Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALASAN penunjukan bankir sekaliber Sofyan Basir sebagai Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara agaknya tak jauh-jauh dari masalah keuangan. Indikasinya, setelah berjaya membawa Bank BRI sebagai bank terbesar Indonesia, Sofyan diberi tugas menyelesaikan dua urusan finansial PLN yang berat: utang besar dan modal pembangunan pembangkit listrik yang cekak.
Utang PLN cukup fantastis. Pada kuartal ketiga tahun ini mencapai Rp 471 triliun, meningkat dari Rp 466 triliun pada akhir tahun lalu. Dibanding kuartal ketiga 2011, total utang PLN sekarang bertambah lebih dari 77 persen. Kendati mencetak laba bersih sejak 2009, jumlah keuntungan itu tak cukup membendung laju penambahan utang, apalagi sebagian besar dalam dolar Amerika.
Di sisi lain, untuk menambal permintaan listrik yang lebih tinggi ketimbang pasokan, pemerintah Joko Widodo berencana membangun pembangkit 35 ribu megawatt sampai lima tahun mendatang. PLN menyanggupi membangun 15 ribu megawatt, dengan dana sekitar US$ 22,5 miliar. Konsekuensinya, setiap tahun PLN mesti membangun 3.000 megawatt, dengan anggaran US$ 5 miliar atau sekitar Rp 60 triliun. Padahal kemampuan pengerahan dana internal PLN hanya Rp 30-40 triliun. Kekurangan modal ditutup dengan utang luar negeri.
Tanpa tambahan utang, tak mungkin PLN menambah jumlah pembangkit. Di sini ada komplikasi: sepanjang PLN mendukung program pemerintah untuk menyediakan listrik lebih banyak, selama itu pula utang perseroan kian bertumpuk. Maka, dalam kondisi ceteris paribus, program pengurangan utang PLN merupakan pekerjaan yang hampir mustahil.
Sebagai bankir, tentu Sofyan Basir mempunyai akses pada sumber pembiayaan dalam dan luar negeri. Tapi mencari utang baru tak juga mudah. Angka debt service coverage ratio (rasio pendapatan dibagi bunga dan pokok utang) PLN terus memburuk. Kemampuan PLN mengumpulkan uang kas untuk membayar utang menurun. Ditambah utang sebanyak sekarang, investor jelas menganggap risiko berinvestasi di PLN terlalu besar.
Sebaiknya Sofyan tak hanya berkutat mencari utang baru. Ia mesti berfokus pada peningkatan efisiensi. Dalam soal cost, manajemen PLN hanya memiliki kendali atas sebagian kecil komponen biaya itu. Sebagian besar komponen—misalnya harga bahan bakar atau nilai tukar mata uang—berada di luar kontrol manajemen. Maka tugas Sofyan adalah memaksimalkan kontrol biaya itu.
Segala jenis "lemak jahat" mesti disingkirkan. Perjalanan dinas yang tak perlu wajib dicoret, angka "kehilangan" listrik mesti ditekan habis. Manajemen pembelian bahan bakar dan energi primer harus diperbaiki. Dalam hal pembelian alat, PLN perlu mempertahankan kebiasaan yang sudah dijalankan Dahlan Iskan dulu, membeli langsung dari pabrikan—tidak dari perantara. Perbaikan prosedur pembelian barang, yang nilai setahunnya sekitar Rp 50 triliun, sangat berarti menyumbang laba bersih PLN.
Sofyan Basir jelas tak bisa mengotak-atik tarif listrik, yang selama ini diatur pemerintah. Bahkan margin keuntungan PLN pun dibatasi hanya 7 persen. Padahal margin ideal, yang bisa membuat PLN memupuk modal lebih besar, adalah 10-12 persen. Tapi, semakin tinggi margin PLN, subsidi listrik yang harus dibayar pemerintah juga semakin besar. Tanpa pengendalian optimal, bisa-bisa subsidi listrik ini menggantikan subsidi BBM yang baru dipangkas itu.
Walhasil, Sofyan mesti "berayun" di antara optimalisasi utang dan tambahan pasokan listrik. Jika pemerintahan Joko Widodo terhindar dari krisis listrik, kita boleh angkat jempol untuk Sofyan Basir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo