Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sengketa Hana

Ratusan buruh pabrik sepatu pt hana dipecat dan di rumahkan. gara-gara ada mesin baru dan pasaran yang lesu. sejumlah buruh memprotes, pesangon hanya satu bulan gaji. (eb)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

API menghanguskan pabriknya di Jalan Batu, Jakarta, Mei 1978. Sepatu Hana sejak itu boleh dikatakan hilang dari peredaran. Untuk bangkit kembali, pabrik sepatu milik pribumi tersebut memasang dua mesin modern di pabriknya yang baru di Kawasan Industri Pulogadung. Hana nampaknya sudah mulai mengincar pasar ketika tiba-tiba dua pekan lalu pecah sengketa antara buruh dan pimpinan perusahaan. Soalnya, nampaknya berkisar pada mesin-mesin baru itu. Pihak majikan beranggapan jumlah buruhnya yang 1.200 orang terlalu banyak dan tak bisa diserap oleh modernisasi mesin. "Memang, sejak masuknya dua mesin modern itu tenaga buruh dikurangi pimpinan perusahaan secara berangsur," kata seorang buruh, Rusman Sartimin. Secara bertahap perusahan memutuskan hubungan kerja dengan para buruh sejak pertengahan 1980 ketika mesin-mesin itu mulai dipasang. Sehabis cuti lebaran tahun lalu, menurut Serikat Buruh Karet & Kulit/FBSI Basis PT Hana, 150 orang buruh diberhentikan. Mereka menerima pesangon satu bulan gaji. Kemudian tindakan itu dilanjutkan lagi dengan merumahkan sekitar 300 buruh dengan bayaran Rp 3 000/minggu. Mereka dirumahkan, alias dibiarkan menganggur, sampai batas waktu yang tak diketahui. Keadaan ini membangkitkan protes dari kalangan buruh. Pimpinan SB Karet & Kulit/FBSl Basis PT Hana 16 Januari lalu menyampaikan pengaduan kepada Oka Mahendra SH dari Tim Perburuhan Fraksi Karya Pembangunan DPR-RI. Minggu kemarin sengketa ini sudah berada di tangan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tingkat Pusat (P4P). Pihak buruh menuntut pesangon sebesar tiga bulan gaji. Tapi ditolak majikan. Karena pengrumahan buruh itu sebagaimana dikatakan Direktur Utama PT Hana Soeryantono Soeryo, "untuk menyehatkan perusahaan yang kini sedang sakit." Katanya kalau perusahaan sudah membaik para buruh akan dipanggil masuk kerja kembali. Untuk tingkat sekarang pabrik itu hanya memerlukan 50% dari tenaga buruh yang ada selama ini. Tanggal 30 Januari terjadi lagi pencutian buruh. Mereka yang jadi korban diumumkan melalui sebuah papan pengumuman. Siang itu para buruh berdesakan di depan papan yang dipasang di depan kantor keamanan, untuk mengetahui nasibnya. "Mau bilang apa. Ya nganggur dulu. Kalau bisa saya mau kerja jadi buruh bangunan," kata seorang buruh yang masih muda. Sudah 5 tahun dia bekerja di situ. Seminggu dia mendapat upah Rp 7.000. Tapi sekarang dengan dicutikan dia menerima Rp 3.000 saja. Pemecatan 150 buruh dan dirumahkannya sekitar 300 yang lain nampaknya tidak semata-mata karena mesin-mesin yang tidak membutuhkan buruh lagi. Tapi juga karena. Hana belum mampu kembali ke pasar. Seperti kata Soeryantono: "Dengan jumlah buruh hampir 1000 orang, perusahaan mampu memproduksi 135.000 pasang sepatu tiap bulan. Tapi ke mana harus dipasarkan Pasaran kita sudah hilang." Selama delapan bulan tak beroperasi, langganannya direbut perusahaan-perusahaan kecil. "Bukan hanya pasaran kami yang mereka rebut, tetapi juga tenaga ahli kami mereka tarik," cerita Soeryantono Soeryo. Tenaga-tenaga terlatih itu katanya malahan ada yang pindah ke pabrik sepatu di Semarang. Ketika masa jayanya, Hana pernah menduduki tempat yang cukup baik dalam dunia persepatuan khususnya yang terbuat dari kanvas. Saingan satu-satunya ketika itu -- dan tak pernah terkejar -- adalah Bata. Hana yang mulai bangun tahun 1947 dari usaha kecil-kecilan, antara 1970-1975 pernah mendapat pasaran lumayan di negara-negara Skandinavia, Jerman Barat dan Prancis. Rata-rata sebulan 120.000 pasang sepatu yang diekspornya. Tapi dari pasaran Eropa itu kemudian dia dipukul oleh serbuan sepatu kanvas buatan Taiwan. Malahan di dalam negeri sendiri dia mundur karena desakan sepatu Taiwan yang masuk dengan berbagai cara. Menurut Dir-Ut Soeryantono Soeryo tahun ini juga Hana akan bangkit lagi. Sekarang ini produksinya sudah berkisar 85.000 pasang tiap bulan Atau sekitar 10% dari kebutuhan sepatu di Indonesia. Sasarannya adalah sepatu kualitas tinggi dan menengah. "Saya yakin Hana bisa menyaingi buatan Taiwan," sambut Indradjid Kartowijono, direktur pelaksana Hana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus