Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Membubarkan Organisasi Anarkis

21 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semestinya tak perlu terlibat perang kata-kata dalam soal penindakan organisasi kemasyarakatan yang mengganggu ketenteraman umum. Sesungguhnya yang lebih diperlukan adalah sikap tegas. Dengan wewenang besar sebagai kepala pemerintahan, Presiden Yudhoyono dapat melakukan tindakan yang efeknya jauh lebih kuat daripada seribu kata.

Sudah tepat perintah Presiden saat berpidato di Kupang, Nusa Tenggara Timur, dua pekan lalu. "Kepada penegak hukum, agar dicarikan jalan yang sah untuk dilakukan pembubaran dan pelarangan organisasi massa yang melakukan anarki." Maksud Presiden tentu Front Pembela Islam, yang melakukan kekerasan di pelbagai tempat. Terakhir, mereka menyerang 20-an warga Ahmadiyah di Pandeglang, Banten, yang mengakibatkan tiga ahmadi tewas dan lima pengikut lainnya luka parah.

Seharusnya para bawahan Presiden bertindak cergas dan seirama menyusul perintah penting itu-bukannya saling melempar bola panas. Kerugian fisik dan trauma emosional masyarakat yang disebabkan oleh tindakan anarkistis FPI sudah cukup parah. Belum lagi dampak buruk terhadap kerukunan antarumat beragama yang telah terbina selama ini.

Jalan legal yang diminta Presiden untuk melakukan pembubaran atau pelarangan itu terbentang luas. Yang paling kuat tertera dalam Undang-Undang Nomor 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18/1986. Dalam pasal 13 undang-undang itu dinyatakan pemerintah dapat membekukan pengurus organisasi kemasyarakatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Apabila organisasi itu masih menjalankan kegiatannya, pemerintah dapat membubarkannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 18/1986 menjabarkan apa yang dimaksud dengan mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Di antaranya menyebarluaskan permusuhan antarsuku, agama, ras, dan golongan, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, serta merongrong kewibawaan dan/atau mendiskreditkan pemerintah. Pembekuan dilakukan setelah melalui proses teguran secara tertulis.

Hanya, patut diingat bahwa undang-undang dan peraturan pemerintah itu dibuat di masa Orde Baru, yang otoriter. Nuansa represif jelas terkandung kuat di dalamnya. Menilik konteks itu, majalah ini menoleransi wewenang pemerintah menindak organisasi yang kerap dipergunakan untuk melakukan tindak pidana hanya sampai taraf pembekuan pengurusnya.

Sebaiknya pembubaran organisasi bermasalah dilakukan lewat pengadilan. Pengadilan bisa menjadi arena yang adil karena pemimpin organisasi yang didakwa dapat melakukan pembelaan diri. Sebaliknya, serangkaian tindakan buruk organisasi dibuka lebar di meja hijau agar diketahui masyarakat luas. Dengan demikian, setelah putusan keluar, tak akan ada masalah di belakang hari.

Menteri Dalam Negeri harus mengajukan permintaan pembubaran itu kepada pengadilan. Permintaan itu tentu harus dilengkapi bukti-bukti pendukung yang kuat. Polisi dapat membantu dengan menyusun daftar tindak kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan itu secara teliti dan cermat agar tak dimentahkan atau bahkan ditolak majelis hakim.

Sebagaimana tidak ada penjahat yang mengakui kejahatannya, tentu tidak ada organisasi bermasalah yang terang-terangan menulis programnya adalah melakukan kekerasan kepada pihak lain dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Polisi dan aparat pemerintah lain dituntut mampu menunjukkan kejahatan itu di muka hakim. Di alam demokrasi, upaya hukum ini merupakan langkah yang sah. Tidak boleh ada pihak yang menggunakan kebebasan yang dijamin oleh demokrasi untuk menelikung kebebasan pihak lain.

Pemerintah seharusnya mengambil pelajaran pula dari kasus ini untuk mengawasi kegiatan organisasi kemasyarakatan secara lebih ketat di masa depan. Pembinaan mesti dilakukan terhadap mereka secara berkelanjutan, bahwa penyaluran aspirasi wajib dilakukan secara damai, bukan dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Pihak yang melanggar rambu-rambu itu harus segera dihukum tanpa pandang bulu. Kebiasaan main hakim sendiri dan pengerahan massa dengan maksud mengancam pihak lain mesti mendapat sanksi tegas. Sudah sewajarnya pula bila orang yang terbukti melakukan kekerasan mendapat hukuman pidana.

Dengan hukum yang tegas, pengurus dan anggota organisasi bermasalah itu diharapkan akan jera melakukan tindak kekerasan. Mereka akan tahu bahwa mengganggu kerukunan antarumat beragama dan merusak harmoni di masyarakat itu melanggar Pancasila dan konstitusi dengan ancaman hukuman yang berat.

Bila pemerintah tak kunjung bersikap tegas, benarlah kata banyak orang bahwa penguasa negeri ini, selain tak punya jiwa kepemimpinan yang kuat, turut punya andil membiarkan perpecahan bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus