INI cerita sehari-hari yang tak sulit dipahami. Ada suasana rumah tangga, pasar, jalan, masjid, pantai. Tapi coba perhatikan, semuanya saja kesibukan di situ bergerak ke arah kiri, seperti geraknya tulisan Arab. Helikopter, Dokar, Membeli Bakwan merupakan paduan kesibukan yang ramai, hingga seorang pembeli bakwan lalu terbang dan membeli dari arah atas -- ini pembeli yang tak sabar antre, tentu. Dan bila ada lukisan jentera, maka tempat duduk yang mendapat giliran berputar di bawah tetap saja menghadap ke bawah -- cuma yang duduk kok tidak jatuh. Itulah sekitar 60 lukisan yang dipajang di Bentara Budaya, Jakarta, sepekan lalu, yang, disebut damar kurung, atau lampu berkerudung alias lampion model Gresik, Jawa Timur. Tergolong seni lukis rakyat, yang ini merupakan karya-karya pelukis terakhir dari jenisnya (pada 1972 masih ada 10 pelukis damar kurung di Gresik). Orang terakhir ini bernama Masmundari kini 80-an tahun, ibu seorang anak dan nenek tiga cucu, yang matanya masih awas. Di Jakarta karyanya tak dibentuk menjadi kubus tanpa alas dan atap untuk kerudung lampu minyak atau lilin. Tapi dibingkai menjadi lukisan. Di kampungnya sebiji karya ia jual Rp 1.000, di Jakarta sebuah lukisan komplet dengan bingkai dan kacanya dihargai Rp 50.000 sebuah, dan cukup laris. Sebagaimana umumnya seni rakyat, lukisan Masmundari pun tanpa perspektif. Semua obyeknya cuma dijejer ke samping atau ditumpuk ke atas. Ia selalu menggambar orang dari samping, dan komposisi warna semua lukisannya senada. Yang menarik, di ruang kosong antara obyek lukisan selalu digambari anak panah. Mungkin, ini dimaksudkan sebagai gambar angin. Damar kurung di Gresik konon sudah dibuat orang di abad ke-17. Fungsi barang kesenian ini semata untuk permainan anak-anak, terutama di bulan puasa, dan puncaknya pada Idulfitri. Dengan siklus itu pula Masmundari berkarya dan menjual damar kurungnya: tiap hari selama setahun ia menggambar, baru dijualnya menjelang dan selama bulan puasa. Biasanya setahun ia bisa menjual 300 damar kurung atau seharga Rp 300.000. Untuk hidup bersama anak, menantu, dan tiga cucu, jumlah sebesar itu tentu sangat mepet. Tapi itulah hidup Masmundari, anak tertua Dalang Sinom, yang perjalanan hidupnya penuh keprihatinan. Ayahnya, selain mendalang dan bertani, juga membuat damar kurung. "Bapak tak berusia panjang, ia meninggal selagi saya masih kira-kira 10 tahun. Tak lama kemudian Ibu juga meninggal. Maka, tinggal saya dan dua adik, Masriatun dan Masehi. Gamelan dan seperangkat wayang milik Bapak kami jual buat biaya hidup," tuturnya dalam bahasa Jawa khas Jawa Timur. Ia tiga kali menikah, dan semua suaminya meninggalkannya tanpa berita. Anak perempuannya satu-satunya kini adalah dari suami ketiga. Mula-mula adiknyalah, Masriatun, yang mengikuti jejak ayahnya membuat damar kurung. "Masriatun menggambari damar kurungnya dengan dongeng Anglingdarma, Ande-ande Lumut, dan lain-lain. Ia meninggal setelah punya dua anak," tutur Masmundari tentang adiknya. "Saya tak bisa seperti dia. Saya menggambar cerita sehari-hari yang saya lihat." Itu bermula ketika ia melihat gambar ikan duyung di poster bioskop. Ia, sekitar 20 tahun waktu itu, begitu tertarik pada gambar itu, lalu, coba-coba melukis, membuat damar kurung. Akhirnya, Masmundari, yang buta huruf dan tak bisa berbahasa Indonesia ini, menggantungkan hidupnya pada damar kurung. Yakni setelah ia tak lagi bekerja sebagai buruh di pabrik roti dan permen. Agaknya, selain itulah yang ia bisa lakukan, ia pun menemukan keasyikan. "Emak bila sudah menggambar suka lupa makan," kata Rokhayah, anak satu-satunya yang menemaninya ke Jakarta, kepada Priyono dari TEMPO. Sebagaimana ayahnya dan para pelukls damar kuning di Gresik ia pun menggambar dengan sumba kuas bambu di kertas minyak. Ketika seorang pemuda tetangga bernama Imang, kebetulan pelukis, tertarik pada karyanya, Masmundari mulai mengenal media baru. Si pemuda memberinya cat minyak dan akrilik. Mungkin ini sebabnya bila karyanya tampak necis, tak belang-bentong seperti bila menggambar dengan sumba. Itulah awal mula Masmundari muncul di Jakarta: lewat Imang dan seorang temannya, akhirnya pihak surat kabar Kompas, menyeponsorinya. Ada satu hal, tema lukisannya, sejauh yang dipamerkan, menggambarkan suasana gembira: pesta kawin, karnaval, pengajian, mencari ikan. Rupanya, Masmundari tak ingin riwayat sedih tampil di kertas gambarnya. Pameran ini tepat waktunya. Mendokumentasi satu jenis seni lukis rakyat tatkala senimannya tinggal satu-satunya. Dan memberi kesempatan pelukisnya untuk melihat pekerjaan yang ia tekuni selama berpuluh tahun, "untuk menghidupi anak cucu saya," tak sia-sia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini