Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENANGAN besar Susilo Bambang Yudhoyono tentu bukan hanya ditopang faktor dana kampanye yang melimpah. Popularitas SBY di mata rakyat, sosoknya yang meyakinkan, berbagai program prorakyat, misalnya Bantuan Langsung Tunai, pasti punya andil besar di balik lebih dari 60 persen suara yang diraih SBY bersama Boediono—sementara ini. Kemenangan mengesankan itu tak diharapkan ”cedera” oleh isu dana ”siluman” kampanye. Maka, tekad Badan Pengawas Pemilu untuk menyelidiki dana kampanye yang tak jelas ”identitas”nya itu perlu disokong.
Badan Pengawas Pemilu sudah tepat memilih bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk menelusuri duit kampanye pemilihan presiden 2009 yang tidak dilaporkan secara resmi. PPATK selama ini dikenal mempunyai reputasi baik dalam menelisik aliran dana ”gelap” dalam berbagai kasus.
Tentu saja tugas ini cukup berat. Menelusuri dana kampanye yang sudah diumumkan secara terangterangan saja sulit, apalagi yang berasal dari wilayah ”abuabu”. Kesulitan pertama sudah di depan mata: sumbangan umumnya diberikan tunai, tidak ditransfer melalui rekening bank. Ini menyulitkan PPATK melacak asalusulnya.
Sebab itu Komisi Pemilihan Umum harus membuka daftar nama penyumbang—baik perorangan maupun badan hukum. Keganjilan berupa setoran tunai dalam jumlah besar, munculnya penyumbang tanpa identitas jelas, atau tak disertakannya keterangan rekening si penyumbang, harus diselidiki. Hasilnya mesti dipublikasikan.
Coba simak pundipundi kampanye ketiga kandidat presiden. Sekilas tak ada masalah, ketiganya sudah melaporkan sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Duet Megawati Soekarnoputri Prabowo Subianto ternyata paling tajir dibandingkan dengan Susilo Bambang YudhoyonoBoediono atau duet Jusuf KallaWiranto.
Ada keraguan di sini. Yang dilaporkan diduga lebih sedikit daripada angka sebenarnya. Para analis dari Indonesia Corruption Watch, umpamanya, menyimpulkan adanya selisih yang jumlahnya nauzubilah. ICW mengkalkulasi biaya iklan yang hampir setiap hari muncul di media massa dan ongkos kampanye kandidat ke seantero daerah di Tanah Air.
Perkara ini mesti dibereskan. Kita tak ingin presiden terpilih, misalnya, menerima sumbangan dari penggelap pajak atau koruptor kakap. Hanya pengusaha yang sudah beres urusan pajaknya, jelas sumber keuntungan perusahaannya, yang boleh diterima sumbangannya.
Dalam pemilu legislatif tempo hari, ICW menengarai banyak sumbangan ”gelap” mengalir ke kas sejumlah partai, termasuk partai pemenang pemilu. Abdullah Dahlan dari ICW mencontohkan bahwa Partai Demokrat menerima sumbangan dari 42 orang dan 42 badan usaha tanpa identitas yang jelas. Padahal UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif menyatakan partai tak boleh menerima sumbangan dari penyumbang yang tak jelas. Komisi dan Badan Pengawas harus segera memproses dugaan pelanggaran ini.
Baik partai maupun calon presiden dan wakil presiden tak bisa berkilah tak mengetahui urusan audit dana kampanye ini. Menurut daftar isian pelaksanaan anggaran Komisi Pemilihan Umum, sudah disiapkan biaya sosialisasi audit dana kampanye Rp 4 miliar, tidak termasuk biaya untuk tim audit.
Tim audit Komisi Pemilihan Umum tak boleh menyerah meski ada gosip tentang betapa tinggi ilmu tim kampanye menyembunyikan dana raksasa itu. Mereka bisa saja membuka rekening lain di luar yang dilaporkan, atau bahkan hanya memutar dana kas keras tanpa lewat bank. Sebab itulah, di kemudian hari, Komisi harus mempersiapkan model pengawasan yang lebih efektif terhadap dana kampanye.
Masih jelas dalam catatan Komisi, betapa Joko Tjandra, seorang pengusaha bermasalah, pernah memberikan sumbangan gede untuk calon presiden pada 2004. Joko kini menjadi buron Kejaksaan Agung lantaran kasus cessie Bank Bali yang diduga merugikan negara beratus miliar rupiah. Bayangkan seandainya Joko melakukan hal serupa dalam kampanye presiden barusan. Saat itu juga terbongkar bahwa dana taktis Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri mengalir ke tim kampanye semua calon presiden—walaupun tim kampanye SBY membantah. Rokhmin akhirnya masuk bui setelah dinyatakan pengadilan melakukan korupsi.
Tentu saja patut kita sesalkan kalau ternyata presiden pilihan rakyat bisa melenggang ke Istana berkat sponsor konglomerat hitam, bohir, cukong politik, yang memberikan sumbangan di luar peraturan. Para petualang itu tentu akan menagih ”budi baik” presiden bila, umpamanya, kepentingan bisnis mereka terusik. Kelakuan mereka akan menggerogoti kemandirian presiden dalam mengambil keputusan. Wibawa pemerintah bisa runtuh karenanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo