Di kesibukan sehari-hari - sebagai pensiunan guru besar hukum Islam di FH UI - saya merasa perlu memberikan penjelasan ilmiah kepada Bapak Bismar Siregar, S.H., sehubungan dengan komentarnya mengenai seminar tentang Syiah di Hotel Indonesia (TEMPO, 27 Februari). Saya mengenal Bapak Bismar Siregar, S.H., salah seorang di antara segelintir ahli hukum yang mendalami serta menghayati hukum Islam. Bukan hanya dalam ibadat, tetapi bahkan dalam bidang-bidang kemasyarakatan dan ekonomi, yang tak segan-segan dia pecahkan dengan ijtihad. Tetapi mengenai Syiah saya yakin tak diketahui bangsa Indonesia sebelum adanya propaganda Kedubes Iran sehubungan dengan perangnya dengan Irak. Bukan bangsa Indonesia saja yang tak mengerti soal Syiah, tapi juga orang-orang Arab, khususnya Mesir, yang secara kultural menjadi ibu kota Islam sebelum Perang Dunia II, hanya mempunyai pengetahuan terbatas tentang Syiah, khususnya Syiah Dua Belas yang ada di Iran. Itu terjadi, karena di antara Perang Dunia I dan II, yang berkuasa di Iran adalah pemerintah kuasimodern, yang tak berpandangan sektarian atau mazhab. Di gedung parlemen mereka tertulis dalam huruf emas, ayat yang berbunyi, "Wa amruhum syura bainahum" - yang artinya, sebagaimana kita ketahui, "Dan urusan mereka dimusyawaratkan di antara mereka." Ya, ada parlemen pemilihan umum, kabinet, menteri-menteri, dan segala yang lazim bagi negara modern. Rupanya, meski ciri-ciri pemerintah modern itu komplet dan serba terpenuhi di Iran, dapat juga terjadi seorang raja ya berjiwa diktator dan memanipulasikan jalannya pemerintahan menurut kehendaknya. Polisi rahasia dan kekuasaan yang tak tertulis dalam konstitusi dapat mencekam rakyat secara berat. Itu semua ditoleransi superkuat Amerika Serikat, kecuali di masa Presiden Carter yang berjiwa agama. Presiden Carter mengubab politik AS di Iran, suatu negara yang demokrasinya hanya semu, karena kenyataannya bersifat menindas semata-mata. Akibat politik Presiden Carter itu, maka meledaklah semangat rakyat yang telah ditindas hampir 30 tahun dan pecahlah revolusi Iran dengan Khomeini sebagai figur utamanya. Polisi rahasia (Savak) dan tentara Iran, yang mempunyai persenjataan paling lengkap di seluruh Timur Tengah, hancur karena semangat jihad di antara rakyat jelata. Sampai di situ pergolakan di Iran bersifat positif. Banyak pemuda Indonesia yang tertarik kepada kata-kata Islam jihad dan sebagainya serta ingin meniru pemimpin agama Ayatullah Khomeini, yang sudah tua, itu mendobrak kekuatan-kekuatan yang menguasai Iran. Tetapi rupanya, Khomeini, yang kita kenal sejak jatuhnya Syiah Reza Pahlevi, telah berbalik haluan 180 derajat. Ia menegakkan kembali dasar-dasar Syiah tentang kenegaraan. Dasar-dasar itu bertentangan 100% dengan ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam Quran dan Hadis. Misalnya, teori Syiah mengatakan bahwa kepala negara Islam itu bertitel imam. Dan imam itu harus dari keluarga Nabi Muhammad. Maka, mereka mengatakan bahwa imam yang pertama adalah Ali, saudara sepupu Nabi yang juga menjadi menantunya. Tetapi Abu Bakar dan Umar merampas hak tersebut, sehingga sampai sekarang tiap kali nama Abu Bakar dan Umar disebut orang, mereka sama-sama mengatakan, "Semoga laknat Allah menimpa mereka." Setelah Ali meninggal, yang menjadi imam adalah anaknya Hasan dan setelah Hasan meninggal, adiknya, Husein, menjadi imam sampai imam yang kedua belas, Mohammad Askari, meninggal pada 260 H. tatkala berumur enam tahun. Imam ini dipercaya akan kembali hidup untuk memenuhi dunia dengan keadilan . Selama imam yang ke-12 itu belum kembali, negara Iran akan dipimpin oleh Khomeini, yang diangkat oleh pengikut-pengikutnya, sebagai imam - dalam arti pemimpin besar. Menurut konstitusi Iran sekarang, kedudukan Khomeini adalah sebagai Wilayatul Faqih (leader or leadership council). Jika Khomeini meninggal, ada satu badan para experts (Majlis & Khubragan) yang akan memilih penggantinya. Wilayatul Faqih (kini Khomeini) mempunyai kekuasaan besar sekali, misalnya mengumumkan perang, mengangkat kepala angkatan bersenjata, mengesahkan presiden, mengangkat enam anggota dari majelis pengemban yang jumlahnya 12 orang (Shura-e Nigahban), dan mengangkat ketua Mahkamah Agung dan laksa agung. Dengan begitu, dalam praktek, Imam Khomeini itulah yang memutuskan, perang dihentikan ataukah diteruskan, walaupun umat Islam akan menderita parah sebagai akibatnya. Satu hal penting lagi tentang Iran sekarang adanya pernyataan, "Tanah air Islam yang satu dan tak dapat dlbagi-bagi telah dipotong-potong oleh tindakan-tindakan penjajah serta penguasa-penguasa yang lallm dan berambisi. Untuk menjaga kesatuan umat Islam, untuk membebaskan tanah air Islam dari dominasi dan pengaruh penjajah, kami hanya mempunyai satu pilihan, yaitu membentuk pemerintah Islam yang sesungguhnya dan berusaha menumbangkan negara-negara lain yang lalim dan "semu Islam" dan dibantu orang asing. Setelah maksud tersebut terlaksana, kami akan mendirikan Pemerintah Islam Universal." Pernyataan lainnya, "Konstitusi ini dengan memperhatikan jiwa Islam dari revolusi Iran yang sedang mengarah kepada kemenangan golongan yang lemah terhadap golongan yang kuat, menyediakan landasan revolusi ini, baik di Iran maupun di luar Iran . " Kalau ada orang bertanya, dapatkah seorang yang bukan berasal dari Iran dialgkat menjadi imam atau Wilayatul Faqih, jawabnya, "Tidak mungkin." Dengan begitu, tujuan terakhir revolusi Khomeini adalah membentuk Imperium Iran, yang daerahnya meliputi seluruh negara Islam. Soalnya bagi kita relakah kita, umat Islam Indonesia, mempunyai kepala negara, imam, yang berkedudukan di Teheran . Tentang kepercayaan bahwa Quran Syiah itu berlainan dengan Quran biasa, Syiah memperbolehkan nikah mut'ah, dan lain-lain, memang tidak masuk akal. Tetapi saya sebagai pensiunan guru besar hukum Islam mengetahui dengan pasti. Hal-hal tersebut, sudah jelas, belum pernah dibaca atau dipikirkan Bapak Bismar Siregar, S.H., seorang alumnus FH Ul, yang hanya pernah belajar tentang Mazhab Hanafi, Mariki, Syafi'i, dan Hambali. Akhirnya, saya perlu menegaskan, Bapak Bismar Siregar, S.H., membaca kata-kata "mencerca", "pembantaian, dan sebagainya, yang dipakai pihak penyelenggara seminar sebelumnya di Ciputat, kemudian dia menerimanya sebagai motif seminar di Hotel Indonesia. Sesungguhnya, seminar di HI adalah seminar ilmiah, deskriptif, dan fenomenologis yang diadakan untuk memberikan penerangan kepada bangsa Indonesia, agar waspada dari gerakan Khomeini, yang bertentangan dengan ajaran Islam. PROF. DR. H.M. RASJIDI Jalan Diponegoro 42 pav. Jakarta 10310
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini