Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak setiap kita seperti Odysseus yang harus menyeberangi sebuah selat yang genting.
Sebagaimana disebut dalam kisah termasyhur tentang Raja Ithaca yang berlayar pulang dari Perang Troya itu, Odysseus tak bisa mengelak.
Di selat yang sempit itu gundukan batu karang tergantung-gantung dihantam ombak, bergemuruh tak putus-putus. Nyaris tak ada kapal yang selamat. Di salah satu deretan karang, yang pucuknya tersembunyi dalam mendung, ada celah besar yang bisa dilalui; tapi di sana juga gua tempat Skylla menghadang-monster besar dengan enam leher yang amat panjang yang menopang enam kepala, enam kepala dengan tiga deret gigi yang rapat.
Berseberangan dengan itu, di gua di karang yang lebih kecil, ada Kharybdis, monster yang tiga kali sehari menyedot dan memuntahkan air laut, membuat pusaran dahsyat yang menyeret apa saja.
Odysseus harus melewati selat yang dijaga dua monster itu dan ia sadar: apa pun keputusannya, korban akan jatuh. Dan enam orang anak buahnya memang tewas akhirnya. Ia menyaksikan bagaimana Skylla membanting mereka ke atas karang dan mengunyah mereka, dan ia mendengar mereka menjerit meminta tolong ke arah Odysseus.
Berdasarkan cerita Homeros di abad ke-7 sebelum Masehi itu, ungkapan "antara Skylla dan Kharybdis" terkenal untuk melukiskan dilema besar di hadapan keputusan.
Memutuskan mana yang harus dipilih dalam dilema itu memang tak selamanya segenting menyeberangi selat yang dijaga sepasang monster. Seperti saya katakan di atas, tak setiap kita berada dalam situasi segawat yang dialami Odysseus. Tapi tiap pilihan akan membawa korban-kecil ataupun besar. Jika antara minum kopi dan minum bandrek kita memilih yang pertama, kenikmatan bandrek harus ditangguhkan.
Tentu saja-apa boleh buat-banyak hal yang lebih besar konsekuensinya ketimbang minum kopi atau bandrek. Satu pilihan jangan-jangan akan mengubah seluruh hidup kita. Apalagi ketika seorang kepala negara yang tiap kebijakannya menyangkut nasib jutaan manusia. Atau bayangkan Nabi Ibrahim ketika ia mesti memutuskan menyembelih anak bayinya atau membangkang titah Tuhan.
Dalam pelbagai kasus, kita (juga presiden atau nabi) tak bisa untuk tak memilih. Selat sempit itu harus dilalui. Memilih untuk tak memilih itu juga sebuah pilihan, memutuskan untuk tak memutuskan itu juga sebuah keputusan.
Kita memang bisa minta petunjuk dari orang lain, mohon bimbingan Tuhan, membaca doa atau buku panduan-tapi semua itu menuju ke satu titik, yakni titik kemerdekaan kita. Pada akhirnya aku-lah yang mengambil keputusan; bukan sanak saudara, handai taulan, konsultan, rohaniwan, dan lain-lain. Dalam saat-saat memilih itu aku sendirian, dan-dalam kata-kata Sartre yang terkenal-di situlah "manusia dihukum untuk merdeka".
Merdeka justru dalam sebuah situasi perbatasan. Sebuah krisis, sebuah paradoks. Sebuah keadaan yang menguasai nalar, emosi, dan tubuh, sebelum melangkah dan keadaan berubah.
Orang sering lupa bahwa para pengambil keputusan besar-karena status dan kekuasaannya-harus melalui keadaan yang genting itu. Para pengamat dan penonton hanya memberi aplaus atau mencerca, tapi jarang mengingat akan saat-saat ketika ketidakpastian muncul, membayang, mencekam. Sebab tiap kali kita memutuskan sesungguhnya kita memasuki masa depan dan kita tak pernah tahu bagaimana masa depan itu persisnya-walaupun telah kita baca analisis dan proyeksi tentang apa yang mungkin terjadi. Yang kita tahu: begitu keputusan diambil, kita tak bisa kembali. Tiap keputusan adalah loncatan ke dalam gelap.
"Tak adakah cara menghindari Kharybdis dan sekaligus mengusir Skylla ketika ia mencoba membunuh orang-orangku?" tanya Odysseus kepada dewi yang memandunya.
"Tidak ada," jawab dewi itu. "Kau tak akan bisa melawannya. Skylla bukan makhluk yang bisa mati."
Dialog itu isyarat: ada hal-hal yang tak bisa diputuskan ketika kita harus memutuskan.
Tapi dengan demikian tiap pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut nasib orang lain, tak bisa dipisahkan dari kondisi dilematis; jejaknya akan selalu ada. Jika kita melupakannya, jika kita menghapus jejak "yang tak dapat diputuskan" itu, kita akan melupakan keterbatasan manusia, juga beban tanggung jawab dan pergulatan ethis dalam proses pengambilan keputusan.
Derrida pernah mengingatkan hal itu. Katanya: "Semua keputusan dibentuk oleh pengalaman tentang indécidable, yang tak-dapat-diputuskan." Tanpa diuji hal-hal yang berlainan dari yang lazim, hal-hal yang tak dapat diperhitungkan, "Tak akan terjadi keputusan yang bertanggung jawab."
Dalam cerita Homeros, memang hanya selintas kita rasakan gundah hati Odysseus. Ia mantap-tapi hampir semua kesatria dalam epos ini memang digerakkan kehendak dewa-dewa. Ketika langit menentukan semuanya, apa artinya kemerdekaan dan tanggung jawab? Dan perikemanusiaan?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo