Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Organisasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) tengah melakukan petualangan yang menarik. Petualangan ini dimulai pada November 2001, ketika ASEAN menyepakati ajakan Cina membuat kawasan perdagangan bebas atau yang dikenal sebagai free trade area (FTA). Tiga tahun kemudian, pada akhir November 2004, di ibu kota Laos, Vientienne, ditandatangani persetujuan antara Cina dan 10 anggota ASEAN untuk merealisasikan FTA pada tahun 2010.
Persetujuan ini mendapat sorotan internasional dan kembali menempatkan ASEAN di panggung internasional. Media internasional menggambarkan bagaimana pembentukan pasar raksasa yang meliputi dua miliar orang. Ini cukup menggemparkan walaupun proses ini akan memakan waktu sepuluh tahun. Kekhawatiran berbagai pihak luar adalah bahwa mereka akan tersisih dari pasar raksasa tersebut.
Tidak mengherankan bila beberapa negara lain segera melamar ASEAN untuk membuat langkah yang sama. Jepang segera mengikuti langkah Cina. Perdana Menteri Koizumi, ketika berkunjung ke ASEAN pada Januari 2002, mengusulkan suatu persetujuan ekonomi yang luas antara Jepang dan ASEAN yang bisa melibatkan suatu FTA. Sebelumnya Jepang sudah membuat perjanjian FTA dengan Singapura. Dalam pertemuan para pemimpin APEC di Meksiko tahun itu, Presiden Bush melansir Enterprise for the ASEAN Initiative (EAI), yang juga melibatkan pembentukan FTA dengan sejumlah (tidak semua) negara ASEAN.
Prakarsa pembentukan kawasan perdagangan bebas dengan ASEAN ini diikuti India, Korea Selatan, serta Australia dan Selandia Baru. Inilah petualangan ASEAN. Riwayat petualangan ini baru akan bisa dituliskan dalam beberapa tahun mendatang. Goh Chok Tong, sewaktu menjadi Perdana Menteri Singapura, membayangkan bahwa pembentukan berbagai FTA ini bisa diibaratkan pembangunan sayap-sayap pesawat terbang yang akan membantu jumbo jet ASEAN lepas landas.
ASEAN juga membangun badan Boeing 747 itu dengan membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community (AEC). Gagasan integrasi ekonomi ASEAN ini telah disepakati para pemimpin ASEAN pada Oktober 2003 di Bali. Kesepakatan ini akan menciptakan pasar tunggal ASEAN dan satu kesatuan (platform) produksi ASEAN pada tahun 2020. Pada saat itu, tidak akan ada lagi hambatan dalam perdagangan barang dan jasa antarnegara ASEAN, arus lalu lintas orang dan modal juga akan menjadi jauh lebih bebas.
Yang dibayangkan oleh gagasan AEC ini adalah suatu kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi karena produsen di kawasan ini dapat menggunakan bahan dan faktor produksi termurah yang tersedia di kawasan. Selain itu jaringan produksi (production networks) diharapkan akan makin luas jangkauannya secara produk dan secara geografis. Dengan demikian akan tercipta kawasan ekonomi yang tangguh. Di sisi konsumsi, gagasan AEC memberi peluang bagi penduduk ASEAN memenuhi selera dan kemampuan konsumsinya dengan hasil produk dari seluruh kawasan ASEAN.
Pembentukan AEC ini merupakan bagian yang hakiki dari petualangan ASEAN ini. Tanpa upaya memperdalam integrasi ekonomi ASEAN sendiri, pembentukan FTA dengan beberapa negara tadi tidak akan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh negara-negara ASEAN. Dalam pidatonya di forum CEO ASEAN di Vientienne akhir bulan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyuarakan pentingnya ASEAN berbenah diri secara serius dan mempercepat upaya pembentukan AEC. Memang ada bahaya bahwa perhatian ASEAN terpaku pada hiruk-pikuk pembentukan FTA dengan beberapa negara tadi.
Bila tidak memperkuat diri, ASEAN bisa tercerai-berai. Dengan berbagai prakarsa yang melibatkan ASEAN itu, seharusnya organisasi ini bisa mengambil manfaat besar bila ASEAN bisa mendudukkan dirinya sebagai suatu pusat (hub) dan bukan menjadi jari-jari (spoke) dari pusat-pusat yang lain. Artinya, bila ASEAN menjadi hub, organisasi ini dapat menentukan aturan-aturan dalam transaksinya dengan pihak lain, dan dengan demikian seharusnya aturan yang sama diterapkan terhadap pihak-pihak berbeda. Sebaliknya, bila ASEAN menjadi spoke, aturan yang berlaku adalah aturan pihak lain dan yang berbeda-beda, bergantung pada transaksi dengan pihak mana. Menjadi hub akan jauh lebih menguntungkan daripada menjadi spoke.
Pembentukan berbagai FTA, tidak saja di kawasan Asia Timur, tetapi juga di berbagai kawasan lain serta antarkawasan, memang membawa dampak terbentuknya apa yang oleh ekonom Jagdish Bhagwati disebut mangkuk spageti (spaghetti bowl) dari aturan-aturan perdagangan. Maka Bhagwati sangat menentang pembentukan FTA dan menyarankan agar perhatian dan energi dicurahkan untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral (WTO).
World Trade Organization memberikan kepastian yang lebih besar dalam peraturan perdagangan dan menghindarkan diskriminasi dalam praktek perdagangan. Pada dasarnya, suatu FTA bersifat diskriminatif dengan memberikan preferensi dalam perdagangan kepada pihak yang terlibat. Itulah sebabnya penggunaan nama FTA sebenarnya keliru. Yang lebih tepat adalah PTA, preferential trade agreement. Maka segera akan tampak bahwa PTA-PTA bisa menjadi sumber ketegangan ekonomi dan politik.
Untuk mengatasinya, banyak negara melibatkan diri dalam pembentukan FTA atau PTA tersebut agar tidak tersisihkan. Itulah sebabnya pula mengapa ketika ASEAN membuat kesepakatan untuk membentuk FTA dengan Cina, banyak negara lain merasa terpaksa membuat kesepakatan yang sama. Maka persoalan yang ditimbulkan bagi ASEAN adalah kemampuannya menegosiasi dan menangani berbagai FTA itu.
Di samping berbagai FTA yang akan dibentuk ASEAN ini, beberapa negara ASEAN juga sudah membuat FTA dengan sejumlah negara. Singapura telah membuat FTA dengan Selandia Baru, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat, dan kini sedang dalam proses menegosiasi FTA lainnya, termasuk dengan Korea dan India. Sebenarnya aneh bahwa walaupun ASEAN sebagai kelompok sudah menyepakati pembentukan FTA dengan Korea dan India, Singapura tetap saja akan membuat FTA secara bilateral dengan kedua negara tersebut.
Thailand juga mengikuti Singapura. Suatu FTA telah disepakati dengan Australia (dan Bahrain), dan kini Thailand tengah bernegosiasi dengan Cina, Jepang, dan Amerika Serikat. Singapura dan Thailand tampaknya tidak sabar menunggu ASEAN sebagai kelompok untuk dapat membentuk FTA dengan sejumlah negara. Maka mereka merasa perlu berjalan lebih dulu. Mereka mengusulkan formula 2 + X untuk diterapkan di ASEAN. Formula ini memungkinkan sedikitnya dua anggota ASEAN melangkah maju mendahului yang lainnya dalam suatu prakarsa ASEAN.
Belum jelas bagaimana dampak penerapan formula ini dalam pembentukan kawasan-kawasan perdagangan bebas di atas. Tampaknya, sebagai mitra FTA, Jepang juga memilih mendahulukan FTA dengan beberapa negara ASEAN daripada dengan ASEAN secara keseluruhan, walaupun kerangka besar persetujuan Jepang-ASEAN, yaitu suatu closer economic partnership (CEP), sudah ditandatangani.
Menyusul Singapura, Filipina telah menyelesaikan negosiasi FTA dengan Jepang, dan disusul Thailand dan Malaysia. Indonesia dan Jepang sudah melakukan konsultasi tapi belum mencapai kesepakatan untuk memulai perundingan. Indonesia memang bukan pelopor dalam pembentukan FTA. Barangkali ini karena pemerintah pada waktu lalu belum merumuskan kebijakan perdagangan yang komprehensif, termasuk peran ASEAN dan FTA. Mungkin juga Indonesia tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk bernegosiasi, apalagi beberapa sekaligus.
Tetapi Indonesia sebagai bagian dari ASEAN sudah terlibat dalam gelombang pembentukan FTA di kawasan Asia Timur (dan Asia Pasifik). Maka Indonesia mau tidak mau harus terus melangkah. Presiden SBY mengatakan akan mengutamakan pemulihan ekonomi Indonesia, dan dalam hubungan ini memberikan perhatian utama pada masalah ekonomi dalam negeri. Namun pemerintah tidak dapat memalingkan muka dari keharusan mengambil bagian secara aktif dalam "petualangan" ASEAN ini. Arah kebijakan ASEAN akan mempengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia.
Ketika Singapura memulai pembentukan FTA, bisa dimaklumi bahwa Indonesia tidak banyak memberikan perhatian dan reaksi. Tetapi kini, dengan keterlibatan Thailand, Malaysia, dan Filipina, memang tidak dapat dihindarkan bahwa Indonesia pun perlu mengikutinya. Sebab, bila tidak, produk ekspor Indonesia di pasar Jepang, Australia, dan Amerika Serikat akan mendapat perlakuan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan tetangga Indonesia. Pada hakikatnya, FTA menciptakan diskriminasi dalam perdagangan internasional.
Barangkali Presiden SBY harus menerima kenyataan bahwa Indonesia tidak saja perlu memberikan perhatian besar dan mengambil peran aktif dalam petualangan ASEAN ini, tapi Indonesia bahkan dituntut mengambil kepemimpinan. Barangkali proposisi ini kedengarannya sebagai suatu proyek mercu suar baru. Tetapi tanpa kepemimpinan Indonesia, petualangan ASEAN ini bisa menjadi malapetaka. Kepemimpinan Indonesia adalah kepemimpinan yang mendahulukan ASEAN. Tanpa kepemimpinan ini ASEAN akan tercerai-berai karena formula 2 + X ala Singapura dan Thailand penuh risiko. Dalam pembentukan berbagai FTA bilateral, anggota ASEAN yang baru tidak akan dilibatkan dalam waktu mendatang ini. Mereka akan merasa tertinggal dan ditinggalkan.
Ini semua berarti Indonesia harus berada di garis terdepan dalam negosiasi dan pembentukan FTA antara ASEAN dan berbagai mitra ekonomi. Sejauh ini Indonesia berada di belakang, dan bahkan ada kesan Indonesia bersembunyi di antara negara ASEAN lainnya untuk menutupi ketidaksiapannya. Riwayat petualangan ASEAN ini akan sangat ditentukan oleh Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo