MALAM itu beradalah saya di bekas titik pusat dari gabungan tujuh kerajaan kecil di pantai serta tujuh lainnya di pegunungan. Sebuah kota kecamatan yang sunyi, yang "kurang dilewati oleh pembangunan", di pelosok sebuah pulau. Listrik mendadak mati, tapi kami tidak membatalkan pertemuan. Di depan saya, duduk lesehan beratus orang dusun yang berbahasa Indonesia relatif lebih baik dibanding banyak "orang sekolahan" yang saya jumpai di Jawa. Ah, orang pinggiran selalu lebih tekun belajar. Ingat ketika di pelosok Pulau Lombok, saya mendengarkan seorang lurah berpidato lancar, mengutip pikiran Dr. Taufik Abdullah, Dr. Sarlito Wirawan .... Juga di kecamatan yang senyap ini: isi pikiran mereka begitu aktual, keseharian mereka tampak tidak terpotong dari isu-isu di permukaan pusat-pusat informasi. Saya amat belajar dari mereka. Itu pasti. Sejauh-jauh yang bisa saya kontribusikan hanyalah mempersembahkan kerendahan hati: tidak bermanja-manjaria dalam akomodasi mereka, bersedia tak pasti mandi karena susah air, melintingkan rokok sahabat-sahabat baru di sekitar saya, membaur di setiap momen pergaulan -- sehingga saya merasakan menit demi menit yang indah. Tentu saja saya juga omong, misalnya, tentang distribusi atau desentralisasi bidang ini-itu, tentang bagaimana cara yang mungkin ditempuh agar kita orang-orang lemah ini saling bisa berentang dan bergandengan tangan. Dan mereka tentu saja melalap itu semua langsung karena mereka memang berada amat curam di dalam jurang-jurang sejarah yang biasanya membuat Anda berpikir tentang keadilan distribusi. Jadi, apa pun yang saya kemukakan, sama sekali tidak baru bagi mereka. Barangkali saya tergolong orang yang sedikit tahu mengenai itu semua, sedangkan mereka adalah kelompok masyarakat yang sangat mengalami apa yang hanya saya ketahui itu. Maka, haqqulyaqin merekalah yang paling berhak berbicara, dan kehadiran saya di tengah mereka ini sungguh-sungguh hanya sebagai keranjang sampah bagi batuk muntah sakit batin mereka. Kami berembuk sampai jam dua pagi. Segalanya seakan baru mulai, ketika kekhusyukan itu terpaksa diakhiri. Saya berangkat tidur dengan doa keprihatinan, serta rasa syukur telah memperoleh mutiara yang tak bisa saya bandingkan dengan apabila membaca informasi tentang itu semua dari sekadar puluhan buku. Hmm. Rupanya, ada lapisan-lapisan yang lebih detail dari struktur penguasaan dan penindasan kelompok manusia atas kelompok manusia lain. Ketertindasan sebagai warga negeri, sebagai suku, sebagai Muslimin, sebagai orang tertepikan dalam berbagai konteks.... Tuhan, apakah saya men-SARA kalau kukisahkan kepada saudara-saudaraku hal-hal mengenai pemojokan manusia atas manusia dalam -- justru -- konteks SARA? Apakah seseorang tidak justru mewujudkan semangat nionalismenya tatkala ia berbisik bahwa ada suatu kelompok manusia yang didesak untuk makin tak memiliki kedaulatan atas buminya sendiri, kekayaan bumi itu, serta atas hak-hak hidup mereka sendiri? Di malam kedua kami ber-shalawat-an, berqasidahan, berdrama-musik-puisiria. Pak Camat tak lagi camat. Pak Kiai tak lagi kiai. Pelajar tak lagi pelajar. Preman tak lagi preman. Penyair tak lagi penyair. Semua menjadi hamba Allah yang bernyanyi campur menangis, meneriakkan hati sunyi, menumpahkan dari batin gerunjalan-gerunjalan sejarah. Bulu kuduk kami berdiri. Air mata menitik. Drama melankolik terjadi, tapi untung tak ketahuan oleh kritikus kesenian. Kami bertanya siapakah kami. Adakah kami adalah Abu Sofyan yang memperbudak Bilal dan menindih lelaki malang itu dengan batu raksasa karena ia menyempal dari kehendak kita? Adakah kita ternyata adalah sang Bilal ? Atau kita adalah batu yang menindihnya? Atau almukarram Abu Bakar yang tiba menebus nasib Bilal itu, ternyata adalah kita juga. Jadi, bagaimana? Di dalam sejarah pintar ini segala sesuatu berkembang impersonal. Manusia menjadi fungsi-fungsi, menjadi bagian roda sistem yang berputar. Dosamu bisa tak lagi hanya dosamu. Dosa orang lain bisa merupakan bagian dari dosamu. Dosamu struktural. Di dalam diri dan peri lakumu terkandung Abu Sofyan, Bilal, batu, tapi -- lihatlah -- juga Abu Bakar. Di malam ketiga kami bantu-membantu untuk membongkar diri. Semua. Si pedagang. Si haji priayi. Si pemerkosa. Si gali. Si koruptor. Si penjilat. Si penyantun. Semua. Setiap desah napas kami menjadi begitu jernih menggambarkan inti hidup. Setiap butir kata kami menjadi tetesan cinta, atau justru menjadi bilah pisau yang mengiris jiwa kami sendiri. Kami menangis. Menangis! Kami meraung-raung. Kami beramai-ramai menangis dan meraung. Sebagian dari kami pingsan .... Dan ketika raungan kami itu berangkai-rangkai, ketika tangis kami menganyam orkestrasi, tibalah -- sesudah sekian lama kemarau membakar dan membelah-belah tanah ini -- hujan tumpah dengan derasnya. Hujan pun tak bisa tahan hati. Hujan pun menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini