API menghanguskan pabriknya di Jalan Batu, Jakarta, Mei 1978.
Sepatu Hana sejak itu boleh dikatakan hilang dari peredaran.
Untuk bangkit kembali, pabrik sepatu milik pribumi tersebut
memasang dua mesin modern di pabriknya yang baru di Kawasan
Industri Pulogadung.
Hana nampaknya sudah mulai mengincar pasar ketika tiba-tiba dua
pekan lalu pecah sengketa antara buruh dan pimpinan perusahaan.
Soalnya, nampaknya berkisar pada mesin-mesin baru itu. Pihak
majikan beranggapan jumlah buruhnya yang 1.200 orang terlalu
banyak dan tak bisa diserap oleh modernisasi mesin. "Memang,
sejak masuknya dua mesin modern itu tenaga buruh dikurangi
pimpinan perusahaan secara berangsur," kata seorang buruh,
Rusman Sartimin.
Secara bertahap perusahan memutuskan hubungan kerja dengan para
buruh sejak pertengahan 1980 ketika mesin-mesin itu mulai
dipasang. Sehabis cuti lebaran tahun lalu, menurut Serikat Buruh
Karet & Kulit/FBSI Basis PT Hana, 150 orang buruh diberhentikan.
Mereka menerima pesangon satu bulan gaji.
Kemudian tindakan itu dilanjutkan lagi dengan merumahkan sekitar
300 buruh dengan bayaran Rp 3 000/minggu. Mereka dirumahkan,
alias dibiarkan menganggur, sampai batas waktu yang tak
diketahui. Keadaan ini membangkitkan protes dari kalangan buruh.
Pimpinan SB Karet & Kulit/FBSl Basis PT Hana 16 Januari lalu
menyampaikan pengaduan kepada Oka Mahendra SH dari Tim
Perburuhan Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI.
Minggu kemarin sengketa ini sudah berada di tangan Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P). Pihak
buruh menuntut pesangon sebesar tiga bulan gaji. Tapi ditolak
majikan. Karena pengrumahan buruh itu sebagaimana dikatakan
Direktur Utama PT Hana Soeryantono Soeryo, "untuk menyehatkan
perusahaan yang kini sedang sakit." Katanya kalau perusahaan
sudah membaik para buruh akan dipanggil masuk kerja kembali.
Untuk tingkat sekarang pabrik itu hanya memerlukan 50% dari
tenaga buruh yang ada selama ini.
Tanggal 30 Januari terjadi lagi pencutian buruh. Mereka yang
jadi korban diumumkan melalui sebuah papan pengumuman. Siang itu
para buruh berdesakan di depan papan yang dipasang di depan
kantor keamanan, untuk mengetahui nasibnya. "Mau bilang apa. Ya
nganggur dulu. Kalau bisa saya mau kerja jadi buruh bangunan,"
kata seorang buruh yang masih muda. Sudah 5 tahun dia bekerja di
situ. Seminggu dia mendapat upah Rp 7.000. Tapi sekarang dengan
dicutikan dia menerima Rp 3.000 saja.
Pemecatan 150 buruh dan dirumahkannya sekitar 300 yang lain
nampaknya tidak semata-mata karena mesin-mesin yang tidak
membutuhkan buruh lagi. Tapi juga karena. Hana belum mampu
kembali ke pasar. Seperti kata Soeryantono: "Dengan jumlah buruh
hampir 1000 orang, perusahaan mampu memproduksi 135.000 pasang
sepatu tiap bulan. Tapi ke mana harus dipasarkan Pasaran kita
sudah hilang."
Selama delapan bulan tak beroperasi, langganannya direbut
perusahaan-perusahaan kecil. "Bukan hanya pasaran kami yang
mereka rebut, tetapi juga tenaga ahli kami mereka tarik," cerita
Soeryantono Soeryo. Tenaga-tenaga terlatih itu katanya malahan
ada yang pindah ke pabrik sepatu di Semarang.
Ketika masa jayanya, Hana pernah menduduki tempat yang cukup
baik dalam dunia persepatuan khususnya yang terbuat dari kanvas.
Saingan satu-satunya ketika itu -- dan tak pernah terkejar --
adalah Bata. Hana yang mulai bangun tahun 1947 dari usaha
kecil-kecilan, antara 1970-1975 pernah mendapat pasaran lumayan
di negara-negara Skandinavia, Jerman Barat dan Prancis.
Rata-rata sebulan 120.000 pasang sepatu yang diekspornya. Tapi
dari pasaran Eropa itu kemudian dia dipukul oleh serbuan sepatu
kanvas buatan Taiwan. Malahan di dalam negeri sendiri dia mundur
karena desakan sepatu Taiwan yang masuk dengan berbagai cara.
Menurut Dir-Ut Soeryantono Soeryo tahun ini juga Hana akan
bangkit lagi. Sekarang ini produksinya sudah berkisar 85.000
pasang tiap bulan Atau sekitar 10% dari kebutuhan sepatu di
Indonesia. Sasarannya adalah sepatu kualitas tinggi dan
menengah. "Saya yakin Hana bisa menyaingi buatan Taiwan," sambut
Indradjid Kartowijono, direktur pelaksana Hana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini