Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah gong kiai guntur madu

Setiap menyambut maulid nabi, gamelan milik keraton surakarta, kiai guntur madu ditabuh. para petani makan sirih, beli cemeti atau makan telur pindang. tradisi ini kini sudah kehilangan makna religiusnya.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI. Matahari baru sepenggalah. Ratusan orang berjubel di halaman Masjid Gede, Surakarta. Sementara dalam bangunan cepuri, di bagian kiri dan kanan halaman berpasir itu, belasan abdi dalem duduk khidmat bersila. Mereka menghadapi Kiai Guntur Matu -- gamelan antik milik Keraton Kasunanan -- mengenakan blangkon, jas beskap hitam, kain batik sidomukti, dan samir kuning-merah keemasan. Keris kebesaran ladrang terselip dipingang. Mereka menabuh gending Sekaten. Mula-mula bunyi kenong yang lembut dan pelan, lalu beberapa pukulan keras pada gender. Sejenak berhenti dengan interval tertentu. Kemudian beberapa pukulan sangat keras, hampir bersamaan, pada beberapa instrumen. Tetabuhan itu kian lama kian cepat dan meninggi. Ketika gong dan bedug pertama menggelegar, sejumlah perempuan, dan sebagian lelaki, serentak mengunyah sirih ... Itulah cara orang Jawa menyambut miyosipun Kangjeng Nabi Muhammad, kaping kalih welas wulan Mulud, yang jatuh pada 4 Nopember lalu. Saya tak habis pikir, kenapa setiap kali menyambut maulid Nabi, para petani itu mengunyah sirih (mengharap awet muda?) atau membeli cemeti (agar ternak dan sawah mendapat "berkah"?) atau makan telur pindang, yang entah buat apa. Orang Muhammadiyah atau Persis boleh menilai perbuatan itu sebagai bid'ah -- meski tudingan tersebut tak pernah terdengar. Perkara bid'ah memang gampang-gampang susah. Gampang, karena perbuatan yang sesungguhnya tak termasuk dalam akidah dan ibadat itu bisa saja dihimbau agar ditinggalkan. Susah, karena para pelakunya kedarung menganggapnya sebagai "budaya" -- yang membuat penghayatan agama barangkali lebih intens. Sesungguhnya, inti peringatan maulid tentu bukan sekadar "menghanyutkan diri" dalam gelegar gong Kiai Guntur Madu. Atau mengunyah sirih di Solo dan Yogya. Atau mengarak beberapa perabot pusaka, yang disebut panjang jimat, di seputar Keraton Kasepuhan Cirebon. Melainkan menyadari (minus bid'ah) makna kehadiran Muhammad itu sendiri: Bu'itstu li utammima makarimal akhlaq -- Aku diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan akhlak. Kini tradisi mangayubagya kelahiran Muhammad itu sudah kehilangan makna religinya. Yang tinggal: adat tua nan rapuh dan sebagai tontonan pariwisata. Padahal, ketika Wali Sanga memperkenalkan ajaran Islam di Jawa -- lantas menyelenggarakan Sekaten yang konon berasal dari syahadatain, dua kalimah syahadat -- mereka telah berusaha mematok monoteisme di tengah paham politeisme dan animisme. Di Arab Saudi, kaum Wahabi bahkan menuding upacara peringatan maulid Nabi itu -- demikian pula shalawat badriyah (doa salawat untuk Nabi), yang dilakukan setiap saat, misalnya, oleh arga nahdliyyin NU -- juga tergolong bid'ah. Padahal, Quran jelas-jelas menyebut: Allah dan malaikat menyampaikan salawat atas Nabi. Innallaha wa malaikatahu yushalluna 'alan nabi -- ayat 56 surah al-Ahzab, yang selalu dibaca khatib dalam setiap khotbah Jumat. Di kalangan para santri, sangat beken kumpulan syair panjang barzanji dalam kitab Qishshah al-Maulid al-Nabawi, karya Syeh Ja'far al-Barzanji, khatib Masjid Nabawi di Madinah, yang wafat pada 1177 H./1763 M. Bait-bait syair sanjung itu dinyanyikan di kampung dan pesantren pada malam peringatan maulid Nabi. Antara lupa dan ingat, masih terbayang oleh saya getaran syair yang menceritakan riwayat dan profil Nabi. Ketika sampai pada bait-bait yang mengisahkan kelahiran Nabi, serentak para "deklamator" itu berdiri. Dan sebuah koor berkumandang: Ya nabi salam 'alaika, ya habib salam 'alaika. Ya rasul salam 'alaika, shalawatullah 'alaika (Ya nabi salam padamu, ya kekasih salam padamu. Ya rasul salam padamu, salawat Allah atasmu). *** Ketika menziarahi makam Rasulullah di Masjid Nabawi, pertengahan Agustus lalu, saya tak ingat Sekaten. Mungkin, saya sudah tercerabut dari tradisi. Tapi barangkali juga lantaran Sekaten sudah tidak lagi "memperkenalkan" Muhammad. Sekaten yang Jawa agaknya sudah tidak seiring dengan barzanji yang santri. Saya pandangi bangunan besar bercat hijau tua, penuh berhias kaligrafi ayat-ayat Quran warna cokelat atau merah itu. Di sekitar makam Nabi itu orang mudah "terjerumus" jadi musyrik. Meratap-ratap, mengusap-usap dinding makam, bahkan nyaris memuja Rasulullah. Padahal, Muhammad adalah manusia biasa. QuI innama ana basyarun mitslukum, yuha ilayya annama ilahukum ilahun wahid -- Katakanlah, sungguh aku ini manusia seperti kamu. Diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu ialah Allah Yang Satu (Surah Alkahfi: 110). Semula saya heran mendengar cerita, ada jemaah haji seperti Sastrawan Danarto atau Taufiq Ismail atau orang-orang lain, serta merta menangis di dekat Ka'bah atau makam Nabi. Sementara kata seorang sahabat: "Kalau tidak menangis, mungkin hatimu sudah membatu." Saya gemetar. Ada yang menyodok-nyodok di ulu hati. Saya tersedu. Saya terisak. *** Ada hadis Nabi mengenai sebuah tempat dalam Masjid Nabawi yang disebut raudlah al-jannah: "Tempat yang terletak di antara rumahku dan mimbarku merupakan suatu taman di antara taman-taman surga." Ada pendapat, yang dimaksud "rumah" ialah makam. Jadi, tempat di antara makam Rasulullah dan mimbar itulah taman surga. Pendapat lain menyatakan, salat di raudlah mengantarkan orang ke surga. Hadis sahih itu membikin para jemaah haji penasaran. Mereka berebut salat di sana. Tak sedikit di antaranya yang sangat sulit salat di tempat yang pilar-pilarnya putih itu, terutama jemaah wanita. Berdesakan, sikut-menyikut, berebut tempat. Kalaupun beroleh tempat, kepala yang sedang bersujud bisa tersandung kaki orang. Tentu tak sengaja. Hari itu, selepas salat lohor, dengan sabar saya menunggu giliran. Dengan khidmat dan santun, saya minta tempat. Ah, dapat sejengkal -- begitu sulit buat rukuk dan sujud. Saya salat dua rakaat. Seorang jemaah haji, lelaki tua berjanggut lebat entah dari mana, berdiri menempel tubuh saya. Menunggu. Lalu saya sembahyang dua rakaat lagi. Ia tersenyum menyalami, dan mendesak saya minta giliran salat. Lalu, dua rakaat lagi. Maka, usai sudah salat di "taman surga". Dua rakaat, sampai tiga kali. Alhamdulillah, ya, Allah. Ada yang terasa menggelegak di dada. Ada yang terasa merebak di pelupuk mata. ***

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus