Soal "tuan di rumah sendiri" merupakan isu hangat di kancah politik Indonesia. Menurut ramalan bintang, isu ini akan memanas setelah Agustus ini. Salah satu cetusan panas di masa lalu adalah "go-to-hell-with-your-aid"-nya Sukarno. Sekarang, dari DPR sudah muncul suara "tidak usah turuti semua kemauan IMF". Inti masalahnya dulu dan sekarang sama saja: orang mengira bahwa kita sedang sibuk menjual kedaulatan kepada Barat. Persepsi ini selalu bikin panas suasana.
Di zaman Sukarno, kita keluar dari keanggotaan PBB. Di masa Soeharto, kita kembali menjadi anggota PBB. Kalau kita menjadi anggota suatu perkumpulan, kita harus mematuhi peraturan perkumpulan itu. Suka atau tidak suka. Tunduk pada anggaran dasar suatu organisasi adalah identik dengan pengekangan kedaulatan kita secara sukarela. Masuk PBB, kedaulatan kita jadi berkurang. Masuk ASEAN, kedaulatan kita berkurang lagi. Masuk WTO, kena lagi.
Di negara hukum, kedaulatan negara ke "dalam" dibatasi oleh undang-undang. Kalau itu dilanggar, negara pelanggarnya disebut telah melakukan "abus de pouvoir" (penyalahgunaan kekuasaan). Secara teoretis, suatu pemerintah yang melakukan abus de pouvoir dipersalahkan telah bertindak melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) dan dapat dituntut ke pengadilan. Kedaulatan negara ke "dalam" juga dikurangi.
Perjanjian
Dalam prinsip dasar perjanjian, si pem-buat berjanji melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan perbuatan yang lain. Para penanda tangan kontrak masing-masing—termasuk negara—dengan sukarela mengurangi kedaulatannya.
Perjanjian internasional dapat dibuat antara negara dan warga negara suatu negara lain, antara suatu negara dengan negara lain, atau antara banyak negara. Kontrak antara negara dan perusahaan negara lain hampir selalu memuat syarat bahwa negara yang bersangkutan bersedia mengesampingkan haknya atas imunitas sebagai negara. Maksudnya, khusus untuk tujuan perjanjian komersial yang bersangkutan, status hukum negara dan bukan negara di-samakan. Dengan demikian, yang satu bebas memerkarakan yang lain bila terjadi sengketa. Sekali lagi kedaulatan negara dikurangi.
Contoh perjanjian bilateral adalah perjanjian untuk menghindari pajak berganda dan penggelapan pajak. Indonesia membuat perjanjian semacam itu hampir dengan semua negara di dunia. Di sini pun terjadi pengekangan kedaulatan tiap-tiap negara penanda tangan di bidang fiskal ataupun di bidang perundang-undangan.
Perjanjian multilateral, atau konvensi, dibuat antara banyak negara. Salah satu konvensi penting yang ditandatangani oleh Indonesia adalah konvensi tentang penyelesaian sengketa antara negara dan penanam modal asing swasta. Dalam perjanjian itu Indonesia menyerahkan hak kedaulatannya untuk mengadili sengketa tersebut kepada suatu badan arbitrase internasional yang bernaung di bawah Bank Dunia. Ini untuk memberi rasa aman bagi pemodal asing.
Dalam perjanjian WTO (Organisasi Perdagangan Internasional), Indonesia mengikatkan diri untuk secara bertahap, dalam jangka waktu tertentu, menurunkan bea masuk serangkaian barang yang diimpor dari luar negeri. Yang dikorbankan di sini adalah kedaulatan RI untuk mengenakan bea ter-hadap barang impor, sesuai dengan skala prioritas rencana pembangunan ekonominya. Yang juga dikorbankan adalah kedaulatan RI untuk memberi subsidi atau perlindungan kepada industri dalam negeri bila meng-akibatkan diskriminasi terhadap industri sejenis di dalam ataupun di luar negeri.
Erosi Tersembunyi
Pada 1970-an, Raymond Vernon, seorang guru besar di Harvard Business School, menulis buku: Sovereignty at Bat (Kedaulatan Terpojok). Menurut Vernon, perseroan multinasional (MNC), yang amat dibutuhkan oleh perekonomian setiap negara, kapitalis ataupun sosialis, menyerupai pulau-pulau "ekstrateritorialitas".
Istilah ini mengingatkan kita pada zaman masuk-paksa Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat ke daratan Cina dan Jepang untuk "berdagang". Hukum Cina atau Jepang tidak boleh menyentuh wilayah-wilayah yang mereka kuasai, termasuk orang-orang Barat-nya. Ini disebut prinsip "ekstrateritorialitas".
Memang benar, semua PT PMA, ter-masuk pengelola asingnya, tunduk pada hukum Indonesia. Akan tetapi semua keputusan ekspansi atau penciutan modal, dari mana bahan baku dan suku cadang harus dibeli, jenis barang apa yang diproduksi atau dihentikan produksinya, boleh ekspor atau tidak, mesin apa yang akan dipakai, angkat kaki atau bertahan—semua itu diputuskan di London, Melbourne, New York, Paris, dan Tokyo. Dampak putusan tersebut amat besar bagi ekonomi dan kaum buruh kita. Di sini pun kedaulatan negara kita dikurangi secara substansial.
Seorang Indonesia yang punya duit banyak, dan cemas menanamnya di dalam negeri karena pengalaman kesewenangan penguasa di Indonesia, tinggal mentransfer uangnya ke luar negeri, bikin PT kertas di luar negeri. PT inilah yang kemudian memasukkan modal ini kembali ke dalam negeri sebagai modal asing. Begitulah cara modal dalam negeri mengelak dari kedaulatan negaranya sendiri.
Kalau kemudian terjadi sengketa antara pemerintah RI dan PT kertas itu, RI bisa diseret ke badan abitrase internasional. Berbeda dengan pengadilan di sini, badan arbitrase internasional tidak mudah dipengaruhi secara politis ataupun finansial. Tenaga profesional asing yang masuk ke Indonesia atas undangan kliennya leluasa bekerja di kamar-kamar hotel, atau di kantor-kantor cabangnya di Indonesia. Semua transaksi ini tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.
Begitu pula dengan informasi, film, musik, buku, majalah, semuanya bebas keluar-masuk Indonesia melalui modem komputer. Lembaga badan sensor dan maklumat buku-buku terlarang terdengar seperti kebisingan di zaman silam. Berapa besar pula kedaulatan negara terkikis secara tak kentara di sini?
Dirampas HAM?
Baru-baru ini ada anak kecil mati karena dipukuli orang tuanya. Menyaksikan penyiksaan, para tetangga mengadukannya ke polisi. Jawaban polisi: tetangga tidak berhak mengadukan, yang berhak orang tuanya. Apa makna sikap polisi ini? Apakah orang tua boleh memukuli anaknya sampai babak-belur? Apakah suami boleh menjambak rambut istrinya dan kemudian membentur-benturkannya ke dinding sampai tengkoraknya retak? Dan tiada seorang pun dalam masyarakat yang boleh mengadukan nasib istri dan anak itu kecuali keluarga dekat?
Kalau kita berpendapat keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan, selazimnya kita juga menganggap bahwa apa yang tidak bisa dibiarkan dalam perbuatan perorangan juga tidak bisa diterima bila pelakunya adalah negara. Perbuatannya dilarang, pelakunya dihukum. Itu sebenarnya inti jeritan seluruh dunia tentang hak asasi manusia. Negara yang beradab harus menganggap tuntutan demikian sebagai hal yang masuk akal, bukan sebagai perampasan kedaulatan.
Sejak "debakel" Timor Timur, Indonesia tampak sensitif terhadap desakan mem-bentuk pengadilan bagi pelanggar hak asasi manusia. Mudah-mudahan sensitivitas ini bukan karena tidak setuju. Kepekaan memang meningkat setiap kali kita berada dalam keadaan gawat. Dalam situasi gawat-darurat sekarang ini, harus diakui bahwa setiap orang mudah tersinggung.
Antara Kuat dan Cerdik
Konsep asal kedaulatan negara memberi hak eksklusif kepada negara untuk melakukan apa saja sekehendaknya. Betapa kurus-keringnya kedaulatan negara kita sekarang dibanding konsep lapuk abad ke-17 itu. Kenyataan ini tak perlu terlalu dicemasi. Hal serupa, dalam kadar ber-beda, dialami oleh semua negara, kecuali Amerika Serikat. Pemerintah AS sekarang melawan apa pun yang berbau global, entah itu menyangkut pemanasan bumi ataupun pengadilan pidana internasional, bahkan jual-beli senjata ringan. Sejauh ini, ia berhasil. Kedaulatannya utuh. Yang jadi korban adalah rasa hormat kita kepadanya sebagai pemimpin dunia yang berstandar ganda.
Indonesia bisa menentang atau menarik keuntungan dari apa pun yang dituntut dari kedaulatannya oleh masyarakat dunia. Kalau mau menentang, harus kuat seperti Amerika, seperti Cina. Kalau mau menarik untung, harus cerdik seperti Singapura, Brasil, atau Malaysia. Kuat atau cerdik—hanya itu pilihan bagi Indonesia.
Tradisi Indonesia bila disuruh memilih satu di antara dua adalah sikap mengambang. "Kita bukan ini dan bukan itu. Bukan sosialis, bukan kapitalis. Bukan sekuler, bukan keagamaan. Bukan kiri, bukan kanan. Kita berada di tengah, tidak pernah ekstrem." Itu selalu diucapkan dengan bangga.
Berada di tengah dianggap bijaksana. Padahal kita semua tahu, di tengah antara kuat dan cerdas hanya ada fantasi.
Nono Anwar Makarim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini