Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hardi sudah bergantung pada asupan insulin. Pria 65 tahun ini terserang penyakit kencing manis atau diabetes melitus sejak sepuluh tahun lalu dan tak bisa lepas dari injeksi insulin selama setengah tahun ini. Jika gula darahnya melonjak melebihi batas normal dengan tanda-tanda pandangan kabur dan kaki lemas cairan insulin harus segera disuntikkan. ”Memang repot, tapi kalau tidak pakai insulin makin parah,” kata wiraswasta di Jakarta Selatan itu.
Meredam gula darah dengan insulin memang tidak salah. Cara itu memang lumrah dilakukan diabetesi atau penderita diabetes. Pengidap diabetes mengalami gangguan metabolisme, yang ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia). Penyebabnya, insulin—hormon pengatur gula darah yang diproduksi sel beta di pankreas, yang bekerja dengan cara merangsang sel tubuh menyerap gula, meningkatkan simpanan gula dalam hati sekaligus membatasi pengeluarannya—tidak bekerja dengan baik. Nah, bisa saja pankreas diabetesi ini terganggu dalam memproduksi insulin, atau menghasilkan cukup insulin tapi tidak efektif bekerja alias mengalami kekebalan insulin (resistansi insulin).
Sayang, kondisi Hardi sudah cukup parah. Dia terlambat, tidak sempat ditangani dengan terapi inkretin (incretin-based therapy), terapi terbaru diabetes yang memungkinkan penyakit ini dijinakkan sebelum mengganas, dengan cara memperbaiki fungsi pankreas. Inkretin adalah hormon yang diproduksi usus, dapat merangsang pankreas memproduksi insulin sekaligus menekan lonjakan gula darah. ”Terapi inkretin ini membantu regenerasi pankreas,” ujar Dante Saksono Harbuwono, dokter ahli penyakit dalam Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Terapi inkretin yang sudah mulai diterapkan di Indonesia dalam satu-dua tahun terakhir ini menjadi salah satu bahasan dalam Jakarta Diabetes Meeting 2010, yang berlangsung di Jakarta, akhir pekan lalu. Pertemuan tersebut merupakan acara tahunan dokter ahli diabetes yang sudah berlangsung sejak 1993, sekaligus memperingati Hari Diabetes Internasional yang jatuh setiap 14 November. ”Terapi inkretin merupakan konsensus baru di antara para dokter diabetes,” kata Dante, Ketua Panitia Jakarta Diabetes Meeting 2010.
Terapi inkretin ini memang harus diterapkan ketika diabetes masih tahap dini, yakni saat penderita belum memerlukan asupan insulin. ”Sebelum organ-organ lain rusak,” kata Dante. Terapi inkretin juga tidak bisa diberikan bersamaan dengan terapi insulin, karena bisa mengakibatkan pankreas makin berlebihan memproduksi insulin. Namun, bisa juga terapi inkretin diterapkan pada diabetesi menahun, asal si penderita belum bergantung pada asupan insulin dan fungsi pankreasnya masih bagus. ”Itu terjadi pada penderita yang menjaga pola makan dan tetap beraktivitas fisik.”
Terapi inkretin memang tidak dapat menyembuhkan diabetes, tetapi memperlambat kerusakan organ-organ yang berkaitan, terutama pankreas. Setidaknya, terapi ini mencegah ledakan komplikasi diabetes, seperti ancaman buta, stroke, penyumbatan pembuluh darah, hingga kelumpuhan.
Inkretin bekerja mengikuti metabolisme pengolahan makanan—makanan yang dicerna diubah menjadi gula atau glukosa. Dalam proses ini, kedua hormon pankreas, yakni glukagon dan insulin, sangat berperan yakni pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Glukagon diproduksi sel alfa dari pankreas dan insulin diproduksi sel beta. Keduanya ”bermain” di hati, otot, dan jaringan lemak mengikuti cara kerja hormon yang menganut sistem keseimbangan.
Dalam proses metabolisme ini, glukagon akan merangsang proses pembuatan glukosa di hati (glikogenolisis). Selanjutnya, sel-sel hati akan melepaskan glukosa ke dalam darah sehingga kadar gula darah meningkat. Jika berlanjut, akan terjadi hiperglikemia. Nah, kondisi ini akan menghambat pengeluaran glukagon sekaligus merangsang pengeluaran insulin.
Hormon insulin ini akan bekerja mempercepat penyebaran dan penyerapan glukosa dalam sel, meningkatkan simpanan glukosa di hati, dan membatasi pengeluarannya. Kadar gula darah pun menurun, berlanjut sampai kondisi hipoglikemia, yang akan menghambat pengeluaran insulin, tapi merangsang produksi glukagon.
Dalam kondisi normal, pola seperti itu berputar, sehingga keseimbangan kadar gula darah dalam tubuh terjaga. Pada diabetesi, antara insulin dan glukagon tidak seimbang, sehingga gula terus meningkat tanpa diimbangi kerja penurunan kadarnya.
Bagaimana peran hormon inkretin? Secara alamiah inkretin menjaga keseimbangan insulin. ”Intinya merangsang insulin dan menekan glukagon,” tutur Dante. Hormon inkretin dihasilkan epitel usus yang berfungsi sebagai glukoregulator atau pengatur keseimbangan kadar darah. Hormon ini berikatan dengan reseptor pada sel beta penghasil insulin di pankreas sehingga memiliki efek meningkatkan pengeluaran insulin, menekan glukagon, dan menjaga sekaligus meningkatkan kerja sel beta.
Sayang, inkretin memiliki kelemahan, yakni berumur pendek. ”Hanya dua menit,” kata Dante. Pada diabetesi, jumlah inkretin pun merosot. Karena itu, secara teknis terapi inkretin bertujuan menambah pasokan inkretin dari luar, baik secara oral maupun injeksi, sehingga memungkinkan inkretin mampu bertahan satu jam sampai sehari penuh. ”Cukup untuk menyeimbangkan kadar gula darah,” kata doktor bidang diabetologi molekuler Universitas Yamanashi, Jepang, itu. Menurut dia, pasien-pasiennya yang mendapat terapi inkretin menunjukkan hasil bagus, fungsi pankreas mereka tidak menurun drastis.
Terapi inkretin ini sudah melewati beberapa kajian. Gabungan peneliti dari Universitas Indonesia dan Universitas Kitasato, Jepang, misalnya telah mengamati data uji klinis acak terapi berbasis inkretin yang melibatkan 3.567 pasien diabetes melitus tipe 2 pada populasi Asia (Jepang, Cina, Korea, India). Hasilnya, seperti dipublikasikan di Medical Journal of Indonesia, Agustus 2010, terapi ini lebih efektif memperbaiki parameter gula darah pada populasi Asia dibanding Kaukasia.
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sidartawan Soegondo menilai terapi inkretin berprospek baik. Namun, dia menandaskan, yang lebih baik adalah menerapkan pola hidup sehat. ”Atur makan dan olah fisik,” katanya saat peluncuran program Goyang Jakarta, rangkaian edukasi pencegahan primer diabetes oleh Perhimpunan Diabetes Indonesia, di Jakarta, Rabu pekan lalu.
Jika sudah sampai tahap komplikasi akut atau kronis, pengobatannya lebih kompleks dan sangat mahal. Dari catatan Sarwono Waspadji, guru besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, total biaya pengobatan diabetes yang mencapai tahap komplikasi bisa sembilan kali lebih mahal dibanding ketika masih tahap dini.
Apalagi diabetes adalah penyakit massal yang dipicu oleh gaya hidup tak sehat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan penderita diabetes melitus tipe 2 diabetes yang bukan dari keturunan, tapi dari gaya hidup—di Indonesia dari 8,4 juta menjadi 21,3 juta pada 2010. Laporan hasil penelitian di berbagai daerah juga menunjukkan tren peningkatan. Penelitian di Jakarta, misalnya, dari prevalensi 1,7 persen pada 1982 menjadi 5,7 persen pada 1993. Pada 2001 sebaran prevalensi sudah mencapai 12,8 persen di daerah sub-urban Jakarta. ”Artinya satu dari delapan orang ada masalah gula darah,” kata Sarwono.
Harun Mahbub
Terapi Berbasis Inkretin
Terapi inkretin dilakukan dengan cara memasukkan inkretin ke tubuh dengan tugas menjaga keseimbangan insulin dan glukagon.
Hormon inkretin normalnya dihasilkan tentakel usus. Fungsinya merangsang insulin dan menekan glukagon.
Hormon insulin diproduksi sel beta pankreas.
Glukagon meningkatkan gula darah, insulin menurunkannya. Pada penderita diabetes melitus tipe 2, hormon inkretinnya kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo