Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Wijaya
Sastrawan dan dramawan
Arti sebuah kata adalah hasil sebuah perjanjian. Kamus melakukan kodifikasi tapi selalu terlambat, karena praktek bahasa bisa membelot dan berkhianat dengan seenak perutnya. Tidak ada hukum suci yang bisa membatasi karier sebuah kata. Tata bahasa boleh menjadi pengawal yang kejam, tapi sebuah kata bagai seniman bebas yang petualangannya menyelusup dan berbelok tajam tak bisa diramal.
Sebuah kata sudah berubah artinya karena ditulis miring. Juga akan segera berbeda kalau diberikan dandanan tanda kutip, garis bawah, ditulis tebal, atau semua hurufnya kapital. Kata juga melakukan akrobatik karena lagu pengucapan, siapa yang mengucapkan, dalam keadaan bagaimana diucapkan, serta ucapan apa yang mendahului dan menguntitnya. Kata pun berganti arti ketika dikatakan dengan gerak, isyarat, atau rasa alias tidak dikatakan.
Sudah diberitahukan oleh para ahli bahasa bahwa ada politik dalam bahasa. Bahwa bahasa bisa dipakai oleh kekuasaan untuk mengawal dominasinya. Perbedaan tingkat bahasa yang kita jumpai di berbagai bahasa daerah adalah bagian dari siasat para bangsawan untuk mencengkeram rakyat jelata tanpa senjata. Kekuatan bahasa telah menjadi bagian dari arsitektur feodalisme.
Syukurlah, para perintis kemerdekaan telah memilih bahasa Melayu Pasar, yang tak diperalat politik bahasa, jadi bahasa nasional. Bukan saja kelompok minoritas tak merasa terancam, juga bahasa menjadi bagian pembelajaran demokrasi, yang membantu mengikis feodalisme. Namun tak berarti bahasa Indonesia sudah bebas dari ancaman. Dalam kata kata, masih ada virus ganas yang selalu bisa menerkam kalau pemakainya memanfaatkan "kebebasannya".
Kata kata lewat perjanjian gelap, perjanjian yang tidak tertulis, memiliki arti bayangan. Tidak hanya "mendua" seperti yang dituduhkan oleh bahasa Indonesia, tetapi juga "berwayuh" arti (bahasa Jawa, berwayuh berarti lebih dari satu, tidak hanya dua bisa banyak, Prof. Djojodigoeno).
Kata "bersih" adalah kata keadaan lawan dari kata "kotor". Kebersihan dalam pengertian bersih mengandung kemungkinan bahwa kebersihan itu terjadi akibat tidak terkontaminasi. Artinya memang masih suci. Tapi kebersihan itu juga mengandung kemungkinan hasil dari pembersihan. Sebenarnya tidak suci, tetapi karena sudah disucikan jadi bersih. Bila tidak ada penjelasan, kata bersih itu jadi mendua.
Bersih tidak hanya mendua tapi juga berwayuh arti, ketika terjun dalam praktek. Seorang kepala desa memerintahkan wargaya untuk melakukan kerja bakti agar kawasan hunian jadi bersih menjelang peringatan ulang tahun proklamasi. Warga lalu bertindak. Tapi, di telinga seorang gila, kata bersih berarti lain. Setelah warga beristirahat, karena seharian membersihkan kampung, malam malam dia bertindak. Esok harinya seluruh kampung kaget. Pohon pisang di sepanjang jalan yang merupakan sumber nafkah sampingan warga "bersih" ditebang.
Seperti kata bersih, dalam praktek, kata: amankan, tertibkan, atur, selesaikan, tuntaskan, pikirkan, selamatkan, atasi, pertimbangkan, manfaatkan, serta lain sebagainya, mengandung arti bayangan. Akibatnya, kata kata selalu menjadi teka-teki. Kamus tak akan mampu menjadi polisi lalu lintas kata dalam bahasa Indonesia. Pemiliknyalah yang paling tahu apa yang dimaksudkannya atas sebuah kata. Kalau "pemilik" kata absen, dibutuhkan tafsir. Dan itu membuat artinya bisa terbang jauh bahkan menjadi kebalikan dari apa yang dimaksudkan semula, sehingga jadi perkara.
Kata cicak dan buaya sudah melahirkan sebuah peristiwa yang sangat ramai.
Ada pertanyaan lucu. Benarkah kata (bahkan juga bahasa) diciptakan oleh manusia? Atau pemakai kata (baca: bahasa) yang sebenarnya dipilih oleh bahasa itu. Apakah bayang bayang dalam hampir setiap kata dalam bahasa Indonesia memang diciptakan oleh manusia Indonesia yang tidak suka adanya kepastian? Atau kemenduaan, keberwayuhan arti dalam kata kata bahasa Indonesia itulah yang telah memilih manusia Indonesia sebagai domisilinya.
Karena potensi mendua itulah, bahasa Indonesia "dituduh" STA tak pandai menjadi bahasa ilmiah. Barangkali itu juga sebabnya, setiap detik kata dengan berbagai kebangsaan dari seluruh dunia, tanpa visa bisa bebas keluar masuk di negeri ini. Serbuan kosakata asing itu tak hanya menunjukkan adanya krisis kebangsaan, tapi juga kepanikan. Orang baru merasa afdol bila kata katanya bebas dari pembonceng gelap, kalau sepukul dua pukul pakai kata cas cis cus.
Dengan adanya bayangan arti dalam hampir semua kata, selalu dituntut penjelasan lanjut. Tidak cukup mencari arti sebuah kata lewat perjanjiannya dalam kamus. Kata kata selalu asing, sampai dia berhasil diartikan. Tetapi, anehnya, pergaulan tak kacau karena kenyataan itu. Bahkan sastra Indonesia menikmatinya. Bayang-bayang kata justru memacu perkembangan sastra Indonesia. Majalah Tempo, yang menggabungkan jurnalisme dengan sastra, sempat menjadi salah satu majalah yang terbesar dan membawa kepeloporan dalam bahasa media di Indonesia pada 1970 an.
Yang kewalahan adalah politik, ekonomi, dan teknik. Karena ketiga teritorial itu tidak memanfaatkan sifat mendua kata. Ketiganya mengeluhkan sifat mendua itu sebagai kemiskinan bahasa Indonesia. Dan umumnya para pelakunya tak suka membaca sastra. Mereka tak melihat ada potensi luar biasa pada kata yang hakikatnya selalu mendua (rwa bhineda kearifan lokal Bali).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo