Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Selama Film Setan Masih Ditonton

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Selama Film Setan  Masih Ditonton
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Seno Gumira Ajidarma
  • Budayawan

    Iblis tidak pernah mati—dalam politik maupun dalam film. Sejumlah besar film Indonesia telah mendapat penghargaan di dunia internasional. Bukan hanya Garin Nugroho, yang telah mengisi kekosongan sendirian selama periode sunyi sinema Indonesia, tetapi juga Riri Riza (Eliana, Eliana), Nia DiNata (Ca-Bau-Kan), dan Sekar Ayu Asmara (Biola Tak Berdawai) pun belakangan meraihnya. Dengan kata lain, sinema Indonesia itu tidak usah minder. Dalam Festival Film Internasional Pusan 2004 di Korea Selatan bahkan diselenggarakan program khusus sinema Indonesia, yang bisa ditafsirkan sebagai pengakuan bukan saja kepada satu-dua sutradara, tetapi kepada sinema Indonesia itu sendiri.

    Namun, bacalah tulisan El Manik di koran Media Indonesia. Dengan serius tapi jenaka, ia membahas tentang seorang aktor yang bermain sebagai kanibal Sumanto, yang rupanya "salah mengerti" tentang seni peran, sehingga ia tidak "berlaku sebagai" Sumanto, melainkan betul-betul memakan sejumlah makhluk mentah-mentah. Bentuk keprihatinan ini bisa diperluas dengan film-film yang berusaha meyakinkan masyarakat Indonesia abad XXI bahwa setan adalah makhluk yang secara positif betul-betul ada, dan film semacam itu bertaburan sebagai hiburan yang diterima dengan hati riang.

    Inilah suatu kontras: di satu pihak Festival Film Indonesia (FFI) 2004 diselenggarakan kembali dengan segala kebanggaan, bahwa krisis 12 tahun tidak berhasil membunuh, sebaliknya malah memancing segenap daya dan energi kreatif untuk melawannya; di pihak lain hidupnya kembali ke pasar, dirayakan oleh para produser "kurang ajar" yang begitu tega menyedot uang dari proyek pembodohan.

    Tentu ini bukan alasan untuk menjadi pesimistis, sebaliknya justru harapan di penghujung lorong yang gelap itulah yang telah menghela sinema Indonesia sampai kepada posisinya yang sekarang. Tepatnya harapan dan impian, dan impian ini adalah impian yang berjuang untuk diwujudkan.

    Dalam FFI terakhir pada1992, Ramadhan dan Ramona yang disutradarai Chaerul Umam meraih piala Citra, tetapi pada 1991 pemenangnya adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Dalam teknik penyuntingan film, ini bagaikan suatu dissolve: gambar yang akan datang telah muncul sebelum gambar masa kini berakhir—dan dengan itu dimulai suatu sistem produksi yang baru. Para sineas mengambil alih peran produser dari tangan para pedagang.

    Ciri idealistis sebelumnya memang telah diperlihatkan dengan garis tebal oleh para sineas seperti Teguh Karya, Sjumandjaya, dan Arifin C. Noer. Namun mereka masih tetap bekerja di dalam sistem yang lama, bahwa produser mereka tidak terlalu peduli film seperti apa yang mereka hasilkan, selama film itu menghasilkan keuntungan finansial. Maka, kita dengar cerita bahwa Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya, 1977) dan Kabut Sutra Ungu (Sjumandjaya, 1979), misalnya, adalah usaha komersial yang disadari sutradaranya untuk "menukar" kerugian film idealis sebelumnya.

    Dengan kata lain, para sineas ini berjuang tanpa bisa melepaskan diri dari sistem yang menguasai pasar. Arifin C. Noer bahkan sempat ditelan pedagang terbesar, yakni negara, yang kali ini berjualan ideologi. Arifin menebus "dosa" pembuatan Pengkhianatan G-30-S (1982) dengan sekuelnya, yakni Djakarta 1966 (1982) yang lebih mungkin dipertanggungjawabkan sebagai sineas ketimbang film sebelumnya, yang jelas merupakan propaganda, tetapi negara terbukti tidak menyebarluaskan film ini. Di dalam sistem, perjuangan para sineas terbatas kepada usaha membuat "film idealis yang laku"—artinya terlihat suatu usaha negosiasi terhadap pasar, dengan risiko gagal yang cukup besar, karena "semangat seni" individual biasanya memang menolak nilai-nilai yang berlaku di pasar.

    Namun, zaman berubah. Itu berarti wacana berubah. Dalam "Dua Belas Tahun Kesunyian" sebetulnya berlangsung suatu bentuk perjuangan ideologi yang merupakan konsekuensi pergulatan antarwacana. Film tersingkir oleh berbagai pilihan lain; video tape, laser disc, VCD, dan kemudian DVD dalam home theatre berdebum-debum, dan tentu saja kejayaan media televisi, mengurungkan niat orang pergi ke bioskop. Di satu pihak kondisi ini membunuh film bioskop, di pihak lain selera penonton terasah oleh pilihan yang makin beragam. Dalam sinema Amerika, orang seperti George Lucas melawan televisi dengan berbagai penemuan teknologi bioskop, sehingga menonton di bioskop betul-betul menjadi pengalaman dan penghayatan teatrikal yang berbeda.

    Di Indonesia, itu berarti terbunuhnya pasar film Indonesia oleh film Hollywood. Saya pernah menulis, sebetulnya sinema Indonesia itu dikhianati oleh kelas menengah Indonesia sendiri, yang sangat oportunistis dan tidak pernah mempunyai sikap politis-ideologis dalam hegemoni wacana. Kelas menengah Indonesia yang telah diuntungkan oleh Orde Baru, yang menjadi gemuk dan berlemak, pintar omong tetapi tidak mempunyai semangat perlawanan sama sekali, tercatat absen dalam pembelaan terhadap sinema Indonesia.

    Meski begitu, media memiliki hukum-hukumnya sendiri. Di televisi, anak-anak muda hanya melihat video clip yang penuh pernik, dalam waktu yang sama sebuah generasi dilahirkan oleh bahasa visual baru. Pergulatan antarwacana memang bisa ajaib. Sinema Indonesia berpeluang kembali karena antara lain video clip telah mengubah persepsi penonton atas sebuah film—dan bahasa video clip yang sampai sekarang belum bisa dirumuskan itu telah menciptakan pasar yang siap menerima bahasa-bahasa ajaib para sineas baru. Tidakkah film ujian sekolah Garin Nugroho yang cuma beberapa menit, Gerbong 1, 2, 3…adalah video clip tanpa lagu? Ini baru satu dari beratus-ratus film pendek para sineas muda yang secara bergerilya membiasakan penonton mereka dengan eksperimen dan kesadaran berbahasa visual. Tak ada film panjang, film pendek pun mengembara dari kampus ke kampus menyemprotkan gagasan ke layar tembok.

    Seberapa pun kecil publik film pendek ini, sedikit demi sedikit tercipta sebuah potensi pasar. Mereka bergabung ke dalam pasar yang diciptakan fraksi perlawanan: Partai Rakyat Demokratik didirikan tanpa menunggu izin pemerintah; kelompok musik Slank menjadi fenomenal tanpa perlu restu God Bless; Ayu Utami menyodok kemunafikan dalam sastra Indonesia dengan keterbukaan perbincangan seks yang sulit dituduh sebagai pornografi; Yudhi Soerjoatmodjo menggalang dan mendidik para fotografer yang menolak foto-foto salon hingga mengubah wajah fotografi Indonesia masa kini—maka, publik Jakarta pun siap untuk sebuah Jakarta International Film Festival (JifFest) yang merupakan revolusi para penonton dalam arti sesungguhnya, yakni para penonton yang menolak dominasi wacana.

    Terlihat jelas, inisiatif tidak datang dari "insan film" ataupun pemilik bioskop. Gerakan ini datang dari suatu generasi penonton yang masih akan terus melahirkan sineasnya sendiri. Tidak terlalu mengherankan bahwa para sineas yang dilahirkan oleh semangat ini juga berperan sebagai produser. Christine Hakim, Garin Nugroho, Shanty Harmayn, Mira Lesmana dan banyak lagi dalam terminologi "produser independen" bukanlah produser dalam pengertian yang konvensional di Indonesia—mereka adalah sineas yang merebut film dari tangan pedagang.

    Ini tidak berarti wacana dominan yang hegemonik sudah rontok. Ini baru sebuah perlawanan—selama film setan masih ditonton.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus