IBNU Khaldun, sejarawan besar abad ke-14 itu, pernah melukiskan jatuh bangunnya dinasti dan kerajaan sebagai cerita perjuangan antara dua kutub. Di satu pihak orang-orang badui, di lain pihak kota-kota. Di abad ini, di Timur Tengah, tema ini agaknya punya variasinya sendiri. Sang badui kini bisa merupakan sebuah kiasan, seperti para tokoh dalam novel Arab yang tak begitu bagus tapi penuh kemarahan, Kota Garam. Si badui adalah lambang sekelompok orang dan segugus sikap: sikap mereka yang mengibarkan warna pribumi, mereka yang seakan masih tebal diliputi debu gurun dan mengunyah garam tradisi. Dengan kata lain, orang-orang yang liat, utuh, dan berakar kukuh. Sebaliknya, kota-kota adalah lingkungan budaya yang sudah terpengaruh asing. Rumah-rumah nyaman, bantal dan kasur empuk, disusun oleh pelbagai unsur yang dulu tak ada dalam hidup. Di sana, persentuhan dengan dunia dan orang luar telah terjadi, disengaja atau tidak. Petrodolar bisa menerbangkan orang dari Riyadh yang berpura-pura alim ke Bangkok yang malu-malu maksiat. Kemurnian pun luntur. Keaslian pudar. Kekukuhan surut. Sangat muaah menunjukkan contoh kota yang kehilangan vitalitas seperti itu: Beirut yang dulu kebarat-baratan dan kini runtuh. Tapi di manakah gerangan sebenarnya sang "badui" di masa sekarang ini? Pertanyaan ini adalah pertanyaan tentang sebuah teladan. Siapa yang masih memiliki tempat berpijak yang murni dan asli dalam menghadapi gempuran dunia modern yang datang dari Barat yang "kafir" itu? Siapa pendukung kepribadian Arab yang otentik, yang tulen -- yang sering diidentikkan dengan "Islam" itu? Muammar Qadhafi yang hidup di kemah revolusioner, atau Sultan Kuwait yang meneruskan struktur kekuasaan lama yang tak meniru Eropa? Saddam Hussein yang menentang Amerika tapi sekuler, atau Raja Fahd yang pro-Amerika tapi berupaya jadi penerus pelayan Kaabah? Dengan kata lain, siapakah orang-orang yang tak tercerabut, orang-orang yang mengemban kesinambungan dengan tradisi? Jawabannya sungguh tidak mudah. Barangkali karena teramat banyak di antara kita -- dan saya tak cuma berbicara tentang orang Islam dan orang Timur Tengah -- yang hidup dengan "dua pembukuan moral". Moral double book keeping, kata Cliford Geertz dalam Islam Observed: di buku yang satu kita asyik dengan koleksi mesin-mesin yang paling modern dari Barat, di buku yang satu lagi kita cantumkan tebal-tebal lambang, ungkapan, dan perilaku kita yang paling tidak Barat, bahkan anti-Barat. Dalam kata-kata Fouad Ajami yang menulis The Arab Predicament, di situlah nampak "sikap takluk kepada sebuah budaya yang dominan dan sekaligus pemberontakan terhadapnya". Kita merangkul bagian dari dunia modern itu karena kita takut ketinggalan, tapi kita berseru mengecamnya untuk meneguhkan kembali bahwa kita bukan bagian yang sama dengan arus "gila" itu -- justru di saat kita sedang hanyut. Demikianlah maka kita menghimpun semen dan baja, rumah sakit bagus dan pusat tenaga nuklir, komputer mainframe dan perdagangan valuta asing, percetakan canggih dan televisi warna -- pendeknya, seperti yang dibuat dan dinikmati orang di Barat. Hanya bedanya inilah, "Barat yang tanpa kehidupan ide-idenya, tanpa keseniannya, buku-bukunya, budaya perlawanannnya," seperti kata Ajami. Artinya, pada saat kita mengecam Barat yang "materialistis", kita melahap benda-bendanya. Dan, pada saat kita melahap benda-benda itu, kita lupa menelaah bahwa ada proses mencari, mempertanyakan, dan mengkritik sebelum benda-benda itu dihasilkan oleh para ahli ilmu dan teknologi. Syahdan, di abad ke-8, di Baghdad ada perpustakaan yang terbesar tak hanya di dunia Islam, tapi di seluruh dunia: himpunan pengetahuan yang menandakan niat mencari yang tekun dan berani. Kini Baghdad telah berubah: di sana bahkan orang tak boleh bebas memiliki mesin ketik karena itulah alat menulis, alat subversif yang bisa menyampaikan pikiran. Maka, jika ada masa lalu yang berharga, barangkali itulah: Baghdad di masa lalu itu. Ia membuktikan bahwa kota-kota tak selamanya harus merupakan tempat terkutuk, dan pertemuan dengan pelbagai yang asing tak berarti kelemahan. "Kosmopolitan" tak hanya berarti minum brendi dan kecabulan. Tak semua kota adalah Beirut. Di hadapan kota yang seperti Baghdad abad ke-8 itu, sang badui tak usah kalah. Sebab, ia bukan musuh. Dalam pencarian kebenaran yang tak menatap hanya ke satu arah, sang badui adalah seorang mitra. Ia hadir dalam dialog, dalam pertukaran pengalaman dan pertautan inspirasi. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini