LAKSAMANA Muda Tadashi Maeda tak punya wewenang eksekutif apa pun. Ia hanya Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut dengan Angkatan Darat di Jakarta. Garisnya ke penguasa militer bersifat koordinatif, sedangkan hierarkinya ke atas adalah Panglima Armada 2 Selatan di Surabaya. Namun, sejak Januari 1943, pria 47 tahun itu ikut "membina" kepemimpinan nasional Indonesia. "Operasi khusus" ini dikendalikan melalui Dai Sanka (Departemen 3) Kantor Penghubung AL.
Pemimpin Armada 2 memang punya pandangan strategis, yakni melanggengkan hubungan baik antara Jepang dan Indonesia yang kelak akan merdeka. Pengalaman menjadi perwira hubungan luar negeri dan atase AL di Belanda dan anggota misi Jepang ke berbagai negara membuat Maeda kompeten untuk "fungsi teritorial". Lagi pula, secara pribadi, perwira navigasi ini memang bersimpati kepada perjuangan Indonesia.
Kamis pagi, 16 Agustus 1945. Sesuai dengan janji, Laksamana Maeda akan meneruskan pengumuman resmi menyerahnya Jepang kepada tiga pemimpin Indonesia: Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Subardjo. Ia menanti mereka di kediaman resminya, bangunan 10 kamar di Myako-dori (kini Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat). Tapi hanya Subardjo yang muncul. Ia cemas, keduanya ditangkap Angkatan Darat.
Merasa berkepentingan, Maeda menelepon kantor Gunseikan (penguasa pemerin-tahan militer). Mereka menyatakan tidak tahu. Ia kemudian bergegas menemui Mayjen Otoshi Nishimura, Soomubucho (Kepala Staf Urusan Umum) Tentara ke-16. Kata Nishimura, AD dibantu polisi juga tengah menyelidiki, tapi "sebaiknya tidak usah berusaha mencari dalam situasi yang tak menentu ini." Sampai pukul 11 belum jelas di mana Sukarno dan Hatta berada.
Dua jam kemudian, Shigetada Nishijima, pembantu dekat Maeda, berhasil menemui Wikana, pengurus "Asrama Merdeka". Wikana mengaku, "Kami tidak bisa memaafkan diri kami bila sampai dilaporkan bahwa kemerdekaan Indonesia didapat dari pemberian Jepang. Dengan kekuatan sendiri kami harus mendeklarasikan kemerdekaan ke seluruh dunia. Untuk keperluan itu kami akan menduduki stasiun radio."
Lepas tengah hari menjadi jelas bahwa mereka telah diculik oleh kelompok pemuda progresif dan dibawa ke Karawang. Terungkap pula bahwa penculikan ini berkaitan dengan konspirasi merebut kemerdekaan, dengan mengabaikan keberadaan Jepang. Menurut info yang diterima Maeda, sekitar 6.000 pemuda akan merebut alat-alat transportasi dan gedung komunikasi di tengah malam, kemudian mendirikan negara merdeka. Sukarno dan Hatta diminta memproklamasikannya.
Perubahan Total
Sembilan hari sebelumnya, hari kemerdekaan sudah dikonkretkan, yakni 9 September 1945, yang akan didahului dengan penetapan undang-undang dasar pada 18 Agustus. Dua hari sebelumnya, Maeda ke Kemayoran menjemput Sukarno dan Hatta, yang baru pulang dari pertemuan dengan Panglima Wilayah Asia Tenggara di Saigon. Sejak 10 Agustus, utusan daerah ke sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sudah berdatangan di Jakarta. Indonesia merdeka tinggal menghitung hari. Semua telah disiapkan secara saksama… sampai tiba-tiba datang "kiamat" ini.
Ia pun mengenang peristiwa September 1944, ketika rakyat dengan pawai gegap-gempita menyambut maklumat Perdana Menteri Koisho untuk memerdekakan Indonesia. "Prosesi tiada putus itu melewati kantor saya," tutur Maeda, "Juga melewati kantor Gunseikan, yang pasti menarik napas lega karena pengumuman Perdana Menteri menyelamatkan mereka dari pilihan diterkam setan atau terjun ke laut dalam. Bagaimanapun, aspek peperangan di setiap mandala sangatlah dipengaruhi oleh kejiwaan pen-duduk terhadap perang tersebut."
Kini dia sendirilah yang seolah berada di antara setan dan laut dalam. Bagaimana kalau para pemuda benar-benar bergerak? Tentara Jepang masih menyandang senjata. Mereka tetap prajurit berdisiplin tinggi. Mereka pasti akan menaati perintah status quo, memelihara ketertiban dan keamanan sampai Sekutu datang. Bentrokan antara pasukan Jepang dan pemuda bisa menjalar ke seantero Jawa, dan Indonesia. Bakal banyak korban di kedua belah pihak. "Teman tepercaya orang-orang Indonesia" itu kini terjebak dalam perang yang lain. Sendirian.
Pukul 15.00-16.00. Nishijima berada di kantor Subardjo, di Jalan Prapatan. Ada Suroto Kunto, mahasiswa kedokteran yang baru datang dari Karawang. Ia mengatakan Sukarno dan Hatta kini berada di Rengasdengklok. Subardjo, yang menentang rencana pemuda, memutuskan untuk berangkat menjemput. Tapi bagaimana kalau dalam perjalanan pulang, Sukarno dan penjemputnya dicegat tentara? Nishijima menenangkan, "Begitu berhasil masuk kembali di Jakarta, langsung saja ke rumah Laksamana (Maeda). Saya jamin dilindungi."
Pukul 17.00. Subardjo dan sekretarisnya, Sudiro, berangkat. Suroto Kunto penunjuk jalan.
Pukul 23.00. Mobil yang membawa Sukarno, Hatta, Sukarni, dan Subardjo tiba di depan pintu rumah Maeda. Subardjo, Sukarno, Hatta, Maeda, dan penerjemah Nishijima kemudian berembuk. Pembahasan mereka berfokus pada pemberontakan yang akan dimulai pada pukul 24.00 itu. Diputuskan bahwa betapapun riskannya, itu harus dicegah. Tugas ini dijalankan Sukarni dan Sayuti Melik. Nishijima ikut. Mereka mendatangi sekolah kedokteran di Jalan Prapatan 10 yang dijadikan markas pemberontak, lalu ke persimpangan Senen, dan ke sta-siun radio di Gambir Barat.
"Semuanya menunggu apa yang akan terjadi, saat orang-orang yang di-kirim itu mungkin telah mati terbunuh," tutur Maeda, "Syukurlah kami berhasil menghentikan mereka hanya beberapa menit sebelum pukul 24."
Pukul 24.00-01.00, 17 Agustus. Maeda dan para pemimpin Indonesia terus gelisah di rumah sang Laksamana. Para revolusioner semalam hanya mengundurkan ultimatum. Kemerdekaan tetap harus diproklamasikan. Tenggatnya tak bisa ditawar lagi: pukul 12.00, hari itu juga: 17 Agustus 1945. Maeda menelepon Mayjen Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke-16 yang menguasai Pulau Jawa dan merangkap Komandan Garnisun Ibu Kota—bagaimanapun, situasi ini berada di bawah yurisdiksi AD. Yamamoto tidak bersedia ditemui, dengan alasan malam sudah larut. Ia menyuruh Maeda ke Nishimura soomubucho.
Sake dan Anggur
Pukul 01.00, 17 Agustus. Sukarno, Hatta, dan Maeda ke rumah Mayjen Nishimura di Jalan Meiji (sekarang Jalan Diponegoro). Di situ, sejak sejam sebelumnya, sudah berkumpul perwira dan pegawai Jepang dari markas tentara dan departemen luar negeri. Di meja tampak botol sake dan anggur. Pemimpin AD memang memutuskan untuk tak berbuat apa-apa selain menunggu tibanya tentara Sekutu. Mereka minum-minum untuk melupakan kesedihan.
Sukarno, Hatta, Jenderal Nishimura, Laksamana Maeda, dan penerjemah AD, Nakatani, duduk di sofa di ruang gambar. Sukarno menyampaikan gagasan untuk tetap melaksanakan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sepenuhnya diatur oleh Jepang. Selanjutnya, seusai sidang, Indonesia mengatur dirinya sendiri. Menurut Sukarno, sidang PPKI itu akan dibuka pada 17 Agustus, sehari lebih cepat dari rencana.
Catatan Nakatani tentang pertemuan di rumah Nishimura: "Para perwira Jepang mustahil mau menyinggung tentang menyerah kalahnya mereka, dan bersamaan dengan itu melibatkan diri membantu persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lagi pula mereka terikat perintah status quo. Pihak Indonesia mengajukan dua usul. Pertama, sidang PPKI diselenggarakan 17 Agustus, dan pada hari itu pula ditetapkan kemerdekaan. Kedua, deklarasi kemerdekaan dinyatakan pada hari berikutnya, 18 Agustus, dan sidang PPKI bisa diundurkan satu-dua hari setelahnya.
Menurut Nakatani, sikap AD makin kaku, keras kepala, dan ingin lepas tangan. Panglima Tertinggi sudah mau menerima pro-klamasi kemerdekaan, tapi tidak sebelum 23 Agustus. Perintah ini harga mati. Ketika ditanya apakah sampai 23 Agustus itu Jepang bisa menjamin tak akan terjadi apa-apa, para perwira AD itu menjawab, "Haik" ("Ya")—terdengar sebagai asal menjawab. Bukankah mereka seharusnya mematuhi status quo?
Dalam keadaan seperti itu, Sukarno me-lihat peluang yang lebih baik. Tapi karena kelewat bersemangat, bicaranya tersendat. Hatta membantu mengungkapkan maksud Sukarno dengan lebih gamblang. Orang-orang Jepang itu serempak berteriak, "Tidak, tidak." Bau alkohol menyebar dari mulut mereka.
Setelah dua jam berembuk tanpa titik temu, pihak Indonesia mengeluarkan jurus baru. Jepang diminta menganggap tindakan ini sebagai urusan internal bangsa Indonesia dan membiarkan saja sepanjang hal itu di luar pengawasan Jepang. Pihak Jepang menyahut, "Kalau kami tahu, kami pasti akan menolak rencana ini. Bila kami setuju, berarti kami mengingkari kewajiban kepada Sekutu." Tanggapan ini dijadikan pegangan oleh Sukarno untuk menentukan langkah se-lanjutnya.
Pukul 03.00. Maeda bersama orang-orang Indonesia kembali ke rumahnya di Myakodori.
Teks Proklamasi
Atas prakarsa Subardjo, Nishijima dan Yoshizumi (Kepala Seksi Indonesia Dai Sanka), anggota PPKI, dan tokoh-tokoh pemuda berkumpul di kediaman Maeda. Jumlahnya sekitar 50 orang. Dr. Radjiman, yang duduk di samping Nishijima, berbisik, "Apakah Anda telah mendapat persetujuan Panglima Tertinggi?" Yaitu tentang keinginan pemuda di luar dan semua yang ada di rumah itu untuk mendeklarasikan kemerdekaan.
Maeda, Sukarno, Hatta, Yoshizumi, dan Nishijima duduk melingkari meja bundar di ruang makan. Di dekat mereka ada Sukarni, Sayuti Melik, dan B.M. Diah. Yang lain-lain menunggu di ruang tamu. Maeda, yang tetap merasa perlu perkenan AD, meminta AD mengutus seorang pejabat. Saito dari departemen luar negeri juga diundang. Mereka menolak datang karena tidak mau ikut bertanggung jawab. Yang datang cuma Kolonel Miyoshi, perwira administrasi—dalam keadaan setengah mabuk.
Terjadi tarik-menarik di antara hadirin menyangkut masa transisi dan siapa yang mengatasnamakan bangsa Indonesia. Sukarni mengusulkan agar ada ungkapan yang lebih revolusioner, "merebut kekuasaan". Ini soal peka. Apakah "merebut" itu berarti merebut senjata dari tangan prajurit Jepang yang menjalankan perintah Sekutu?
Menurut Maeda, Nishijima, dan Miyoshi, orang Jepang jelas bersimpati dan mendukung kemerdekaan Indonesia, tapi mereka juga tidak ingin membahayakan diri mereka sendiri. Kata yang dipakai akhirnya adalah "pemindahan kekuasaan". Lalu, tentang siapa yang menandatangani, disepakati "atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta."
Catatan Nishijima: sebenarnya bumiputra bukan Nederlandsche onderdanen (kawula Belanda), tapi Nederlandsche ingezetene (penduduk Belanda), yang terputus ketika perang meletus. Lalu, Jepang menyiapkan mereka untuk mengatur pemerintahan. Pengalihan wewenang ke orang Indonesia, mengisi kevakuman, menandai berakhirnya perang. Jika pengalihan itu oleh pihak Indonesia dipakai untuk mendirikan republik sendiri dan dianggap ilegal, itu adalah "urusan dalam negeri Belanda" dan tidak ada kaitannya lagi dengan Jepang.
Lewat pukul 04.00 subuh. Perumusan naskah proklamasi rampung. Para tamu satu per satu pergi. Sukarno melangkah ke luar, setelah mengambil makanan di dapur untuk sahur. Hatta menyusul, seusai membuka sekaleng ikan sarden dan mencampurnya dengan telur. Maeda sendiri sudah tidur sejak tadi, membiarkan orang-orang Indonesia, disaksikan penerjemah Jepang, menyelesaikan teks proklamasi.
Pukul 05.00. Sang Laksamana turun dari lantai dua rumahnya. Masih ada dua-tiga orang berleha-leha di ruang tamu. Ia mengambil minuman sambil mengedarkan makanan kecil ke tamu-tamu yang letih itu. Melangkah ke pintu depan, ia melihat fajar merekah. Pantulannya memancarkan warna ungu dan merah jambu di dedaunan. Delapan anjing peliharaannya berlarian, menyapu embun di hamparan rumput.
(Daud Sinjal, A.B. Kusuma—dari On the Eve of Independence of Indonesia 1945, kesaksian Laksamana Muda Tadashi Maeda yang disertai catatan Nishijima, penerjemah AL, Nakatani, dan penerjemah AD, Miyoshi; dihimpun oleh Institut Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Waseda, 16 Agustus 1954; juga petikan berkas interogasi terhadap Maeda, 31 Mei-14 Juni 1946, Algemene Rijks Archive, Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini