Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dapatkah AS-Iran Bertaut Kembali?

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Dapatkah AS-Iran Bertaut Kembali?
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Karim Sadjadpour
  • Analis di International Crisis Group

    Selama Perang Dunia II, tentara Sekutu menduduki Iran dan memanfaatkannya sebagai jalur kereta api pengangkut perbekalan dari Teluk Persia ke Uni Soviet. Itulah perkenalan pertama Iran dengan orang Amerika. "Mereka datang ke negeri kami tanpa niat jahat," kata Kaveh Bayat, ahli sejarah Iran yang dihormati, "dan juga tanpa dalih kolonial apa pun."

    Kereta perbekalan Amerika secara teratur melintasi Arak, desa nenek moyang ayah saya yang saat itu seperti sebuah oase hijau dengan pepohonan rindang dan buah-buahan ranum. "Ketika kereta api mendekat," demikian ayah pernah bercerita kepada saya, "semua anak lelaki desa berlarian menyambut orang Amerika. Tentara Amerika melempar senyum dan melambaikan tangan kepada kami. Mereka lemparkan juga kartu, permen karet, atau gula-gula penahan lapar.... Bagi kami, mereka seperti para pahlawan yang datang dari dunia lain."

    Banyak perubahan terjadi sejak itu. Revolusi Iran pada 1979 menjungkalkan Rezim Syah Iran yang pro-Amerika namun tidak demokratis. Sebagai gantinya, berdiri rezim ulama yang anti-Amerika, dan sama tidak demokratisnya. Secara resmi, tidak ada hubungan antara Amerika dan Iran selama 25 tahun belakangan, sejak sekelompok mahasiswa radikal menyerbu Gedung Kedutaan Amerika di Teheran. Enam puluh tahun lalu Arak hanyalah desa kecil yang dikenal serdadu AS karena buah anggurnya. Kini, Pentagon menyebutnya sebagai kota industri yang menjadi bagian integral dari program nuklir Iran yang mencemaskan.

    Meski begitu, hampir tak ada negara lain yang memiliki hubungan penuh paradoks seperti antara Amerika dan Iran. Walaupun Rezim Iran terus menunjukkan sikap anti-Amerika, rakyat Iran terang-terangan pro-Amerika. Walaupun pemerintah di Teheran dan Washington kelihatannya seperti musuh bebuyutan, bekas Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengatakan, "Amerika Serikat hanya punya sedikit alasan untuk bertikai, namun sebaliknya punya lebih banyak persesuaian kepentingan, dengan Iran dibanding dengan banyak negeri lain."

    Pada kenyataannya, Iranlah negeri yang paling diuntungkan oleh langkah Amerika melakukan perubahan rezim di Afganistan dan Irak. Taliban dan Saddam Hussein adalah musuh sejati Iran. Sayangnya, kedua pihak tidak memanfaatkan kesamaan kepentingan itu. Sikap Iran untuk tetap enggan berhubungan dengan Amerika sedikit lebih pelik. Banyak kalangan elite yang berkuasa di Iran saat ini matang secara politik selama masa agitasi anti-imperialis dan antikolonialis pada dasawarsa 1960 dan 1970. Walaupun semangat revolusioner telah meredup, mereka masih percaya ucapan almarhum Ayatullah Khomeini, yang menyamakan hubungan antara Iran dan Amerika seperti hubungan "antara domba dan serigala."

    Kendati begitu, kekakuan ideologi semata bukanlah alasan mengapa Iran menunjukkan sikap anti-Amerika yang sering tanpa alasan jelas. Bagi kalangan elite politik dan militer Iran, liberalisasi yang mungkin terjadi setelah terjalinnya hubungan dengan Amerika merupakan ancaman bagi kepentingan mereka.

    Sebaliknya, sebagian besar rakyat Iran sendiri sangat mendukung hubungan baik dengan Amerika. Seperti dikatakan penulis Afshin Molawi dalam Persian Pilgrimage, para pemuda Iran kini bukanlah kaum revolusioner idealis seperti mereka yang hidup tiga dasawarsa lalu. Sebaliknya, mereka punya kebutuhan konkret, seperti pekerjaan serta kebebasan berpolitik dan bermasyarakat. Mereka rindu memasuki masyarakat global dan mengenyahkan reputasi internasional mereka yang tercoreng.

    Kaum cendekiawan Iran dewasa ini telah mengalami proses kematangan serupa. Mereka telah membuang cita-cita politik "penuh mimpi" dan "nativistik sempit" yang dimiliki pendahulu mereka. Seorang cendekiawan sekuler di Teheran, misalnya, mengatakan kepada saya bahwa tidak ada orang Iran yang membaca lagi buku karya Jalal al-Ahmad berjudul Gharbzadegi (Keracunan Barat)?buku terbitan 1962 itu merupakan salah satu manifesto Revolusi 1979. "Sebaliknya, kami mengidamkan terjalinnya hubungan baik dengan Barat. Jika hubungan ini dapat memberikan kesempatan ekonomi serta kebebasan berpolitik dan bermasyarakat yang lebih besar, biarkanlah kami teracuni Barat."

    Namun, meski ada tuntutan besar di kalangan rakyat di Iran dan ada kepentingan strategis yang sama, mungkin diperlukan waktu tahunan sebelum Amerika dan Iran dapat berbaikan. Setelah seperempat abad hidup terpisah, rekonsiliasi tak kan bisa diharapkan terjadi seketika. Namun, ketika rujuk terjadi, sangat beralasan untuk percaya bahwa rakyat Iran akan menyambut teman mereka yang hilang dengan sikap bersahabat dan kegembiraan yang sama seperti telah mereka tunjukkan 60 tahun lalu di Arak.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x600
    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    slot-iklan-300x100
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus