KIAI Ali murah senyum. Kiai yang menjadi anggota DPR mewakili
sebuah daerah di luar Jawa ini jarang mengeluarkan suara,
meskipun itu tentu tidak ada hubungannya dengan watak hidup
lembaga perwakilan itu saat ini.
Gerak-geriknya halus, tegur sapanya ramah, suaranya tidak keras
dan selalu lebih banyak mendengarkan ucapan orang daripada
berucap sendiri. Tingkah-lakunya merendah, sesuai dengan akhlak
yang dirumuskan dalam kitab-kitab kuno. Mungkin jarang makan di
luar, jajan di restoran dan sebagainya, karena menurut kitab
Ta'limul Muta'allim makanan seperti itu kurang berkahnya.
Tetapi tanda lahiriah yang berupa senyumnya yang khas yang
paling nampak dalam pergaulan. Mendengar pujian orang lain ia
hanya tersenyum, mungkin heran mengapa sampai begitu jauh pujian
diberikan bagi tindakan atau sifat yang dianggapnya sendiri
sebagai hal yang biasa.
Mendengarkan argumentasi bertele-tele dalam rapat fraksi maupun
kelompok, ia juga tersenyum saja. Mungkin geli mendengarkan
alasan tidak masuk akal yang sering diajukan, kalau tidak
malahan alasan kekanak-kanakan.
Bahkan mendengarkan kritik pun Kiai Ali selalu tersenyum:
hormatilah pendapat yang berbeda dengan pendirianmu, begitu kata
kitab-kitab kuno tentang tata cara berdebat (adabul muzadzarah).
Begitu rendah hati dalam bersikap, begitu sederhana dalam
penampilan dan begitu lemah-lembut dalam berkomunikasi. Yang
terjadi adalah kebalikan dari harapan para penulis kuno yang
begitu getol menganjurkan sifat kekesatriaan dan kebijaksanaan
seperti itu. Bukannya penghormatan dan toleransi yang didapatnya
dari orang lain, melainkan penghormatan di mulut dan sodokan di
pinggang yang diperoleh.
Walhasil, profil dari tragisnya wibawa moral yang tidak dilayani
orang lain. Dianggap lemah dalam pendirian, karena terlalu
banyak memberikan kesempatan pada pihak lain. Dikira tidak
tegas, karena tidak mau memberikan keputusan cepat-cepat.
Dituduh tidak memiliki kepemimpinan karena tidak 'keras' dan
berani.
Walhasil, tidak memenuhi citra orang dinamis yang penuh
inisiatif dan memiliki dorongan untuk berprestasi tinggi. Tidak
mempunyai 'kebutuhan mencapai sesuatu' (need of achievement)
dalam hidup ini. Pantas tidak berjiwa wiraswasta, maklum kiai!
Yang sering dilupakan adalah sebuah aspek penting dari
kehadirannya, yaitu kemampuannya mengajukan penunjang dari
pandangan keagamaan atas berbagai hal yang merupakan pemikiran
atau gagasan rintisan. Banyak hal yang tadinya diduga tidak
diperkenankan oleh agama, ternyata memiliki dimensi kompleks
yang berkaitan dengan pandangan positif agama. Banyak persoalan
yang tadinya dianggap tidak bersangkut-paut dengan pandangan
agama, ternyata ada landasan keagamaannya juga. Banyak masalah
yang tadinya dikira tidak patut dikemukakan kepada kalangan
kiai, ternyata ditunjukkannya sudah dirembuk para ulama sejak
berabad-abad yang lalu.
Penulis sendiri tercengang ketika kiai yang satu ini memaparkan
hubungan agama dengan strategi pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, itu 'basic need 'strategy yang sekarang menjadi
benderanya kaum membangun dari orientasi politik berlain-lainan.
Di kitab Fathul Mu'in ada masalah itu, kata Kiai Ali. Coba lihat
bagian jihad, yang pengertiannya bukan seperti disangka orang
selama ini. Jihad adalah perang suci secara militer menurut
alasan keagamaan, itu kalau diserang. Tetapi jihad yang lain
juga kewajiban fakultatif (fardu kifayah): menyebarkan ajaran
agama, membuktikan kebenaran dan ke-Esa-an Allah, juga
menyediakan kebutuhan pokok manusia, itu semua adalah jihad.
Bagaimana mungkin menyediakan kebutuhan pokok dianggap jihad,
Kiai? Karena memang begitu perumusannya, jawab Kiai Ali. Coba
lihat rumusannya: menjaga dari kerusakan mereka yang dilindungi
Islam. Bagaimana mungkin dijaga dari kerusakan, kalau tidak
dipenuhi kebutuhan pokoknya? Karena itu jangan heran kalau
Syarah (komentar) Fathul Mu'in, judulnya I'anah, merumuskan
kewajiban jihad yang satu ini sebagai berikut: menyediakan
makanan utama (qut) sebanyak 0,6 kg beras sehari per orang
untuk kawasan kita di sini, pakaian dua stel satu tahun, tempat
tinggal yang aman dari gangguan, dan biaya pengobatan. Lalu apa
namanya rumusan begini ini, kalau bukan kebutuhan pokok?
Ditanya tentang sterilisasi, aborsi dan masalah-masalah 'gawat'
sebangsa itu, Kiai Ali tidak langsung menjawab boleh atau
tidaknya. Harus ada kriterianya dahulu, yang dalam bahasa
kitabnya dinamai syarat-masyrut-nya. Dilihat kesesuaiannya
dahulu antara tujuan dan metode yang digunakan untuk
mencapainya, atau menurut kitab kuno, ghayah wal wasa'il-nya.
Harus dihadapkan dahulu kepada kenyataan situasional
(waqiah)-nya, sehingga kita tahu tepat apa yang menjadi kehendak
kita (gharad) dalam sesuatu persoalan. Tidak mudah, bukan?
Kalau dilihat dari sudut pengamatan ini, jelas bahwa Kiai Ali
bukanlah orang yang semudah diperkirakan seperti semula.
Murahnya senyum yang menghiasi bibir tidak berarti ketololan
untuk menyatakan pendapat tanpa mengkaji dahulu persoalannya
secara mendalam. Kecenderungan untuk berlama-lama mengambil
keputusan bukanlah sesuatu yang tidak direncanakan, melainkan
untuk menghadapkan persoalan secara situasional kepada pendapat
ulama di masa lalu seperti yang tercantum di kitab-kitab kuno.
Keengganannya untuk memberikan 'ketegasan' dalam sesuatu
persoalan adalah hasil dari pengetahuan mendalam tentang
kekurangan yang ada pada berbagai alternatif yang dihadapkan
satu kepada yang lain -- sudah tentu dengan tujuan mencari
pendapat akhir yang sanggup menutupi semua kekurangan tersebut.
Dengan demikian, apa yang secara lahiriah tampak sebagai sikap
ragu, sebenarnya adalah 'pengarahan' orang lain untuk berpikir
lebih lengkap dan menyadari kompleksitas persoalan. Apa yang
tampak sebagai 'kurangnya kepemimpinan', sebenarnya adalah
pertanggungjawaban keberanian untuk mengambil sikap akhir yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan kita, dan yang memiliki
landasan keagamaan yang kuat dalam artian sebenar-benarnya.
Tidak heranlah kalau orang yang tampaknya lemah-lembut, mengalah
saja kepada orang lain, dan tidak pernah memaksakan pendirian
kepada orang lain ini, sebenarnya juga orang yang berpendirian
teguh kalau sudah sampai pada kesimpulan. Tidak beranjak dari
pendirian, tidak tergerak juga oleh gangguan, karena ia sampai
pada kesimpulan melalui proses panjang dan sangat kompleks.
Apa yang diperoleh, dimiliki dan kemudian dipertahankannya
mati-matian bukan lagi hanya sebuah kesimpulan tentang sesuatu
persoalan, tetapi telah menjadi sebuah pendapat yang dianggap
paling benar. Ia sampai kepada keyakinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini