Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai calon presiden, Jenderal Purnawirawan Wiranto tentu berkeberatan jika riwayat masa lalu yang merugikan citranya dibongkar-bongkar. Wiranto dikesankan sebagai pejabat militer yang menghalalkan cara yang kurang demokratis dalam peristiwa kekerasan menjelang Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (SI MPR) 1998. Kita tak punya kepentingan untuk merugikan calon presiden Wiranto. Yang kita inginkan hanyalah kejelasan tentang kejadian yang merupakan bagian dari pengalaman kita bersama.
Riwayat ini belum pernah dibuka, dan sekarang diterbitkan resmi dalam sebuah buku yang ditulis secara sepihak oleh pelaku yang terlibat langsung. Kalau isinya benar, bukan saja Wiranto digambarkan dengan latar belakang yang implikasinya adalah tidak layak dan tak patut untuk berdemokrasi, tapi juga sebagai perwira yang tidak mau memikul tanggung jawab. Tentu saja baru bisa disimpulkan demikian setelah diyakini bahwa pribadi yang mengungkapkan cukup bisa dipercaya, dan isinya tidak berupa tuduhan subyektif belaka. Klarifikasi, bukan insinuasi, yang dibutuhkan.
Yang membongkar cerita adalah sesama bekas perwira tinggi ABRI, Mayor Jenderal Purnawirawan Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Kivlan Zen membeberkan bagaimana peranannya membentuk dan mengendalikan semacam pengorganisasian massa yang dikenal sebagai Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa) atas perintah Jenderal Wiranto, Panglima ABRI tatkala itu. Kivlan Zen mengutarakannya dalam serangkaian wawancara pers, termasuk radio dan televisi, kemudian hal itu diterbitkan dalam buku karangannya berjudul Konflik dan Integrasi TNI AD yang baru diluncurkannya minggu lalu.
Yang dituturkan boleh dikatakan adalah kisah versi Kivlan Zen. Keasliannya, tentu saja, sepenuhnya bergantung pada kredibilitas penulisnya saja. Karena banyak pihak yang disebut-sebut terlibat, dengan sendirinya masing-masing akan punya versi tersendiri. Wiranto pun pernah membantah, walau belum sampai menuduh Kivlan Zen memfitnah.
Misalnya tentang dana operasional untuk Pam Swakarsa, yang dijanjikan Wiranto akan dibiayai dari sumber Bulog dan sudah disetujui Presiden Habibie. Ternyata yang dibayarkan lewat Jimly Asshiddiqie, tatkala itu staf presiden dan sekarang Ketua Mahkamah Konstitusi, hanya Rp 1,25 miliar, sehingga Kivlan Zen mengaku harus menombok dari sakunya sendiri Rp 5,75 miliar, hasil penjualan rumahnya. Cerita ini, sekalipun tak diuraikan dalam buku, diungkapkan Kivlan Zen berkali-kali dalam beberapa wawancaranya. Wiranto menyangkal keras, namun Kivlan Zen tetap gigih menagih.
Kita tidak tahu pasti apakah sengketa uang inilah yang jadi pemantik kericuhan bantah-membantah yang makin hari makin jadi jelek, sampai harus membongkar bangkai yang telah terpendam dalam selama ini. Aib akan menerpa semuanya kalau Wiranto mengendur dan mengakui walau sepotong saja dari cerita ini. Sebetulnya, karena menyangkut uang miliaran dan bayar-membayar yang faktanya konkret, amat mudah membedakan benar dan tidaknya dengan melakukan cek silang biasa. Bila tak dikerjakan juga, bisa berarti cerita ini lebih banyak benarnya daripada tidak.
Menurut Kivlan Zen, Pam Swakarsa dibentuk dengan tujuan membendung aksi mahasiswa yang?sebagai kelanjutan gerakan reformasi melawan rezim Orde Baru?menentang Sidang Istimewa (SI) MPR 10 November 1998. Jenderal Wiranto, atas persetujuan atau perintah Presiden Habibie, meminta Mayor Jenderal Kivlan Zen mengerahkan massa sebagai pendukung SI MPR. Kontra-demonstrasi melawan demonstrasi, aksi massa yang lebih besar untuk meredam aksi mahasiswa. Jumlah anggota Pam Swakarsa sampai 30 ribu orang, didatangkan dari berbagai kota, dan semua harus dibayari. Kivlan Zen ditunjuk karena sebelumnya dia pernah berhasil mengalahkan aksi mahasiswa yang menyerbu ke Gedung MPR Senayan, juga dengan mengerahkan massa tandingan. Kekuatan dilawan kekuatan, layaknya perang saja; bentrokan fisik terjadi dan korban pun berjatuhan.
Keputusan membentuk dan menggunakan Pam Swakarsa ini adalah contoh dari praktek salah memakai demonstrasi sebagai alat demokrasi. Yang dilakukan bukanlah berunjuk rasa, melainkan menjalankan prinsip militer, yaitu menekan dan meniadakan lawan dengan kekuatan fisik. Seyogianya, kalau mau punya kontra-pendapat, boleh berdemonstrasi sendiri, tapi jangan dengan kontra-demonstrasi yang menghalangi hak dan melakukan teror terhadap aksi unjuk rasa yang tidak sependirian. Pam Swakarsa bukan cuma kontra-demonstrasi, tapi ternyata kontra-demokrasi yang didalangi penguasa. Inilah yang diungkapkan Kivlan Zen dengan mengakui dirinya sebagai pelaksananya dan menuding Jenderal Wiranto sebagai penanggungjawabnya.
Mencari kebenaran dari apa yang dibongkar oleh Kivlan Zen bukanlah jalan tak berujung. Klarifikasi mesti dan bisa dilakukan. Boleh jadi Wiranto tidak berada di pihak yang salah, namun dia berutang penjelasan kepada publik. Pasti ada salah satu pihak yang tidak benar. Itu harus ditetapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo