Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibutuhkan seorang Mohamed Bouazizi yang menyalakan api revolusi di Timur Tengah. Bouazizi hanyalah seseorang yang pada Desember tahun lalu mengakhiri nyawanya sebagai protes atas pengangguran di Tunisia. Peristiwa ini memicu demonstrasi buruh dan mahasiswa terbesar di negara itu.
Demonstrasi besar yang kemudian disebut Revolusi Yasmin di Tunisia itu menyebabkan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali—yang sudah berkuasa selama 23 tahun—kabur. Semangat Revolusi Yasmin segera menjalar ke tetangganya yang jauh lebih besar dan lebih berpengaruh di dunia: Mesir.
Dibutuhkan waktu dua pekan untuk memaksa Husni Mubarak, yang sudah berkuasa 31 tahun, mengundurkan diri. Warga Mesir menyebut pengaruh Revolusi Yasmin di Tunisia sebagai Efek Tunisami. Efek Tunisami ini seolah memberi kesadaran tentang beberapa hal.
Pertama, untuk mengganti kepemimpinan diktator, tak perlu menanti serangan Amerika Serikat, tapi cukup dengan demonstrasi masyarakat yang sudah di bawah tekanan pemerintahan otoriter selama puluhan tahun. Kedua—sesuatu yang tak dialami para demonstran di Filipina (1986), Cina (1989), dan Indonesia (1998)—masyarakat ”bersenjatakan” media sosial seperti Twitter dan Facebook sebagai pemersatu.
Kini Efek Tunisami itu sudah mulai menjalar ke Libya, Iran, Bahrain, Aljazair, Yordania, dan Yaman. Kita tak tahu apakah demonstrasi di berbagai negeri itu akan berakhir dengan kemenangan rakyat, seperti yang terjadi di Tunisia atau Mesir. Setiap negara mempunyai sejarah dan karakter masyarakat yang berbeda.
Demonstrasi di Aljir, Aljazair, menuntut mundurnya Presiden Abdelaziz Bouteflika, yang berkuasa sejak 1999, dan dihapusnya undang-undang darurat yang sudah mengekang mereka selama 19 tahun. Sedangkan Libya, yang dikuasai Muammar Qadhafi melalui kudeta pada 1969, kini sedang mencoba menutupi demonstrasi yang bergolak di negaranya.
Bahrain mempunyai problem yang sedikit berbeda. Bahrain adalah sebuah kerajaan yang dipimpin Raja Hamad bin Isa al-Khalifa dan Perdana Menteri Syekh Khalifa bin Salman al-Khalifa, penganut Islam Sunni. Demonstrasi di ibu kota Bahrain, Manama, yang sudah menyebabkan tewasnya empat orang, tidak hanya mempersoalkan kesenjangan ekonomi dan kebebasan berekspresi, tapi juga mempermasalahkan diskriminasi terhadap penganut Islam Syiah. Sedangkan demonstrasi di Sanaa, Yaman, dilakukan mayoritas mahasiswa dan aktivis yang menuntut mundurnya Presiden Ali Abdullah Saleh, yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Hasrat untuk hidup di negara yang demokratis memang sudah tak bisa dibendung. Negara-negara Asia sudah memulainya puluhan tahun lalu. Filipina (1986), Korea Selatan (1987), dan Indonesia (1998) dianggap berhasil menyingkirkan pemerintahan diktator negeri masing-masing. Apakah negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara mampu mengikuti jejak Tunisia dan Mesir, itu akan bergantung pada kekuatan rakyat untuk bertahan dan melawan.
Keberhasilan itu juga bergantung pada metode yang akan digunakan pemerintah berkuasa. Cara-cara klasik, seperti menggerakkan demonstrasi tandingan dan menghantam para demonstran, sudah merupakan gaya kuno yang justru akan memperburuk posisi pemerintah. Suka atau tidak suka, rezim diktatorial harus menerima kenyataan: demokratisasi itu akan tiba. Menghantam demonstran, menangkap lawan politik, menutup media sosial, dan membungkam pers adalah teknik yang sudah harus dikubur selama-lamanya. Perlawanan akan selalu lahir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo