Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah petuah dari tapos

Wawasan historis dan kemanusiaan yang disampaikan presiden Soeharto di hadapan 31 konglomerat Indonesia di Tapos, membuahkan hasil yang menggembirakan bagi perekonomian Indonesia bidang perkoperasian.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH "teater pembangunan" penting telah dipentaskan di Tapos, Bogor, hari Minggu kemarin. Seperti ditayangkan TVRI secara lengkap (Minggu malam lalu), sifat teateral dari peristiwa Tapos itu adalah karena ia telah merangkum berbagai bidang kehidupan yang luas: Dari perjuangan bangsa dan pengorbanan rakyat (aspek historis dan kemanusiaan), Pancasila (aspek ideologis), pemanfaatan kekayaan (aspek ekonomi dan pemerataan), sampai tentang metafisika fungsi harta itu sendiri (aspek teologis). "Aktor" utamanya pastilah Pak Harto. Di hadapan Kepala Negara ini -- yang didampingi oleh Pak Bustanil Arifin dan Pak Harmoko ("aktor-aktor pembantu") -- selapisan pengusaha raksasa (yang tenggelam dalam baju batik mereka yang berwarna-warni), duduk dengan takzim yang, dalam teater itu, bertindak sebagai "aktor pendukung". Tapi, inilah keanehan teater itu. "Aktor pendukung" yang kali ini dipentaskan bukanlah aktor sembarangan. Sebagian besar dari mereka -- seperti pernah ditulis oleh sebuah majalah ekonomi -- termasuk orang-orang terkaya di ASEAN, kalau bukan malah -- walau proporsinya semakin menurun -- di dunia. Inilah lapisan usahawan yang -- seperti yang mereka nyatakan sendiri di hadapan Pak Harto dengan rasa syukur yang mendalam -- mendapatkan kesempatan terbesar untuk menikmati buah pembangunan Orde Baru. Kebangkitan mereka bukanlah sekadar membangun "jaringan usahawan baru" yang hampir sama sekali tak berhubungan dengan yang lama -- para pengusaha yang tumbuh akibat politik Benteng dan (biasanya) terikat pada salah satu kekuatan politik. Melainkan, walau mungkin tidak secara langsung, berkaitan dengan "menang"-nya kelompok pendukung kebijaksanaan "Berorientasi ke luar" -- meminjam istilah Muchtar Mas'oed -- dalam pertentangannya dengan pendukung kebijaksanaan "Berorientasi ke dalam" yang lebih nasionalistis di awal pembangunan Orde Baru. Kebijaksanaan "Berorientasi ke luar" yang kemudian menang itulah, yang dalam cetusan Pak Widjojo Nitisastro disebut sebagai strategi radikal yang "mungkin menimbulkan sakit bagi pasien, tapi cepat menyembuhkan kepulihan ekonomi", yang meletakkan dasar-dasar yang cukup kuat bagi pertumbuhan usaha mereka. Sebab, salah satu inti kebijaksanaan itu adalah pengetatan peredaran uang untuk menekan inflasi dengan menetapkan tingkat bunga yang sangat tinggi -- mencapai 5%-9% per bulan. Diimbangi dengan kecenderungan lebih memihak kepada "kelompok bisnis yang efisien", maka praktis di awal Orde Baru -- periode yang paling crucial bagi pertumbuhan kelompok-kelompok usaha -- pengusaha pribumi yang umumnya masih terperangkap ke dalam petty traders tidak bisa berpartisipasi di dalamnya. Maka, merekalah, "aktor-aktor pendukung" dalam teater Tapos di atas, yang (lagi-lagi, memakai istilah Muchtar Mas'oed), "terbebas dari hukuman" kebijaksanaan yang juga lazim disebut shock treatment itu. Melalui hubungan keluarga-plus-bisnis yang meluas di Asia Tenggara dan Asia Timur, mereka bisa menikmati kredit murah dari masyarakat perbankan di Singapura, Malaysia, Hong Kong, dan Taiwan. Dan dengan cara semacam inilah proses akumulasi modal mereka di awal Orde Baru bisa dilaksanakan. Terlepas dari apakah mereka percaya dengan Dewi Fortuna atau bukan, kemudahan yang "bebas dari hukuman" dan proses pemupukan modal awal yang telah dapat dirintisnya itu bertemu dengan Undang-Undang PMDN. Sebab, dalam usaha Pemerintah -- yang dimulai pada 1968 -- mengerahkan modal dalam negeri pun dilaksanakan. Dan sebagaimana yang diketahui, syarat investasi dalam negeri itu sangat berat: Seorang calon investor harus mempunyai matching capital sebesar 25% dari investasi total. Keruan saja, persyaratan semacam ini tidak "termakan" oleh kebanyakan pengusaha anak negeri. Maka, seperti dinyatakan dalam disertasi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, pada awal 1970-an, orang Cina dan pengusaha nonpribumi lainnyalah yang mampu memiliki 75% dari seluruh modal yang diinvestasikan menurut UUPMDN. Kebijaksanaan shock treatment dan kemudahan-kemudahan lain yang mengikutinya kemudian, di samping tradisi dagang mereka yang telah berakar, itulah yang melontarkan mereka jauh ke permukaan dunia usaha Indonesia. Seperti dominannya peranan ABRI dalam stabilitas sosial-politik, demikian jugalah dominannya mereka dalam perekonomian Indonesia. Dengan jumlah aset yang diperkirakan antara 1 dan 5 milyar dolar Amerika, seperti yang dimiliki salah seorang yang hadir di sana atau antara 500 juta dan 1 milyar dolar dan antara 100 juta dan 500 juta dolar, peranan ekonomi mereka di Indonesia -- di tengah sebagian besar massa tani yang berupah Rp 1.000 per hari -- memang luar biasa besarnya, yang rasanya, walau saya tidak paham, bisa membiayai APBN kita untuk satu tahun. Suatu anugerah Orde Baru yang bagaimanapun patut disyukuri. Dan persoalan syukur inilah yang diungkapkan oleh Pak Harto di hadapan mereka. Dengan rileks dan lancar, Pak Harto "berceramah" tentang perjuangan kemerdekaan yang telah mulai dirintis ratusan tahun yang lalu oleh tokoh-tokoh lokal -- yang kemudian dilanjutkan oleh tokoh nasional. Dalam perjuangan itu, termasuk dalam menegakkan Orde Baru -- tempat mereka kini berjaya -- menurut Pak Harto, bukanlah sesuatu yang sederhana. Rakyat, sebagaimana biasanya, telah berkorban untuk sesuatu yang lebih luhur, yang hasilnya belum tentu bisa dinikmati secara sempurna. Maka, mereka yang telah "berhasil", sesuai dengan Pancasila, wajiblah memikirkannya. Pak Harto memberikan wawasan historis dan kemanusiaan kepada mereka, dan menekankan makna yang terdalam dari pengorbanan rakyat. Tetapi, justru dari situlah kemudian ia masuk pada persoalan metafisika fungsi harta. "Proses kejadian manusia berlangsung dalam tiga tahap," ujarnya. "Dimulai dari alam purwa, di mana selama 9 bulan kita ndekem dalam perut ibu kita masing-masing lalu alam madya, tempat sekarang kita hidup dan yang terakhir alam wusana, yakni alam akhirat. Pada tahap terakhir inilah, harta tidak lagi bisa berbicara," ujarnya sambil tersenyum. "Sebab," masih dalam senyumnya, "yang ditanya adalah amal perbuatan kita...." Sebuah petuah "teologis" yang mungkin menyempurnakan, atau bahkan mentransendensikan mitos pertumbuhan dan akumulasi kapital yang pernah didewa-dewakan di awal Orde Baru. Aspek kemanusiaan dan kerohanian, dalam perkembangan ekonomi Orde Baru yang semakin pesat, lewat Kepala Negara, telah semakin ditekankan. Dan aktor utamanya, kali ini, adalah para "aktor pendukung" dari pentas teater Tapos, minggu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus