SEMANGAT membeli tembakau Naoogst -- jenis khusus untuk cerutu
-- nampak masih besar di kalangan eksportir di Jawa Timur.
Mereka masih belum habis mengecap untung besar yang terjadi
selama tahun lalu. Kini, tak kurang dari 120.000 bal tembakau
jenis itu (1 bal = 100 kg), siap dikapalkan. "Kami tinggal
menunggu kabar dari Bremen," kata seorang eksportir di Jember
kepada TEMPO pekan lalu.
Dari Bremen, Jerman Barat, pusat pelelangan tembakau terbesar di
dunia, kabar tentang kejelasan harga biasanya baru ditentukan
pada bulan April. Sedang pelelangan akan dimulai pada bulan
Juni-Juli. Tahun lalu, harga rata-rata tembakau Naoogst
mencapai Rp 200. 000 per bal, naik sekitar 20% dari tahun
sebelumnya.
Angin baik sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1979. Ketika itu
wabah jamur biru (blue mold) telah merusak kebun-kebun tembakau
di Kuba, berkapasitas lebih dari satu juta bal/tahun. Akibatnya,
selama tiga tahun tanaman tembakau di Kuba harus diganti dengan
tanaman lain.
Patut disayangkan berita dari Kuba itu baru diketahui di telinga
para eksportir tembakau Indonesia setelah hampir setahun. Di
mana nyangkutnya berita itu, entahlah. Tapi yang pasti, para
eksportir tembakau dari San Domingo, Dominika, Amerika Selatan,
sungguh tak melewatkan kesempatan baik dalam tahun 1979 itu.
Sekalipun begitu, sebanyak 220.000 bal tembakau Na-oogst dari
Jember dan sekitarnya laku diekspor tahun lalu. Ketika itu para
petani tembakau merasa khawatir, karena mcngidap kelebihan
produksi sebanyak 100.000 bal.
Gairah para petani menanam tembakau mulai musim tanam (MT) di
bulan September nanti diharapkan akan lebih besar daripada tahun
lalu. Ketika itu sebagian petani rupanya masih ragu-ragu. Tapi
ketika PT Ledokombo, eksportir paling besar di Jember, berani
membeli tembakau kelas I sampai Rp 200.000/ bal, banyak petani
yang tergiur. Harga yang dibayar Ledokombo sekitar 25% lebih
tinggi dari harga tahun lalu. Menurut Budi Laksmono, Direktur PT
Mangli Jaya Raya di Jember, itulah "harga pembelian tertinggi
selama 10 tahun terakhir ini."
Suwari, petani tembakau dari Jenggawah yang punya 0,5 ha sawah,
berjanji akan lebih giat menanam tahun ini. "Utang saya tahun
lalu sudah lunas semua," ujarnya. Tahun lalu, menurut Suwari,
tembakau R-II yang ditanamnya hanya laku Rp 4.000/bal. Tahun ini
laku Rp 25.000 per bal.
Tembakau Besuki
Ketua Indonesia Tobacco Association (ITA) Jawa Timur, R. Boedi
Hidajat, mengatakan sekitar 50.000 petani menanam tembakau di
atas areal 28.000 ha lebih tahun lalu. Kalau tahun ini para
petani lebih bergairah bisa dipastikan akan lebih banyak lagi
yang menanami unahnya dengan tembakau. Menurut Akwan Adiwidjaja,
salah seorang pengurus ITA, pemerintah perlu juga menjaga dan
memberi penyuluhan agar tak terjadi kelebihan produksi. Sebab,
ikwan menghitung, tahun depan permintaan yang masuk dari Bremen
mungkin sekitar 170.000 bal saja. Dengan kata lain, "cuma butuh
sekitar 22.000 ha," katanya.
Absennya Kuba memang perlu cepat dimanfaatkan. Antara lain
dengan memperbaiki mutu tembakau Besuki agar bisa lebih
bersaing. Belakangan ini terjadi kemerosotan mutu tembakau
Besuki, gara-gara para petani memilih Urea. Untuk tembakau
Na-oogst, para petani seharusnya menggunakan pupuk KS. Tapi
karena harganya yang belakangan ini mencapai Rp 170/kg, para
petani memberanikan diri untuk mencoba Urea yang Rp 70/kg.
Di antara para eksportir sendiri kini nampak terjadi balapan. PT
Mangli Jaya Raya misalnya sudah berani memberi kredit kepada 700
petani, sebesar 60% dari seluruh biaya produksi. "Pokoknya yang
modalnya lebih kuat itulah yang akan menang," kata Budiarto dari
PT Mega Nanda. Eksportir tersebut tahun ini merasa hanya mampu
mengumpulkan 4.000 bal. Sedang Ledokombo, seperti diakui Dir-Ut
Eddy Darsan Wanamarta, sudah pandai menumpuk 20.000 bal. Tahun
lalu perusahaan itu mengekspor 40.000 bal.
Dari 40 eksportir yang terdaftar, kini yang masih aktif tinggal
24, di antaranya 4 pribumi: NV Ismail, Mega Nanda, Kebon Bako
Arum dan Daun Madu. Sekawan pribumi ini menamakan diri mereka
Sariyem, singkatan dari Sisa Pribumi yang Empat. Tadinya ada 20
eksportir pribumi.
Kelompok Sariyem ini memang masih belum juga dipercaya oleh Bank
Indonesia. "Setiap tahun kami mengajukan permohonan, tapi tidak
juga dapat," ujar Akwan. Selain di ITA, Akwan dikenal termasuk
kelompok Sariyem. Menurut dia, sikap kaku BI disebabkan mereka
masih menunggak kredit bank pemerintah akibat "tragedi" 1972.
Ketika itu harga tembakau merosot drastis, menyapu para ekspotir
yang modalnya pas-pasan.
Untung saja tahun lalu Departemen Keuangan menyediakan dana
sekitar Rp 600 juta untuk membantu kelebihan produksi yang
terjadi pada 1979. Dan grup Sariyem, yang kebagian, merasa bisa
turut berebut membeli tembakau kelas I dari para petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini