Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan itu duduk di singgasana, menyaksikan para pengikutnya mengabdi. Datanglah sang Raja Lear disertai si Badut yang setia. Raja sepuh tersebut marah karena takhtanya direbut putri sulungnya.
"Ayah adalah orang tua yang teringkari!" ujar Putri Sulung sinis. Raja Lear terpuruk dalam kekecewaan. Ia murka atas pengkhianatan putrinya. Ia minta tolong para raja sekutu. Putri Sulung pun telah menumpas mereka.
Keterombang-ambingan Raja Lear ini yang menjadi inti pertunjukan Lear Asia di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Naskah karya Rio Kishida, penulis skenario film dan teater asal Jepang, ini diadaptasi ke Bali oleh sutradara Ignatius Arya Sanjaya. Semua aktor berkostum klasik Bali.
Suasana prosesi doa yang dipimpin seorang pedanda yang memercikkan air suci membuka pertunjukan. Panggung memperlihatkan potongan bambu yang disusun menggantung di sisi kiri, kanan, dan belakang. Takhta singgasana juga disusun dari bilah-bilah bambu yang bisa diangkat seperti tandu. Cukup artistik, apalagi bila disorot sinar dari atas. Menciptakan gelap-terang tersendiri.
Untuk memperkuat "kebalian" tokoh-tokoh utamanya, sutradara Arya mengharuskan aktornya mempelajari gerak-gerak tari Bali. Akting Raja Lear yang temperamental dibalut dalam gerak tari Jauk. Ekspresi dua putri diberi sentuhan tari Legong Keraton. Akan halnya gerak-gerik Badut kerap menyajikan gerak tari Arja. Para pemeran abdi mengacu pada tari Baris. Para pemain harus berlatih selama sebulan untuk menguasai gerak tari-tarian ini.
Kalimat-kalimat pada teks Shakespeare terkenal puitis. Arya menginginkan panggungnya juga bertaburan kalimat berbau dendam kesumat yang indah. Naskah Rio Kishida ini diterjemahkan penyair Sitok Srengenge dan novelis Ayu Utami. Memang serentetan kalimat elok bisa disajikan di panggung dengan baik, tapi tokoh Raja dan Badut tak sampai menjelmakannya menjadi "taksu".
Pentas ini tak menyeret kita ke suasana duka yang mendalam. Apalagi kegilaan, yang justru menjadi roh naskah ini. Suasana hati Raja Lear yang kesepian, pikirannya yang melayang-layang, dialog-dialognya yang seperti meracau, perangainya yang mendekati tubir ketakwarasan, serta Badut yang setengah sinting, setengah cenayang, tapi sering lebih bijak daripada Raja, tak kita dapat. Duet Raja dan Badut berlangsung biasa, malah kadang formal.
Unsur Bali memang membuat pertunjukan ini eksotis secara visual. Namun Bali yang kita lihat hanya sebatas fisik. Sebatas balutan kostum, bunyi-bunyian, dan gerakan. Kita tak mendapat energi Bali yang misterius. Risiko menampilkan semua aktor dengan kostum klasik Bali adalah harapan akan adanya kemungkinan tak terduga perjumpaan rasa tradisional Asia yang magis dengan kisah Lear Eropa. Perjumpaan roh Gambuh dengan Harlequin atau Commedia del arte. Tapi, karena yang diadaptasi ke Bali hanya kostum dan gerak bukan struktur, pada beberapa bagian tak terhindarkan kesan Bali hanya sebatas polesan.
Puncaknya adalah tatkala sang putri sulung membunuh adik bungsunya. Ini adalah titik tertinggi yang membuat psikologi sang raja ambyar. Raja akhirnya mati sambil memeluk jasad si Bungsu. Arya mampu menyajikan adegan ini secara puitis. Apik. Waktunya tepat. Enak dilihat. Tapi tak menggedor.
Dian Yuliastuti
Adaptasi Keluarga Albert
Problem adaptasi juga dihadapi oleh sutradara Teater Satu Lampung, Iswadi Pratama, saat mementaskan Anak yang Dikuburkan (Buried Child) di Salihara, Jakarta Selatan, 22-23 Juni lalu, dalam rangkaian Festival Salihara, Memahami Liyan: Forum Lakon Adaptasi. Naskah karya dramawan Amerika Serikat, Sam Shepard, itu mengisahkan keluarga pasangan Albert dan Hesma yang tercerai-berai akibat perubahan wilayah perkebunan menjadi industri.
Anak-anak keluarga ini mati, sakit, atau depresi. Sam Shepard menulis naskah ini dengan latar belakang Amerika, tatkala negara itu pada 1970-an kehilangan lahan pertanian untuk dijadikan petak-petak pabrik penyimpan mesin. Iswadi mengadaptasi dalam konteks Indonesia, Lampung pada khususnya. "Banyak keluarga petani Lampung tercerabut dari fondasi kukuh mereka dalam persoalan ini," ujar penulis kelahiran Tanjung Karang ini.
Iswadi menggambarkan para tokohnya sebagai petani, penjahit, dan tenaga kerja wanita. Inses dalam naskah Shepard diganti menjadi kawin kontrak. Penyesuaian juga dihadirkan pada nama tokoh yang lebih lokal. Bagaimana Iswadi menyiasati pengadaptasiannya?
Mengapa Anda memilih naskah Sam Shepard?
Sewaktu mendapat undangan dari Salihara, saya berpikir naskah Shepard apa yang belum diangkat dan belum sering dimainkan. Akhirnya saya pilih ini. Saya tertarik kepada Sam karena mengungkap masalah manusia. Masalah yang tampaknya sederhana tapi berlapis-lapis adanya.Apa inti Anak yang Terkuburkan?
Lakon ini memotret satu keluarga, hanya satu tapi dia mencerminkan persoalan yang berlapis. Tidak hanya mengungkap persoalan keluarga, tapi juga membongkar masalah ideologi, geopolitik, industrialisasi, kehancuran keluarga, serta kehancuran institusi dan kepercayaan. Saya bergairah memainkannya.
Lakon ini memotret masalah akibat hilangnya lahan-lahan di Amerika karena industrialisasi. Sektor pertanian ini masih ada tapi tak bisa menentukan pasar karena dikuasai industri. Di Indonesia juga begitu, keluarga petani ini tercerabut dari akar fondasi paling dalam. Industrialisasi juga bisa diperlihatkan dari perkebunan sawit yang makin luas di Lampung.Apa kesulitan Anda mengadaptasi naskah ini?
Latar belakang di Amerika Serikat yang harus dibawa ke Indonesia, ke konteks lokal di Lampung pula. Ini melewati dua level. Untuk menyesuaikan kondisi di Lampung, ada reduksi yang tidak bisa dihindarkan. Maka saya tetap menghadirkan nuansa Amerika Serikatnya. Tantangannya bagaimana bisa mempertemukan dua budaya ini.Untuk teks naskah yang akan diucapkan para tokoh?
Saya ambilkan dari pokok dengan konteks asli, pokok pikiran tetap dipertahankan. Disarikan dalam 56 halaman untuk 7 tokoh.Kesulitan lain?
Yang paling utama soal simbol. Sam kan realis tapi dia main alegori, simbol-simbol. Mencari padanannya ini agak susah. Contohnya ada tokoh memakai topi rugby. Kan, tidak lucu kalau petani memakai topi ini. Makanya kami ubah bentuk topinya jadi panjang seperti sufi. Bukan hanya kostum, tapi juga identitas. Istri petani memakai mesin jahit untuk bicara tentang industri.
Untuk adaptasi artistik, kami berkolaborasi dengan teman-teman seniman Lampung. Membuat tata panggung dengan bentuk rumah Lampung, kostum, musik. Warna-warna alam khas Lampung, seperti warna kayu, cokelat, dan merah, mendominasi. Kesulitan lainnya bagaimana mementaskan naskah yang absurd tapi dengan cara yang ringan. Naskah Sam ini berat, murung, tapi bisa dibicarakan dengan ringan.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo