Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Sengkarut Penarikan Royalti Musik

Setiap tahun selalu saya mendengar perselisihan mengenai penarikan royalti musik di kafe, restoran, pusat belanja, lobi bioskop, dan tempat-tempat sejenis lainnya.

14 Juni 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemala Atmojo
Pengamat Hukum Entertainment

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap tahun selalu saya mendengar perselisihan mengenai penarikan royalti musik di kafe, restoran, pusat belanja, lobi bioskop, dan tempat-tempat sejenis lainnya. Masalah ini biasanya diawali dengan datangnya surat dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menagih royalti dari musik yang diperdengarkan di tempat-tempat tersebut. Bagaimana sebenarnya duduk perkara royalti musik di tempat-tempat seperti itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Undang-Undang Hak Cipta, LMK adalah institusi berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Siapa saja sebenarnya bisa mendirikan LMK asal memiliki minimal 200 anggota pencipta, 50 pemilik hak terkait, dan mendapat izin operasional dari menteri.

Maka, kata kuncinya adalah "yang mendapat kuasa". Jadi, LMK hanya boleh menagih royalti dari "pemberi kuasa". Jika tidak ada surat kuasa dari pencipta atau pemegang hak cipta, LMK tidak bisa menagih royalti ke pihak lain. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 20 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 36 Tahun 2018, yang menyebutkan LMK hanya boleh menarik royalti dari anggotanya. Adapun royalti dari pencipta yang belum atau tidak menjadi anggotanya hanya boleh ditarik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Adanya dua lembaga ini juga bisa membingungkan karena keduanya bisa menarik royalti dan LMKN dapat mendelegasikan kewenangannya kepada LMK yang sejenis. Seharusnya cukup ada satu institusi (dalam undang-undang hanya ada LMK) dengan kewenangan dan pengawasan yang jelas dari kementerian. Apalagi royalti adalah hak milik pencipta. Mengapa negara (LMKN) dapat menarik langsung eksploitasi ekonomi atas hak milik itu?

Sangat wajar jika pihak restoran, bioskop, kafe, dan pusat belanja menanyakan kepada LMK soal surat kuasa dari pencipta atau pemilik hak terkait. Jika ada surat kuasa, royalti harus dibayar. Jika tidak, layak diabaikan. Juga patut ditanya, apakah LMK tersebut bekerja sama dengan lembaga sejenis sebagai counterpart? Jika tidak, abaikan saja.

Namun ada masalah yang lebih serius. Pertama, bagaimana jika yang diputar adalah lagu-lagu asing? Apakah LMK atau LMKN berhak menagih royaltinya? Apakah mereka mendapat surat kuasa dari, misalnya, Rihanna atau Justin Bieber? Jika restoran, kafe, dan bioskop itu membayar royalti kepada LMK atau LMKN, apa benar uang itu sampai kepada pemusik asing atau publishing company yang mewakili mereka? Bagaimana jika publishing company asing-misalnya Pro Music Rights, ASCAP, BMI, Global Music Rights, SESAC, SoundExchange-yang memang memiliki surat kuasa dari pemusik asing itu menagih royalti lagi?

Masalah kedua, pada 2016, LMKN mengeluarkan surat keputusan tentang tarif royalti untuk bioskop dengan cara pembayaran lumpsum per layar per tahun sebesar Rp 3,6 juta. Dari mana bisa ketemu angka sebesar itu? Negara mana pembandingnya? Lalu, ini pembayaran untuk performing rights atau mewakili pemegang hak terkait?

Coba bayangkan kondisi ini. Setiap tahun, ada ratusan film lokal dan asing yang diputar di bioskop dengan ribuan ilustrasi musik dan potongan lagu dari seluruh dunia. Andai bioskop membayar kepada LMK atau LMKN secara lumpsum per layar, kepada siapa LMK dan LMKN akan memberikan uang itu? Jika LMK dan LMKN tidak mampu menyerahkan bagian tiap-tiap orang yang berhak, berarti LMK atau LMKN mengambil hak orang lain.

Musik dalam film memang the trickiest area dalam hukum hiburan. Saya tidak akan memasuki rinciannya, tapi secara umum performing license untuk pertunjukan film di bioskop dihapus sejak akhir 1940-an di Amerika Serikat. Tak perlu performance license untuk menayangkan film di bioskop. Jadi, apa dasar pemikiran LMKN untuk memberlakukannya? Ada interpretasi bahwa musik dalam film termasuk "pertunjukan", tapi ada juga pendapat sebaliknya bahwa musik dalam film bukan pertunjukan tersendiri yang dilakukan pelaku pertunjukan. Ia adalah ilustrasi untuk film. Yang ditonton pembeli tiket itu bukan orang main musik, melainkan film yang sesekali ada ilustrasi bunyi-bunyian dan mungkin potongan-potongan lagu.

Hubungan antara komposer, penulis lirik, ilustrator, dan penyanyi (kalau ada) diselesaikan dalam perjanjian tertulis antara mereka dan produser film. Jadi, mesti dilihat juga apa isi perjanjian itu. Umumnya perjanjian itu sudah menyangkut masalah synchronization license, performance license, videogram license (ketiganya dari pencipta atau publishing company), serta master use license (dari perusahaan rekaman), dan lain-lain. Untuk musik yang sudah direkam dan yang dibuat khusus untuk film tertentu, akan berbeda bunyi kontraknya.

Saya sarankan sebaiknya LMK, LMKN, pelaku bisnis, dan para ahli di bidang ini segera bertemu untuk menyelesaikan aneka perbedaan persepsi atau hal-hal yang belum jelas mengenai royalti musik. Ini penting agar tidak timbul masalah baru di kemudian hari.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus