SUDAH menjadi "hukum" ekonomi: gula (atau komoditas apa pun) akan "mengalir" dari tempat dengan harga yang murah ke tempat dengan harga yang mahal. Kalau harga gula di Thailand hanya Rp 2.000 per kilogram, harga gula di Indonesia Rp 4.100, dan seluruh biaya "perjalanan" kemari tidak sampai Rp 1.500 per kilogram, pastilah arus gula murah dari Thailand akan meluap sampai ke negeri ini.
Apalagi diam-diam Indonesia sudah menjadi pelahap gula nomor dua terbesar dunia. Setiap tahun, antara produksi dan konsumsi gula di sini tekor 1,5 juta sampai 1,8 juta metrikton. Jumlah itu saja sudah 55 persen dari kebutuhan dalam negeri. Produksi gula lokal sudah tak bisa digenjot lagi. Satu-satunya adalah memasok gula dari luar negeri.
Ketika keran gula impor dibuka, muncul masalah besar: gula impor ternyata lebih murah dari gula lokal. Menghadapi kondisi ini, proteksi diberikan pemerintah untuk melindungi produsen gula dalam negeri. Caranya dengan menetapkan pajak bea masuk untuk gula asal impor. Saat ini, untuk satu kilogram gula dikenakan tarif bea masuk Rp 900. Proteksi yang lain, dengan menunjuk importir khusus. Pada zaman Soeharto, ada 800 importir, zaman Habibie ada 1.000 importir, dipangkas menjadi 180 importir pada masa Abdurrahman Wahid, dan kini hanya tinggal 5 importir yang ditunjuk pemerintah Megawati untuk mendatangkan gula luar negeri.
Di luar lima pemain itu, tak boleh ada yang mendatangkan gula dari mancanegara. Lima pemain ini juga hanya mempunyai izin yang masa berlakunya terbatas. Yang terakhir ini, masa berlaku izin impornya habis pada 30 April 2004. Jadi, semua gula yang masuk setelah tanggal itu dinyatakan ilegal, haram.
Aturan kadang hanya "macan kertas". Di Tanjung Priok dan sejumlah gudang di Jakarta, ditemukan 56 ribu ton gula yang entah milik siapa (baca Investigasi: Gula Haram, Siapa Untung?). Asosiasi Petani Tebu Rakyat melapor ke Markas Besar Kepolisian RI, tapi sejauh ini tak ada yang mengaku sebagai pemilik gula bernilai bilangan triliun rupiah itu.
Rabu pekan yang lalu, dalam sebuah jumpa wartawan, Induk Koperasi Unit Desa (Inkud), melalui pengacaranya, mengklaim gula bertimbun-timbun itu sebagai miliknya. Tapi esok harinya Ketua Umum Inkud Nurdin Khalid membantah gula itu milik Inkud. Induk koperasi itu bukanlah importir terdaftar. Jadi, jika lembaga tersebut mengaku sebagai pemilik, lalu dari siapa izin impor untuk mendatangkan gula itu didapat? Pihak PTPN X?salah satu importir terdaftar?yang diduga mendatangkan gula itu, ternyata menyangkal bahwa gula 56 ribu ton itu miliknya.
Kusut. Aneh. Gula sebanyak itu bisa mulus masuk gudang pada 24 Mei lalu (lewat batas waktu izin impor), tapi si pemilik adalah "jin" yang belum mau menampakkan diri. Kalau lima importir terdaftar tidak mengaku, pasti ada tangan lain yang mengimpor?karena tak mungkin sang gula mencarter kapal sendiri ke Tanjung Priok. Atau, jangan-jangan ada pihak lain yang diorder oleh importir terdaftar untuk menjalankan fungsi mengimpor itu, tentu dengan imbalan secukupnya. Kalau begitu, kerja importir hanya mirip calo bermodal kertas izin. Tanpa perlu kerja, duit pun datang. Model permainan "jual izin", jika itu yang terjadi di Tanjung Priok, sudah sering terdengar, tapi ada baiknya sekali ini dibongkar tuntas. Ini perlu untuk meyakinkan publik bahwa si pemegang kuasa atas keluarnya izin impor gula itu tidak ikut bermain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini