Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Sekali PPKI Tetap Merdeka

"Sayap tua" akhirnya menang: kemerdekaan dilakukan melalui representasi seluruh daerah, PPKI.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Itulah yang dikatakan Jenderal Terauchi kepada Sukarno dan Mohammad Hatta, yang menemuinya di markas besarnya di Dalath, Saigon, 12 Agustus 1945. Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara itu menambahkan, kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan. Dua hari kemudian, Sukarno dan Hatta sampai di Tanah Air membawa kabar besar itu. Hari itu kelompok pemuda, yang memiliki radio gelombang pendek, menangkap siaran pernyataan menyerah Jepang kepada Sekutu. Bagi Sukarno dan Hatta, kemerdekaan bukan soal diucapkan pagi, siang, atau tengah malam setelah kepastian kekalahan Jepang. Mereka, juga tokoh-tokoh tua lainnya, tetap pada keyakinan bahwa proses yang benar harus ditempuh. Kemerdekaan bukan milik Jakarta semata. Wakil-wakil daerah harus terlibat. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)—meski bentukan Jepang—harus tetap difungsikan karena mereka representasi seluruh daerah. Golongan pemuda, yang sejak awal mengambil jarak dengan golongan tua, telanjur panas hati. Mereka bersikeras: begitu Jepang menyerah, kemerdekaan harus diproklamasikan saat itu juga. Di mata pemuda, Sukarno-Hatta lamban, ragu-ragu, dan selalu menunggu instruksi Jepang. Ini bisa berarti bahwa proklamasi cuma pemberian bangsa kate itu. Bukan mustahil pula Indonesia dianggap serupa dengan barang inventaris yang bisa dipindahtangankan ke Sekutu. Maka, Sukarno harus dipaksa, diculik, dan disembunyikan. Bakar Jakarta! Kobarkan revolusi! Tapi sejarah mencatat: tak ada revolusi sepanjang 16 Agustus 1945. Harus Melalui PPKI? Pada 14 Agustus, Sjahrir menyampaikan gagasan proklamasi tanpa proses sidang PPKI. Ini untuk menghindari kecurigaan Sekutu bahwa proklamasi Indonesia adalah rekayasa Jepang. Hatta bisa menerima ide ini. Tapi, menurut dia, juga Sukarno, hasilnya tidak akan baik jika tokoh-tokoh tua yang duduk di PPKI ditinggalkan. Sebab, mereka dianggap mewakili seluruh daerah. Esoknya, Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo menemui Laksamana Maeda, memastikan kabar penyerahan Jepang. Perwira penghubung Angkatan Laut Jepang itu mengaku belum menerima pemberitaan resmi dari Tenno. Menjelang magrib, Soebadio Sastrosatomo dan Soebianto Djojohadikoesoemo mendatangi Hatta. Mereka berusaha meyakinkan Hatta untuk mengajak Sukarno memproklamasikan kemerdekaan tanpa PPKI. Upaya kedua anak muda itu sia-sia. "Bung Hatta tidak bisa diharapkan untuk revolusi!" hujat mereka. Hatta tersenyum dan tetap pada keyakinannya bahwa organisasi dan landasan sebuah negara merdeka harus disiapkan dulu. Pukul 09.30, datanglah Ahmad Subardjo. Hatta belum lagi menyelesaikan rancangan naskah proklamasi, yang rencananya akan dibahas dalam rapat PPKI esoknya. Bergegas mereka menuju Jalan Pegangsaan Timur 56, tempat berlangsungnya debat wakil pemuda dengan Sukarno. Pemuda tetap ingin kemerdekaan segera diproklamasikan tanpa melalui PPKI. Sukarno berprinsip, PPKI penting guna menyiapkan instrumen negara, dari undang-undang dasar sampai pemerintahan pusat dan da-erah. Persiapan ini sangat ampuh untuk menangkal kemungkinan kembalinya Belanda. Perselisihan tajam itu diakhiri dengan penculikan pada dini hari 16 Agustus. Dalam memoarnya, Hatta menuturkan, kalau saja tak ada "peristiwa Rengasdengklok" (penculikan itu), mungkin Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tengah hari 16 Agustus 1945. Keadaan berubah cepat. Tengah hari 16 Agustus, Sekutu menetapkan status quo bagi Indonesia, dan Jepang hanya berfungsi sebagai alat keamanan. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Jepang. Mayor Jenderal Nishimura, yang ditemui Sukarno-Hatta malam hari sepulang mereka dari Rengasdengklok, menegaskan: jangankan membantu mewujudkan kemerdekaan, membolehkan rapat PPKI pun Jepang tak mau. Kalau begitu, tandas Sukarno, "Kami hendak merebut kemerdekaan dengan kekerasan… kami tidak ingin diserahkan kepada Sekutu sebagai inventaris. Dengan pertimbangan yang masak, kami bermaksud me-neruskan usaha sebagaimana telah dijanjikan Tenno Heika." Nishimura menggeleng. Teritori Maeda Malam kian larut. Kempetai bersiaga di seluruh Jakarta. Hotel Des Indes menolak menyediakan ruang di atas pukul 10 malam. Tak ada tempat yang aman kecuali sebuah rumah besar di Myako-dori (kini Jalan Imam Bonjol). Rumah Laksamana Tadashi Maeda itu adalah teritori Angkatan Laut. Kempetei dan Angkatan Darat tidak bisa main tangkap di tempat itu. Berkumpullah anggota-anggota PPKI dan para pemuda di sana. Ahmad Subardjo dalam bukunya menuturkan, Maeda mengerti dengan baik cita-cita perjuangan nasional. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan menghargai usaha bangsa Indonesia untuk merdeka. Ia, Kepala Kantor Penghubung AL, tak dilengkapi pasukan dan tak berkepentingan terhadap kegiatan militer di Jakarta. Dan Maeda mengizinkan rumahnya dijadikan tempat pertemuan—menjadikan menit-menit terpenting sejarah Indonesia sebagai ke-putusan pribadinya. Dalam salah satu bukunya, B.M. Diah menulis, tak satu pun orang Jepang hadir sepanjang proses perumusan teks proklamasi. Baru setelah teks itu selesai diketik, dibacakan di hadapan anggota PPKI, dan ditandatangani, Maeda hadir dan memberikan selamat. Jadi, janji kemerdekaan dari Jepang tak sempat terwujud. Indonesia melakukannya sendiri di tengah larangan Sekutu untuk mengubah status quo. Ines Handayani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus