Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pelarangan yang terlambat?

Jaksa agung singgih melarang peredaran empat buku: 1. the devious dalang ... 2. amerika serikat dan penggulingan soekarno. 3. geger lampung dan kaum sempalan. 4. heboh ayat-ayat setan.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH hari setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, minggu lalu Singgih melarang beredarnya empat buku. Dua di antaranya mengenai kontroversi keterlibatan Bung Karno dalam G30S-PKI: The Devious Dalang: Soekarno and the socalled Untung Putsch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko, dan Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno. Dua lainnya Geger Lampung dan Kaum Sempalan serta Heboh Ayat-Ayat Setan. Menurut Kejaksaan Agung, The Devious Dalang secara lugas menguraikan keterlibatan Bung Karno dalam G30S-PKI. Selain itu juga dibeberkan beberapa perwira ABRI yang pro dan yang kontra terhadap Bung Karno. Sumbernya 14 berita acara pemeriksaan (BAP) pertama setebal 90 halaman, berisi interogasi Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu) Kopkamtib terhadap bekas ajudan Presiden Soekarno, Kol. KKO Bambang Setyono Widjanarko. Tapi BAP itu, menurut Kejaksaan Agung, bersifat auditu (didengar atau diketahui dari orang lain) tanpa dikonfirmasikan atau dikuatkan oleh alat bukti lain, sehingga pembuktiannya mengambang. Kejaksaan Agung menilai beredarnya buku itu bisa menimbulkan pro dan kontra terhadap Bung Karno, hingga dikhawatirkan bisa menjurus ke arah kerawanan. Buku terbitan Interdoc Publishing House setebal 225 halaman itu diterjemahkan Rahadi S. Karni, 54 tahun, ke dalam bahasa Inggris. Ia kepala dokumentasi Modern Indonesia Department pada Royal Institute of Linguistics and Anthropology, Leiden. Di kalangan ilmuwan Barat, kesaksian Widjanarko dikenal sebagai Widjanarko Papers atau Widjanarko Reports. Di situ dimuat pengantar Dr. Anthonie C.A. Dake, 62 tahun, sepanjang enam halaman. Dake yang bekas wartawan Het Parool ini memperoleh Ph.D. ilmu politiknya di Free University, Berlin Barat. Ketika mencari bahan penyusunan tesis doktornya di Indonesia pada 1971, ia memperoleh dokumen BAP Widjanarko, "dari orang-orang yang ingin meluruskan sejarah, dan orang-orang yang dirinya atau keluarganya menjadi korban PKI". Widjanarko diinterogasi pada 1970 antara lain oleh Letkol. Soegiarjo. Bagi Dake, yang kini direktur Delta Cable, sebuah televisi swasta saluran terbatas di Belanda, dokumen itu merupakan kunci penelitian. Pada 1973 tesis itu diterbitkan Mouton Publishing Company -- sebuah penerbitan Belanda yang dikenal antikomunis -- berjudul The Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communist between Moskow and Peking 1959-1965. Beberapa kesaksian ditafsirkan sebagai bukti keterlibatan Bung Karno dalam G30S-PKI. Misalnya ketika Bung Karno menerima surat yang diserahkan Letkol. Untung sehari menjelang 30 September 1965, yang ditafsirkan sebagai "laporan" bahwa G30S-PKI siap bergerak. Nama para jenderal yang dibantai di Lubang Buaya juga sama dengan "jenderal-jenderal yang tidak setia" yang disebut-sebut Bung Karno. Dan Bung Karno dikatakan tidak kaget atau ingin menengok para jenderal yang terbunuh. Kesaksian Widjanarko belakangan juga dibeberkan dalam buku bekas Kabakin Jenderal (Purn.) Yoga Soegomo, Memori Jenderal Yoga. Bahkan sebelum buku Yoga terbit, Soegiarso Soerojo, bekas intel itu, juga membeberkannya secara panjang lebar dalam Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Tapi Kejaksaan Agung tidak melarang kedua buku yang kontroversial dan sama-sama menggunakan BAP yang sangat rahasia itu. BAP itu tidak dilampirkan dalam The Red Banteng. Maka, untuk menghadapi golongan kiri Belanda yang mengecam bukunya itu, Dake menerbitkan Widjanarko Papers secara terpisah berjudul The Devious Dalang. "Dokumen itu merupakan kesaksian dasar. Selama ini banyak teori mengenai G30S-PKI. Ada yang bilang itu ulah PKI, atau ulah CIA mendongkel Bung Karno. Tapi dokumen itu jelas menunjukkan Bung Karno sebagai dalangnya," kata Dake. Mengenai "mutu" dokumen itu, Rahadi S. Karni menulis nota pendek pada pembukaannya, yang menyatakan keasliannya. Menurut dia, BAP berupa carbon copy itu -- waktu itu di Indonesia belum ada mesin fotokopi -- merupakan tembusan ketiga atau keempat, yang tidak ditandatangani oleh para interogator. Namun, menurut Rahadi, berbagai petunjuk meyakinkan bahwa dokumen itu cukup sah, misalnya dari gaya bahasa dalam tanya jawab. "Tapi kesimpulan tentang keaslian dokumen itu tidak bisa 100%," tambahnya. Dake mengaku, ketika di Indonesia, 1973, ia berusaha memeriksakan berkas itu kepada beberapa ahli. Namun, ia tidak berusaha mengonfirmasikan dokumen itu kepada Widjanarko sendiri. Alasannya, "Karena saya sulit untuk bertemu dengannya. Dan lagi saya mendengar kabar bahwa saat itu Widjanarko sedang dipenjara." Tidak jelas dari mana Dake memperoleh kabar itu karena Widjanarko sendiri pada TEMPO menegaskan, "Saya tidak pernah ditahan, apalagi dipenjara." Toh Dake menolak tuduhan bahwa dokumen itu tidak asli. "Buat apa orang membuat dokumen palsu setebal 90 halaman? Lagi pula, isinya penuh dengan keterangan penting yang hanya bisa diungkapkan oleh orang-orang yang benar-benar tahu dan terlibat di dalamnya," katanya lagi. Ia mengaku tak bermaksud menjelek-jelekkan Bung Karno. "Saya tahu betapa ia dipuja di Indonesia. Tesis saya itu sesungguhnya merupakan sebuah excercise of analysis tentang hubungan komunisme sedunia," katanya. Sementara itu, Rahadi menyesal telah menerjemahkan BAP tanpa mengingat keselamatan orang-orang yang terlibat dan masih hidup. "Saya belum pernah bertemu dengan Widjanarko. Tapi ketika saya dengar bahwa ia terkejut dan menulis surat protes, saya menyesal," katanya. Protes itu dimuat di Merdeka, 7 Oktober 1974, dua hari setelah harian itu memuat berita penerbitan The Devious Dalang. Di situ Widjanarko menyatakan tidak tahu-menahu dengan penerbitan buku itu, juga tidak mengenal penyusunnya. Ia menegaskan belum pernah memberitahukan isi BAP kepada siapa pun. Ia juga menulis surat kepada Pangkopkamtib, yang isinya sama. "Seluruh copies BAP tersebut disimpan oleh Teperpu/Kopkamtib dan kepada kami satu copy pun tidak diberikan," tulisnya. Menurut Widjanarko, keterlibatan Bung Karno dalam G30S-PKI hanyalah penafsiran Dake atas surat yang diserahkan Untung kepada Bung Karno sehari sebelum 30 September 1965. "Tapi apa surat itu dari Untung, dari PKI, atau dari cewek, saya nggak tahu. Saya kan cuma ajudan," kata Widjanarko kepada Nunik Iswardhani dan TEMPO. Tapi ia lega bahwa pada akhirnya The Devious Dalang dilarang. "Hanya sayang pelarangan itu terlambat, karena buku itu sudah terbit 16 tahun lalu," katanya. Penerbitan lain yang dilarang ialah AS dan Penggulingan Soekarno. Tulisan Peter Dale Scott, profesor ahli bahasa Inggris dari Universitas California, Berkeley, AS, yang juga sejarawan ini pada 1984 dimuat di berkala Pacific Affairs. Makalah ini, entah oleh siapa, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diketik dengan mesin ketik biasa sepanjang 43 halaman folio, dengan bahasa Indonesia yang bagus. Menurut Kejaksaan Agung, Dale menguraikan peranan CIA menggerakkan AD, terutama Seskoad, menjatuhkan Presiden Soekarno. Karena Dale menyimpulkan bahwa G30S-PKI merupakan kudeta yang dilakukan kelompok Soeharto, maka Kejaksaan Agung menilai hal itu mengaburkan fakta sejarah. Dua buku lainnya ialah suntingan Petrus Bambang Siswoyo, 40 tahun, pemilik penerbitan UD Mayasari, Solo. Heboh Ayat-Ayat Setan dan Geger Lampung dan Kaum Sempalan, terbit tahun lalu, dikerjakan rata-rata hanya selama sebulan. Pada 1988, sudah ada bukunya yang dilarang: Bung Karno Dalang G30S-PKI? Petisi 50 Sekitar Petisi 50 Peristiwa Lampung dan Gerakan Sempalan. Padahal, rangkuman kliping itu, menurut Bambang "tidak ada tujuan politik sama sekali". Bambang sebenarnya heran atas pelarangan ini. Soalnya, sebulan sebelum kedua buku ini diterbitkan, ia sudah mengirimkan naskahnya ke 12 instansi, termasuk Kejaksaan Agung. Tak ada reaksi. Setelah buku itu terbit, Desember 1989 Bambang kembali mengirimkannya ke Kejaksaan Agung. Lagi-lagi tidak ada tanggapan. "Dan tiba-tiba, sekarang kok buku saya dilarang," keluhannya. Sebelum melarang keempat barang cetakan/buku itu, tahun ini Kejaksaan Agung telah melarang dua buku lain: Permesta, Kandasnya Sebuah Cita-Cita dan Kesaksian Kaum Muda. Tahun lalu, instansi yang sama melarang beredarnya sembilan buku. Budiman S. Hartoyo, Yudhi Soerjoatmodjo, Wahyu Muryadi, G. Sugrahetty Dyan K., Kastoyo Ramelan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus