Syarat terakhir kemerdekaan sebuah bangsa adalah pengakuan dari bangsa lain. Itulah yang dibicarakan oleh Sukarno dan Hatta dalam perjalanan pulang dari Dalath-Saigon setelah bertemu Jenderal Terauchi. Tiga hari kemudian, pro-klamasi dibacakan. Dan segera terbukti, pengakuan bangsa lain tak serta-merta diraih.
Berita kemerdekaan Indonesia menyebar, tapi menyebar pula opini negatif Belanda: Indonesia hanyalah bentukan fasis Jepang, tak siap berdiri sendiri, kacau, dan dikangkangi oleh kepentingan sekelompok elite.
Inilah perang yang bedil dan bambu runcing tiada berguna. Inilah saat kecerdasan diplomasi mutlak diperlukan. Opini publik internasional harus dibentuk, citra Indonesia yang berdaulat dan bermartabat harus dibuktikan.
Tawanan Perang
Sekutu termakan hasutan Belanda bahwa Sukarno dan Hatta adalah antek Jepang. Skenario baru pun segera dimainkan oleh Perdana Menteri Sjahrir melalui jurus-jurus perundingan. Salah satu urusan Sekutu dengan negara bekas jajahan Jepang adalah tawanan perang dan pelucutan sisa-sisa pasukan Jepang. Tak kurang dari 36 ribu serdadu Belanda masih tinggal di wilayah republik, ditambah sekitar 35 ribu tentara Jepang yang telah takluk kepada Sekutu. Aturan perang mengharuskan mereka dipulangkan ke negerinya secara utuh.
Pada akhir Oktober 1945, Sjahrir menawari Sekutu bantuan pengangkutan tawanan perang, yang tersebar di berbagai daerah sampai ke pelabuhan. Waktu itu, gerakan pasukan Sekutu ke daerah-daerah tempat tawanan perang dihadapi dengan gerilya oleh pejuang RI. Inggris merasakan pedihnya pertempuran di Surabaya, yang menewaskan Mallaby. Serangan-serangan mendadak di sepanjang jalur-jalur kereta api merepotkan Sekutu. Maka, tawaran Sjahrir menjadi pilihan terbaik.
Dibentuklah Panitia Oeroesan Pemoelangan Djepang (Popda) dan Allied Prisoners of War and Internees (APWI). Hanya ada gerbong kereta api sebagai sarana transportasi. Tentara Keamanan Rakyat pun disiagakan. Dapur umum, obat-obatan, dan semua keperluan lain diselenggarakan sebisanya. Proses pengiriman dari kamp-kamp tawanan pun lancar. Mereka akan diberangkatkan ke negara masing-masing dari pelabuhan Semarang dan Jakarta.
Kerja besar selama hampir dua tahun itu sukses. Ini berarti ada komando, ada koordinasi, ada pemerintahan yang ditaati oleh angkatan perangnya. Aturan dan hukum bisa ditegakkan. Meski rakyat benci kepada Belanda dan Jepang, yang menyerah tetap dilindungi. Suara Sjahrir bergema di dunia internasional: Indonesia adalah bangsa yang berperikemanusiaan, bangsa yang mengerti aturan perang internasional.
Beras untuk India
Pada Mei-Juni 1946, truk-truk "India-rice" bergerak dari lumbung-lumbung Karawang dan Jawa Timur ke pelabuhan-pelabuhan. Lima ratus ribu ton beras dikapalkan ke India. Belanda meraung, kecolongan. Laksamana Madya A.S. Pinke, panglima AL Belanda di Indonesia, memerintahkan armada perangnya menembaki pelabuhan Banyuwangi. Tapi berita aksi kemanusiaan oleh negara yang belum genap berumur 12 bulan itu tak bisa dihadang oleh peluru. Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Liga Muslim mulai melirik Indonesia.
PM Sjahrir mengemas propaganda anggun dengan bantuan kemanusiaan: negara yang dicap "kacau-balau" itu menawarkan bantuan pangan kepada negara lain. Negara yang jatuh ke titik termiskin akibat penjajahan Jepang itu punya persediaan pangan melimpah. Nehru, paham bahwa ini bagian dari strategi, mengirim imbalan berupa obat-obatan, tekstil, dan alat pertanian.
Barter dengan India itu membuka jalan baru bagi hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara lain. Belanda kalap. Blokade dipancang di mana-mana. Perairan dipatroli. Kapal-kapal dagang Inggris dan AS dirazia.
Inggris dan AS tersinggung oleh sok kuasa Belanda. Urusan bisnis kina, karet, dan gula, yang terganggu ulah Belanda, memuncak sampai ke Kongres AS, dan diputuskan untuk menghentikan bantuan kepada Belanda. Citra Indonesia yang berdaulat terus mencari bentuk di tengah tekanan agresif militer Belanda.
Sampai pertengahan 1947, Liga Muslim, Inggris, AS, Mesir, dan Australia bergiliran menyatakan pengakuan atas kedaulatan Indonesia. Diwakili Sjahrir, Indonesia hadir dalam konferensi bangsa-bangsa Asia, dan sampai tiga kali diberi kesempatan berpidato di PBB pada Agustus 1947, yang berujung pembentukan komisi jasa baik bagi perselisihan Belanda-Indonesia.
Ines Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini