Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Mesir telah menyatakan penyesalannya atas penahanan dan penyiksaan empat mahasiswa Indonesia oleh polisi setempat. Kepada Duta Besar Indonesia A.M. Fachir, Kementerian Luar Negeri Mesir berjanji akan menjelaskan selengkapnya kejadian itu. Tapi pemerintah Indonesia seharusnya tak merasa cukup hanya dengan katakata itu. Pemerintah SBY perlu mendesak agar pelaku penganiayaan diusut dan diadili.
Garansi mengenai hukuman itu semestinya malah merupakan keniscayaan. Penyiksaan adalah tindakan yang dilarang oleh Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment of Punishment. Konvensi yang mulai berlaku pada 1987 ini menegaskan bahwa penyiksaan tak pernah bisa dibenarkan—”tidak ada pengecualian situasi atau apa pun… yang mungkin digunakan untuk membenarkan penyiksaan”. Mesir, sebagai negara yang juga meratifikasinya, terikat kewajiban untuk menegakkan konvensi itu.
Penahanan terhadap empat mahasiswa Indonesia dilakukan karena polisi menduga mereka terlibat jaringan teroris. Mereka dijemput paksa dari satu rumah kontrakan di Kairo pada 28 Juni. Sebelum mereka akhirnya dibebaskan tiga hari kemudian karena tak ada bukti, dalam interogasi, menurut pengakuan mereka, polisi menelanjangi, memukuli, bahkan menyetrum mereka. Seorang di antaranya sampai menderita trauma.
Dalam gegapgempita perang melawan terorisme, memang ada upaya membengkokkan larangan melakukan penyiksaan, dengan alasan situasinya genting. Tapi pandangan yang waras tetap berpendapat tindakan itu bukan saja tak manusiawi, melainkan juga siasia. Pro dan kontra berlangsung segera setelah berbagai penyiksaan terhadap tersangka teroris di berbagai tempat penahanan milik Amerika Serikat terungkap.
Kalangan yang menoleransi selalu menyebut ”situasi ekstrem” sebagai pembenar. Situasi itu sering disebut sebagai skenario ”bom yang berdetak”: suatu serangan teror mematikan sedang mengintai dan hanya mungkin dicegah jika diperoleh informasi dari tahanan yang ada. Penyiksaan bisa memaksa tahanan itu ”bernyanyi”—dan karenanya ribuan nyawa bisa diselamatkan. Jadi mengapa tidak boleh menyiksa?
Tentu ada alasanalasan untuk mematahkan argumentasi itu dan inilah yang harus dikemukakan terusmenerus. Selain ada larangan, penyiksaan sesungguhnya tak bisa diandalkan. Mungkin saja dengan itu bisa diperoleh informasi vital. Tapi bisa juga petunjuk yang didapat justru menyesatkan. Dalam kasus bom aktif, informasi yang buruk sama mematikannya dengan tak ada informasi sama sekali. Lagi pula penyiksaan bisa menimpa orang yang tak bersalah. Di Guantanamo, tempat penahanan tersangka teroris milik Amerika, misalnya, ada ratusan tahanan yang sama sekali tak berbahaya dan tak punya informasi yang berguna.
Alasan lain: penyiksaan cenderung menggiring ke tindakantindakan lain dengan akibat yang tak diinginkan. Pukulan dan setruman bisa saja gagal memaksa tahanan mengaku. Haruskah penyiksa mematahkan jarinya? Memotong tangannya? Daftar ini bisa kian panjang dan mengerikan.
Terorisme memang harus diberantas, tapi tentu tidak dengan kekejian pula. Karena itu, siapa pun berkewajiban mencegah penyiksaan dalam wujud apa pun. Mesir tak terkecuali. Dan untuk itu, Mesir mesti menghukum tegas aparatnya yang menyiksa empat mahasiswa Indonesia. Demi ikut memastikan hal ini, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir mesti bergerak lebih aktif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo