Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nafas baru buat Sariyem

Dengan rusaknya kebun-kebun tembakau di kuba. para petani tembakau di indonesia (jawa timur) merasa beruntung. terjadi persiangan antara para eksportir. (eb)

7 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT membeli tembakau Naoogst -- jenis khusus untuk cerutu -- nampak masih besar di kalangan eksportir di Jawa Timur. Mereka masih belum habis mengecap untung besar yang terjadi selama tahun lalu. Kini, tak kurang dari 120.000 bal tembakau jenis itu (1 bal = 100 kg), siap dikapalkan. "Kami tinggal menunggu kabar dari Bremen," kata seorang eksportir di Jember kepada TEMPO pekan lalu. Dari Bremen, Jerman Barat, pusat pelelangan tembakau terbesar di dunia, kabar tentang kejelasan harga biasanya baru ditentukan pada bulan April. Sedang pelelangan akan dimulai pada bulan Juni-Juli. Tahun lalu, harga rata-rata tembakau Naoogst mencapai Rp 200. 000 per bal, naik sekitar 20% dari tahun sebelumnya. Angin baik sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1979. Ketika itu wabah jamur biru (blue mold) telah merusak kebun-kebun tembakau di Kuba, berkapasitas lebih dari satu juta bal/tahun. Akibatnya, selama tiga tahun tanaman tembakau di Kuba harus diganti dengan tanaman lain. Patut disayangkan berita dari Kuba itu baru diketahui di telinga para eksportir tembakau Indonesia setelah hampir setahun. Di mana nyangkutnya berita itu, entahlah. Tapi yang pasti, para eksportir tembakau dari San Domingo, Dominika, Amerika Selatan, sungguh tak melewatkan kesempatan baik dalam tahun 1979 itu. Sekalipun begitu, sebanyak 220.000 bal tembakau Na-oogst dari Jember dan sekitarnya laku diekspor tahun lalu. Ketika itu para petani tembakau merasa khawatir, karena mcngidap kelebihan produksi sebanyak 100.000 bal. Gairah para petani menanam tembakau mulai musim tanam (MT) di bulan September nanti diharapkan akan lebih besar daripada tahun lalu. Ketika itu sebagian petani rupanya masih ragu-ragu. Tapi ketika PT Ledokombo, eksportir paling besar di Jember, berani membeli tembakau kelas I sampai Rp 200.000/ bal, banyak petani yang tergiur. Harga yang dibayar Ledokombo sekitar 25% lebih tinggi dari harga tahun lalu. Menurut Budi Laksmono, Direktur PT Mangli Jaya Raya di Jember, itulah "harga pembelian tertinggi selama 10 tahun terakhir ini." Suwari, petani tembakau dari Jenggawah yang punya 0,5 ha sawah, berjanji akan lebih giat menanam tahun ini. "Utang saya tahun lalu sudah lunas semua," ujarnya. Tahun lalu, menurut Suwari, tembakau R-II yang ditanamnya hanya laku Rp 4.000/bal. Tahun ini laku Rp 25.000 per bal. Tembakau Besuki Ketua Indonesia Tobacco Association (ITA) Jawa Timur, R. Boedi Hidajat, mengatakan sekitar 50.000 petani menanam tembakau di atas areal 28.000 ha lebih tahun lalu. Kalau tahun ini para petani lebih bergairah bisa dipastikan akan lebih banyak lagi yang menanami unahnya dengan tembakau. Menurut Akwan Adiwidjaja, salah seorang pengurus ITA, pemerintah perlu juga menjaga dan memberi penyuluhan agar tak terjadi kelebihan produksi. Sebab, ikwan menghitung, tahun depan permintaan yang masuk dari Bremen mungkin sekitar 170.000 bal saja. Dengan kata lain, "cuma butuh sekitar 22.000 ha," katanya. Absennya Kuba memang perlu cepat dimanfaatkan. Antara lain dengan memperbaiki mutu tembakau Besuki agar bisa lebih bersaing. Belakangan ini terjadi kemerosotan mutu tembakau Besuki, gara-gara para petani memilih Urea. Untuk tembakau Na-oogst, para petani seharusnya menggunakan pupuk KS. Tapi karena harganya yang belakangan ini mencapai Rp 170/kg, para petani memberanikan diri untuk mencoba Urea yang Rp 70/kg. Di antara para eksportir sendiri kini nampak terjadi balapan. PT Mangli Jaya Raya misalnya sudah berani memberi kredit kepada 700 petani, sebesar 60% dari seluruh biaya produksi. "Pokoknya yang modalnya lebih kuat itulah yang akan menang," kata Budiarto dari PT Mega Nanda. Eksportir tersebut tahun ini merasa hanya mampu mengumpulkan 4.000 bal. Sedang Ledokombo, seperti diakui Dir-Ut Eddy Darsan Wanamarta, sudah pandai menumpuk 20.000 bal. Tahun lalu perusahaan itu mengekspor 40.000 bal. Dari 40 eksportir yang terdaftar, kini yang masih aktif tinggal 24, di antaranya 4 pribumi: NV Ismail, Mega Nanda, Kebon Bako Arum dan Daun Madu. Sekawan pribumi ini menamakan diri mereka Sariyem, singkatan dari Sisa Pribumi yang Empat. Tadinya ada 20 eksportir pribumi. Kelompok Sariyem ini memang masih belum juga dipercaya oleh Bank Indonesia. "Setiap tahun kami mengajukan permohonan, tapi tidak juga dapat," ujar Akwan. Selain di ITA, Akwan dikenal termasuk kelompok Sariyem. Menurut dia, sikap kaku BI disebabkan mereka masih menunggak kredit bank pemerintah akibat "tragedi" 1972. Ketika itu harga tembakau merosot drastis, menyapu para ekspotir yang modalnya pas-pasan. Untung saja tahun lalu Departemen Keuangan menyediakan dana sekitar Rp 600 juta untuk membantu kelebihan produksi yang terjadi pada 1979. Dan grup Sariyem, yang kebagian, merasa bisa turut berebut membeli tembakau kelas I dari para petani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus