Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HITUNG cepat alias quick count hasil pemilihan umum selalu ditanggapi dari sisi berseberangan. Kandidat yang unggul menilai metode verifikasi perolehan suara itu sebagai ”validasi awal” kemenangan mereka. Calon yang tertinggal memandang penghitungan itu penuh syak, bahkan tak jarang dilambari ”teori konspirasi”.
Beda pandangan pun muncul ketika sejumlah lembaga mengumumkan hasil hitung cepat beberapa jam seusai pemilihan, Rabu pekan lalu. Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada publik dan ”temanteman seperjuangan”nya. Calon wakil presiden Prabowo Subianto menuduh quick count ”ngawur” dan ”dibuat untuk menyesatkan rakyat Indonesia”. Sedangkan calon presiden Jusuf Kalla lebih kalem, menyatakan menghormati hitung cepat tapi tetap menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum.
Sebetulnya quick count merupakan satu dari banyak cara memantau hasil pemilihan umum. Para petugas penyelenggaranya mengamati proses penghitungan di tempattempat pemungutan suara yang dipilih secara acak. Mereka mencatat temuan pada berkas yang seragam, lalu melaporkannya ke pusat pengumpulan data. Dengan metode yang ketat, hasilnya bisa menjadi alat verifikasi hasil resmi Komisi Pemilihan Umum.
Idealnya, hitung cepat dilakukan lembaga yang tidak memiliki kepentingan pada hasil pemilihan. Lembaga independen akan memilih sampel tempat pemungutan suara secara ilmiah, merekrut tenagatenaga lokal yang tinggal dekat sampel, lalu melatih mereka termasuk pengetahuan soal tata cara pemilihan. Hasil pengumpulan data pun diverifikasi berulang. Dengan proses ketat seperti itu, margin of error atawa ”kisaran kesalahan” seharusnya lebih kecil dan mestinya hasil penghitungan yang diperoleh layak dipercaya.
Selain untuk pemantauan, metode hitung cepat yang dilakukan secara benar memiliki ”efek samping” yang positif bagi demokrasi. Metode ini memungkinkan masyarakat terlibat secara aktif dalam penyelenggaraan pemilihan. Keterlibatan orang banyak ini, tentu saja, mempersempit peluang para kontestan atau penyelenggara pemilihan bermain curang.
Namun, seperti juga lembaga survei, tak semua penyelenggara quick count merupakan lembaga independen. Beberapa di antaranya menempel pada salah satu peserta pemilu, mendapat dana dari salah satu kandidat, dan membuat penghitungan yang memenangkan kandidat dukungan mereka. Lembaga ini biasanya abai terhadap metode statistik yang benar: meskipun jumlah sampel lebih banyak, tempat pemungutan suara tidak diambil secara rawak.
Quick count oleh lembaga partisan pun seharusnya tak perlu dipersoalkan. Toh, hasil penghitungan mereka akan diadu sekaligus dikoreksi oleh lembagalembaga lain yang kredibel. Pada akhirnya akan terjadi seleksi alam. Masa hidup lembaga hitung cepat ”abalabal” akan ditentukan oleh seberapa akurat penghitungan mereka dibandingkan dengan hasil resmi Komisi Pemilihan Umum.
Di luar ”soalsoal serius” itu, hitung cepat juga bisa menjadi hiburan bagi banyak orang. Tak beda dengan menonton sinetron, drama, atau pertandingan sepak bola, masyarakat tak sabar ingin mengetahui hasil akhir pemilihan. Kalau hasilnya tak memuaskan salah satu kontestan, lebih baik membuat tim quick count sendiri ketimbang menyumpahi hasil lembaga lain yang belum tentu salah.
Di masa Orde Baru, publik tak butuh hitung cepat sebab hasil pemilu tak pernah beranjak dari yang ”itu itu” juga. Kini, dengan pemilu yang lebih transparan, publik ingin segera tahu hasil pilihannya. Quick count bisa memenuhi rasa ingin tahu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo