Charles Olke van der Plas, pejabat Belanda paling senior di Jakarta, menghadap Laksamana Lord Louis Mountbatten di markasnya di Kandy, Sri Lanka, 27 September 1945. Panglima Tertinggi Sekutu Wilayah Asia Tenggara itu menatapnya tajam, sebelum melepaskan kata-kata ini: "Dalam keadaan apa pun, Inggris tak bersedia dilibatkan dalam urusan internal di Jawa, dan pasukannya tidak akan dipakai menghadapi kerusuhan. Masalah kaum nasionalis Indonesia adalah urusan Belanda."
Petinggi NICA itu terperangah. Ia mencoba protes, tapi sang "Supremo" tak menggubris. Malah Van der Plas baru boleh meninggalkan pertemuan setelah berjanji akan berunding dengan kaum Republik, termasuk Sukarno. Langkah menguasai kembali koloninya di Hindia Timur tersandung. Kini benaknya dipenuhi bayangan bakal lepasnya Jawa dan Sumatra (yang di bawah pengawasan Inggris).
Gelombang pertama pasukan Sekutu tiba di Jakarta, 29 September. Panglima Sekutu di Indonesia, Jenderal Sir Philip Christison, menyusul sehari kemudian dengan pesawat pengebom, dan langsung diberondong pertanyaan wartawan. Di koran, jawaban Christison ditulis bahwa ia "tidak akan menempatkan Belanda kembali untuk meng-atur". Ia pun mengharapkan para pemimpin Indonesia "bekerja sama dengan saya, dan saya akan berusaha secepat mungkin membawa mereka ke meja perundingan dengan Belanda". Jelas ia membawa garis Mountbatten.
Menaati perintah Mountbatten, pada 1 Oktober Van der Plas berseru melalui radio kepada para pemimpin Indonesia, apa pun golongan politik dan aliran mereka, untuk mendiskusikan rekonstruksi Indonesia baru—kendati kemudian, dalam konferensi pers, ia mengatakan nama Sukarno "tak tercantum dalam daftar undangan". Pada hari itu juga disiarkan ulang pidato Ratu Belanda Wilhelmina (Desember 1942, dari pengasingannya di London), meski tak jelas apakah ini masih bagian dari petunjuk Mountbatten atau bukan. Isinya, janji bahwa seusai perang akan diadakan konferensi meja bundar untuk membahas Indonesia yang berdiri sendiri di dalam uni (commonwealth) dengan Belanda.
Suasana harmonis memayungi Jakarta sejenak, sampai muncul reaksi keras dari Den Haag. Menteri Jajahan, J.H.A. Logemann, menolak habis pernyataan Van der Plas untuk berunding dengan para pemimpin nasionalis. Kemarahan pemerintah Belanda bukan cuma tertuju pada Van der Plas, juga kepada Christison. Tarik urat diplomatik pun berlangsung antara Den Haag dan London. Teks wawancara Christison yang "salah kutip" diluruskan.
Tapi sikap Mountbatten dan pemerintahnya di London tak berubah.
Laporan Kontradiktif
Perang Pasifik telah berakhir sebulan lebih. Sebagai pemenang perang, Sekutu membagi wilayah tanggung jawab. Tentara Amerika Serikat memegang Pasifik Barat. Inggris memimpin South East Asia Command (SEAC), yang meliputi wilayah Burma, Indocina, Malaya, sampai Sumatra dan Jawa. Tugas utamanya melucuti dan memulangkan tentara Jepang dan Recovery Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI)—pengurus tawanan perang dan interniran.
Namun, misi Sekutu di Indonesia belum bisa dimulai. Kaki pasukan Inggris belum terpancang di Jawa, kecuali penerjunan tim kecil RAPWI yang dipimpin mayor Inggris Alan Greenhalgh dan letnan Belanda Baron John van Tuyll untuk membuka kontak dan menghimpun informasi. Lord Mountbatten, Panglima SEAC, tak sabar. Beberapa hari ini laporan-laporan yang diterimanya simpang-siur. Tapi mengapa ia, yang oleh bawahannya dijuluki "Supremo", tiba-tiba bisa ber-sikap kencang dan jenderalnya yang ditugaskan ke Jawa dituduh sebagai "anti-Belanda"?
Cruiser Squadron 5 (CS5), yang terdiri dari penjelajah berat Cumberland dan empat penyapu ranjau, berlabuh di Tanjungpriok, 15 September 1945, dikomandani Laksamana Muda Wilfred Patterson. Di atas cruiser itu ada pula rombongan Netherlands Indies Civil Administration (NICA), yang dipimpin Van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Abdul Kadir Widjojoatmodjo, mantan pejabat tinggi pemerintahan dalam negeri Hindia Belanda. Letnan Gubernur Jenderal Van Mook sendiri masih berada di markas pengasingan di Brisbane, Australia. Cumberland berfungsi sebagai markas sementara dan pusat komunikasi.
Pada hari Cumberland merapat, Greenhalgh dan Baron van Tuyll naik untuk me-laporkan situasi yang dilihatnya di Jakarta, Bandung, dan Jawa Tengah. Naik pula Letkol Laurens van der Post, tawanan perang yang baru saja dibebaskan. Sebaliknya, Van der Plas dan Abdul Kadir turun untuk menemui pejabat-pejabat pemerintahan sebelum perang. Abdul Kadir juga bertemu Sukarno, yang mengajaknya bergabung ke dalam Republik. Ia menolak dengan alasan bahwa kemerdekaan hanya bisa dicapai melalui jalur legal dan bekerja sama dengan Belanda. Abdul Kadir melawat sampai ke Semarang dan Surabaya.
Kedatangan Cumberland merupakan kontak pertama antara Sekutu dan bekas musuhnya di Jawa. Mayjen Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke-16 yang menguasai Jawa, Mayjen Nishimura, Kepala Staf Urusan Umum, dan Laksamana Muda Maeda, penghubung AL, datang ke kapal. Mereka menandatangani kapitulasi. Sebagai tanda takluk, ketiganya juga diminta menyerahkan pedang samurai mereka, yang dinilai Patterson tak pantas lagi disandang oleh orang-orang yang telah menodai kehormatan pedang itu.
Greenhalgh, Van Tuyll, Van der Plas, Abdul Kadir, masing-masing menyampaikan laporan. Nadanya hampir sama: mengabaikan faktor republiken, bahwa pengaruh Sukarno tidak berakar di masyarakat luas, dan bahwa situasi masih terkendali. Tapi ada dua laporan lain yang berlawanan, yakni dari Mayjen Yamamoto dan Letkol Laurens van der Post. Keduanya menyampaikan penilaian yang hampir sama kepada Patterson: tentang kuatnya gerakan kemerdekaan Indonesia; bahwa Indonesia kini sungguh sangat berbeda dengan tahun 1939; dan bahwa rakyat dan pemuda akan melawan keras jika Belanda mencoba masuk kembali. Dan mereka menyarankan Laksamana Patterson agar menemui para pemimpin Indonesia.
Tapi bisakah Yamamoto, musuh yang kalah itu, dipercaya? Bisa juga pandangan Yamamoto merupakan pantulan kecemasan Jepang sendiri terhadap balas dendam rakyat Indonesia, dan Sekutu diharap menetralkannya. Lalu seberapa besar kompetensi si Laurens, yang fisiknya belum pulih benar oleh penderitaan selama tiga setengah tahun di tahanan; yang baru terbuai oleh sedapnya cokelat-susu panas dan kenyamanan tidur di kapal mewah itu? "Situasi di Indonesia masih kontradiktif," pikir Patterson. Maka, setumpuk laporan Van der Post yang diserahkan saat dia naik ke kapal tak diteruskannya ke SEAC.
Lady Louis
Pada 23 September 1945, Lady Edwina Mountbatten mendarat di Jakarta setelah meninjau situasi Medan dan sekitarnya. Dua hari kemudian utusan RAPWI itu naik ke Cumberland. Di usia menjelang 40, sang Lady tampak anggun dalam pakaian se-ragamnya. Aura yang menyebar dari sosok istri sang Supremo dan belaian angin laut melingkupi santainya suasana selepas makan malam di anjungan atas. Selain Edwina, putri pengiring, Patterson, dan ajudannya, makan malam itu dihadiri Letkol Laurens, orang Afrika Selatan keturunan Inggris-Prancis yang menyanjung Raffles sebagai pahlawan besar.
"Lady Louis" Edwina, yang memang khusus diminta suaminya menangani RAPWI, ingin banyak mendengar tentang Indonesia. Ia mempersoalkan, bila Belanda dibilang imperium terbaik di dunia, mestinya mereka sudah bisa membaca gejala meletusnya pemberontakan dan gerakan perlawanan, dan apa sebab-musababnya. Di depan Patterson dan Edwina, Laurens tampil sebagai "juru dongeng" yang mempesona. Tentara yang kelak dikenal sebagai penulis 26 buku itu tentu juga menyisipkan pendirian-pendirian pribadinya—semuanya terdengar meyakinkan.
Laurens bertutur dengan kedalaman se-jarah. "VOC adalah penguasa swasta paling kejam dan perampok terbesar sepanjang sejarah," ucapnya. Ia menyinggung rivalitas Inggris dan Belanda di Amerika Utara, Afrika, dan Asia; pembantaian di Ambon dan pengusiran orang-orang Inggris. Ia sedih melihat Indonesia harus dikembalikan oleh Inggris (seusai perang Napoleon, 1814) ke tangan Belanda yang melecehkan martabat manusia. Raffles, katanya, adalah reformis yang sangat berbudaya.
Laurens menyaksikan pemandangan pada tahun 1942, ketika para perwira Belanda menyanyikan We zijn niet bang (Kita tidak Takut) tapi dengan cepatnya takluk kepada Jepang. Para perwira Belanda yang semuanya gemuk itu menyelamatkan diri bersama gundik masing-masing, termasuk Letjen Udara Van Oyen, dan membiarkan istri-istri mereka dijebloskan ke interniran. Ia menyaksikan orang-orang di Jawa mengganti blangkon dengan peci sebagai lambang barisan Sukarno, setelah Jepang masuk.
Ia menegaskan kepada Lady Louis bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus dilihat dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan Belanda, dan kegetiran yang diderita bangsa Indonesia selama ratusan tahun.
Lambert
Pagi harinya, 26 September, Lady Louis langsung terbang ke markas suaminya di Sri Lanka. Penjelasan Laurens menyentuh hatinya. "Kemanusiaan tak mengenal kebangsaan," ujarnya. Ini menyangkut bukan saja para tawanan perang dan interniran, tapi juga kaum bumiputra yang mendambakan keadilan dan persamaan hak, seperti yang tengah marak di India dan tanah jajahan lainnya.
Lord Mountbatten menyimak serius laporan istrinya. Kini ia melihat gambaran lebih utuh dari serpihan-serpihan keterangan yang diterimanya selama ini. Ia segera mengawatkan perintah yang lebih khusus dan terarah ke Laksamana Patterson. CS5 (nama sandi Patterson) juga diminta segera menyusulkan "laporan-laporan lebih terperinci yang mungkin lupa disampaikan". Patterson mencoba mengingat kembali bundel laporan di hari pertama kedatangan Cumberland. Didapatinya kertas-kertas laporan yang ditulis oleh "Lambert"—nama sandi Laurens.
Van Mook dan Van der Plas sudah sejak dari Australia menginginkan Sukarno ditangkap. Van der Plas, ketika masih di Cumberland, membujuk Patterson agar mengundang makan para pemimpin repu-blik ke kapal itu lalu meringkus mereka. Patterson sangat jijik mendengar saran ini. Itu akan menista kehormatan armada Inggris. Mountbatten menegaskan bahwa agenda Inggris jelas dan transparan. Ia tak ingin siasat-siasat jahat Belanda merusak misinya. Dengan kekuasaan yang ada padanya ia bahkan menekan Belanda untuk berunding dengan RI.
Pemerintah Belanda yang tidak tahu keadaan sebenarnya di Indonesia melarang Van der Plas bicara dengan pihak Republik. Setelah tugas RAPWI selesai dan Inggris meninggalkan Indonesia, Belanda melancarkan tindakan polisional, karena Hindia Belanda adalah urusan dalam negerinya.
Seandainya rencana Mountbatten bisa terus dijalankan oleh Van der Plas, masalah Indonesia-Belanda tak akan serumit ini, tidak perlu berlarut-larut sampai lima tahun, dan Inggris tak perlu kehilangan Jenderal Mallaby di palagan Surabaya.
Daud Sinjal *)
* dari The Admiral's Baby, Laurens van der Post, London, 1996; dan naskah sejarawan Belanda, P.J. Drooglever, SEAC in Indonesia; Voices from the Past?, Den Haag, 22 Agustus 1998).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini