Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar buruk itu didapat Abdul Malik pada Kamis siang dua pekan lalu. Heri Januar dan Herry Kiswanto, keduanya narapidana di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, disiksa dan diasingkan ke sel khusus. ”Saya khawatir mereka diskenariokan bunuh diri, sudah seminggu saya tidak mendengar kabar mereka,” kata Abdul, teman Heri. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi sejumlah media. Esok harinya, sejumlah surat kabar dan media online menurunkan berita yang berisi dugaan penyiksaan terhadap dua tahanan itu.
Tak kalah sigap, pada hari yang sama, petinggi Rumah Tahanan menampilkan Heri dan Herry di hadapan wartawan. Keduanya membantah disiksa. Namun Herry Kiswanto, yang pelipis kirinya lebam dan lehernya lecet bekas jeratan ikat pinggang, mengaku berusaha bunuh diri. ”Pelipis saya terbentur pintu toilet ketika mencoba bunuh diri,” kata Herry, yang kerap gelagapan ketika menjawab pertanyaan wartawan.
Heri dan Herry adalah dua pesakitan yang membawa kamera tersembunyi untuk merekam lika liku narapidana menyalurkan berahi. Setelah dalam waktu sekitar satu bulan ia berulang kali mengambil gambar, video ”karya” mereka ditayangkan dalam program investigasi Sigi, ”Bisnis Seks di Balik Jeruji”, di stasiun SCTV, 27 Oktober lalu awalnya direncanakan pada 13 Oktober. Kepada wartawan, Herry, yang didampingi petinggi Rumah Tahanan, mengaku tak tahu hasil rekamannya akan ditayangkan.
Dalam tayangan Sigi, pemegang kamera tersembunyi adalah narapidana yang akan melakukan hubungan intim di ruang kantor penjara. Herry mengatakan awalnya ia menolak permintaan kru peliput SCTV merekam adegan itu, tapi ia luluh karena dijanjikan bahwa identitasnya akan dirahasiakan. ”Libido saya timbul karena berbulan bulan di dalam tahanan,” katanya. Ia pun menerima kamera seukuran remote control alarm mobil, yang dilekatkan di pergelangan tangan, lalu menunggu perempuan yang dijanjikan.
Petinggi Rumah Tahanan membantah adanya praktek prostitusi di tempat kerjanya. Kepala Keamanan Rumah Tahanan Andika menganggap gambar tersebut rekayasa. ”Kedua narapidana itu diperalat melakukan adegan yang diskenariokan,” katanya. Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Dindin Sudirman mengatakan akibat ulah dua orang itu, peraturan rumah tahanan diperketat. Akibatnya, Heri dan Herry dibenci sesama tahanan, hingga mencoba bunuh diri.
Pengakuan Herry bertolak belakang dengan cerita Abdul Malik, informan kru Sigi. Abdul mengatakan, sejak awal Heri maupun Herry paham, tujuan mereka membawa kamera tersembunyi adalah memperoleh gambar yang akan menjadi materi tayangan Sigi. Abdul menemani kru Sigi membesuk Heri dan memberikan kamera. ”Ada dua kamera. Ketika yang satu masuk sel, yang lain keluar untuk dilihat hasilnya. Prosesnya panjang, tak hanya sekali,” katanya. Imbalannya, Heri menerima Rp 2 juta.
Kedua narapidana itu ketahuan sebagai pembawa kamera setelah pengelola Rumah Tahanan menganalisis tayangan Sigi. ”Kami memutar rekaman berulang kali untuk menggali data dari video tersebut, termasuk mencari dua napi yang terlibat,” kata Bambang Krisbanu, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah DKI Jakarta. Herry dapat dikenali dari celana dan sandal yang dikenakan. Saat dimintai keterangan, ia mengaku dan menyebut bahwa Heri Januar juga ikut terlibat dalam proyek pengambilan gambar itu.
Toh, Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Don Bosco Selamun tak bersedia memastikan kedua narapidana itu adalah informan sekaligus pelaku yang membawa kamera tim Sigi. ”Sesuai kode etik jurnalistik, kami tak akan menyebutkan narasumber yang dilindungi,” katanya. Ia mengatakan, ihwal perlindungan lebih lanjut kepada narasumber akan dikonsultasikan ke Dewan Pers. Terlepas dari benar tidaknya kedua narapidana itu sebagai narasumber, Don sangat menyesalkan bila terjadi penganiayaan di rumah tahanan tersebut.
Selain itu, Don Bosco membantah, rekaman gambar ”Bisnis Seks di Balik Jeruji” merupakan hasil rekayasa. Ia juga menampik bila dikatakan bahwa pekerja seks yang terlihat dalam klip tersebut disediakan oleh kru Sigi demi mendapatkan gambar. ”Tak ada rekayasa peristiwa, tempat, maupun pelaku, apalagi membawa dan menyediakan pekerja seks untuk narapidana. Penyewaan kamar (untuk berkencan), seperti terungkap dalam tayangan Sigi, adalah hal yang diakui narasumber kami sudah lama terjadi,” katanya.
Don mengatakan, program Sigi dengan tema skandal seks itu bertujuan membongkar praktek prostitusi di penjara. Dalam program itu ada pula rekomendasi tentang pengaturan pemenuhan hak hubungan biologis narapidana yang telah berkeluarga. ”Selama ini belum jelas aturannya sehingga menjadi peluang mencari keuntungan pihak tertentu,” katanya, sembari menyarankan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menindak tegas anak buahnya yang terlibat skandal tersebut.
Kisah yang diangkat oleh Sigi memang mencoreng para petinggi Kementerian Hukum. Laporan tentang bisnis seks tersebut diilhami buku Penjara: The Untold Stories yang ditulis wartawan Tempo Ahmad Taufik. Buku yang terbit pada Juni lalu itu berisi kesaksian penulis ketika menjalani masa tahanan selama 31 bulan di sejumlah penjara, termasuk Salemba dan Cipinang, Jakarta. ”Kami tertantang membuat visual dari cerita buku itu,” kata Don Bosco. Gambar merupakan aspek penting suksesnya liputan investigasi tersebut.
Untuk mengakali pengambilan gambar, yang sudah pasti dilarang pengelola Rumah Tahanan, kru Sigi menitipkan kamera tersembunyi kepada informan yang juga pelaku. Don Bosco mengatakan, meski ada perdebatan etik tentang penggunaan kamera dan mikrofon tersembunyi, praktek itu dapat dibenarkan demi mengungkap skandal. ”Lagi pula, saya berpendapat, penjara adalah ruang publik, dan ada kebobrokan yang harus diperbaiki,” katanya.
Pendapat senada juga diungkapkan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Ezki Tri Rezeki Widianti. Ia mengatakan, demi kepentingan umum, penggunaan kamera tersembunyi dibenarkan. ”Tapi kredibilitas narasumber harus diteliti dan identitasnya dilindungi,” katanya. Menurut dia, jika beritanya benar terjadi tapi gambar yang diperoleh merupakan rekonstruksi meskipun melibatkan pelaku harus ada keterangan kepada pemirsa bahwa gambar itu merupakan rekonstruksi berdasarkan fakta.
Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan sah sah saja menggunakan kamera tersembunyi yang dititipkan kepada pelaku untuk mendapatkan rekaman. ”Gambar merupakan bagian terpenting dalam liputan televisi. Jika tak ada cara lain, bisa dengan memakai kamera tersembunyi,” katanya. Menurut Agus, dalam liputan investigasi, seperti yang dilakukan Sigi, bila terpaksa, jurnalis bisa menggunakan cara cara yang seharusnya dihindari dalam peliputan biasa.
Adek Media, Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo