganinya.

Membaca sebentar isinya, wajah Anand langsung berubah. Terlihat pucat. Pria 56 tahun bertubuh tambun itu memanggil dokter pribadinya, yang saat itu duduk tak jauh dari ruang pemeriksaan.

Tapi dokter itu hanya bisa melongok di pintu masuk. Polisi melarang dokter tersebut memeriksa Anand. ”Polisi meminta Anand dibawa ke klinik kesehatan Polda Metro Jaya,” kata Darwin Aritonang, pengacara Anand. Dipapah dua petugas, Anand berjalan menuju klinik. Namun, baru sekitar sepuluh langkah keluar dari ruang pemeriksaan, tubuhnya lunglai. Anand pingsan.

Malam itu, setelah sempat diperiksa di klinik Polda Metro, pendiri dan pemilik Yayasan Anand Ashram itu dilarikan ke Rumah Sakit Polri Dr Soekanto, Kramat Jati, Jakarta Timur. Dirawat tiga hari di sana, Kamis pekan lalu, ia dipindahkan ke Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Barat. ”Dia punya penyakit jantung, gula, dan darah tinggi,” ujar Darwin.

Darwin menduga kliennya semaput lantaran kelelahan diperiksa berjam-jam. Pemeriksaan ini berlangsung nonstop, tak memberikan kesempatan kliennya istirahat makan malam. ”Dia hanya makan siang dengan bekal nasi merah yang dibawa dari rumah.”

Tak hanya pemeriksaan tanpa jeda yang diprotes Darwin. Dia juga sempat memprotes pemeriksaan yang direkam kamera. Adanya kamera ini membuat kliennya tertekan. ”Saya sudah mengirim keberatan terhadap pemeriksaan memakai kamera ini kepada Kapolri,” kata Darwin.

Sejauh ini polisi menganggap tak ada prosedur yang dilanggar dalam pemeriksaan terhadap Anand. Soal adanya kamera itu, misalnya, menurut juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, itu penting untuk dokumentasi dan bukti polisi. ”Yang pasti, berdasarkan keterangan saksi dan bukti, unsur pelecehan seksual yang dilakukan Anand sudah terpenuhi,” ujarnya.

l l l

ADALAH Tara Pradipta, 19 tahun, yang melaporkan Anand ke polisi. Pertengahan Februari silam, kepada polisi, mantan murid Krishna Kumar Tolaram Gangtani—demikian nama asli Anand Krishna—itu mengaku sejak Mei hingga Juni 2009 mengalami pelecehan seksual oleh gurunya. ”Saya sering digerayangi guruji,” ujarnya kepada Tempo. Guruji adalah sebutan untuk Anand oleh murid-muridnya.

Selain sebagai murid, selama ini Tara aktif membantu Anand di Yayasan Anand Ashram, yayasan milik Anand yang bergerak di bidang pengembangan diri dan kegiatan sosial.

Perkenalan Tara dengan Anand terjadi pada Juli 2008. Saat itu, menurut Tara, ia diajak ibunya, yang kala itu mengikuti pelatihan manajemen stres yang diasuh Anand, untuk mengikuti kegiatan di Anand Ashram, Jakarta.

Merasa cocok dengan pelatihan tersebut, Tara kemudian aktif di berbagai acara yang digelar Anand. Oleh Anand, bahkan ia kemudian ditunjuk sebagai Ketua Kelompok Pembawa Obor, wadah muda-mudi di Anand Ashram. Sejak itulah, menurut Tara, ia kerap diajak Anand mengunjungi Anand Krishna Center di Bali dan Ciawi, Bogor.

Menurut Wijarningsih, ibu Tara, awalnya ia senang putrinya aktif di kegiatan Anand. Tapi, pada Maret 2009, ia melihat ”tanda-tanda” keanehan muncul pada Tara. ”Dia mulai melawan saya,” kata Wijarningsih. Wijarningsih terkejut ketika suatu hari anaknya itu menyatakan akan keluar dari kuliahnya di sebuah sekolah tinggi komputer. Kepada sang ibu, Tara menyebut itu perintah Anand Krishna.

Sejak itulah Wijarningsih melarang keras anaknya menghadiri acara-acara di Anand Ashram. Tara melawan. Lewat status di Facebook, anak sulung dari dua bersaudara itu ”meneriakkan” kondisinya. Ia menyatakan dirinya disekap orang tuanya.

Tulisan Tara di situs jejaring sosial ini rupanya membuat pengikut Anand turun tangan. Mereka menemui orang tua Tara dan meminta gadis itu diberi kebebasan. Orang tua Tara menyerah. Akhirnya mereka mengizinkan Tara kos.

Wijarningsih kemudian mengkonsultasikan kasus yang dialami anaknya itu kepada psikolog. Menurut Wijarningsih, psikolog itu menyimpulkan anaknya telah mengalami pencucian otak. ”Saat itu kami memutuskan mengambil Tara dari kosnya,” ujar Wijarningsih. Selama tiga bulan, kata Wijarningsih, ia memanggil psikolog untuk menyembuhkan Tara.

Nah, pada saat menjalani terapi dari sang psikolog inilah kasus pelecehan yang dialami putrinya terkuak. Ketika diterapi, kata dia, Tara—tanpa sadar—bercerita ia kerap dipeluk, dicium, dan diraba-raba oleh Anand. Kejadian itu, menurut Tara—saat diterapi—terjadi berulang-ulang. ”Dia bilang, dia diminta Anand untuk tidak menceritakan apa pun yang telah dilakukan Anand terhadap dirinya.”

Kepada Tempo, Tara bercerita, setiap mengikuti acara di Anand Ashram dirinya memang selalu didoktrin agar berbakti kepada gurunya—ya, Anand itu. Anand, kata Tara, selalu berulang-ulang mencekoki dirinya cerita tentang Mirabai dan Prahalad. ”Jangan sampai jadi Mirabai,” kata Tara, meniru ucapan Anand. Cerita Mirabai, menurut Tara, mengisahkan kehidupan Mirabai yang menyesal seumur hidupnya karena lebih memilih keluarga ketimbang gurunya. ”Tapi, sekarang, kalau saya mengingat yang dia lakukan, saya ingin muntah,” ujar Tara.

Agung Matauch, kuasa hukum Tara, mengatakan kliennya bukan satu-satunya korban Anand Krishna. ”Ada empat korban lain,” kata Agung. Mereka, menurut Agung, digerayangi Anand di tempat dan waktu yang berlainan. Salah satu korban adalah Sumidah, terapis di Pusat Terapi dan Spa L’Ayurveda Jakarta. Sumidah, kata Agung, juga melihat pelecehan seksual yang dilakukan Anand terhadap Tara.

Kepada Tempo, Sumidah berkisah, pada pertengahan Juni tahun lalu dia ditugasi menjadi terapis di L’Ayurveda Bali. Di tempat ini Anand kerap meminta dipijat. ”Awalnya biasa, lama-lama hanya daerah sensitif yang minta dipijat,” kata Sumidah. Menurut Sumidah, karena tidak tahan dengan permintaan Anand, ia kabur dari L’Ayurveda.

Tapi semua pengakuan Tara dan Sumidah itu disangkal Darwin. ”Tidak ada pelecehan seksual,” katanya. Darwin mengakui kliennya memang kerap bertemu dengan Tara. ”Tapi tidak pernah berduaan,” ujarnya. Kepada pemeriksanya, Selasa pekan lalu, Anand juga berkeras tak pernah melakukan perbuatan seperti yang dituduhkan Sumidah. Terapis itu dikeluarkan dari tempat kerjanya. ”Dia tidak disiplin,” ujarnya.

Anggota tim pengacara Anand Krishna lainnya, Otto Hasibuan, menyatakan bukti yang dipakai polisi menetapkan kliennya sebagai tersangka sangat lemah. ”Karena hanya berdasarkan keterangan saksi pelapor,” katanya.

Menurut Otto, saksi kunci kasus ini, Maya Safira Muchtar, Ketua Yayasan Anand Ashram, menegaskan tidak pernah ada perbuatan cabul saat Anand bertemu dengan Tara. ”Saksi Sumidah juga hanya melihat Tara diantar Maya menemui Anand di lantai tiga kantor Anand Ashram,” ujarnya. Adapun e-mail atau foto-foto yang dimiliki polisi, kata Otto, tidak ada satu pun yang memperlihatkan Anand melakukan pelecehan seksual.

Walau bukti masih lemah kini Anand, berstatus tersangka. Menurut Boy Rafli Amar, dengan tuduhan melakukan pelecehan seksual itu, Anand diancam hukuman hingga tujuh tahun penjara.

Sutarto, Agung Sedaya (Jakarta), Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus