SEHARI setelah pesawat-pesawat terbang AS mengebom Baghdad, harga saham di Wallstreet melonjak 114 keesokan harinya naik lagi dengan 23 poin. Harga minyak merosot dengan US$ 10 pada hari pertama perang pecah, dan turun lagi US$ 2 per barel pada hari berikutnya. Kini harga minyak sudah di bawah US$ 20 per barel. Ternyata, harga minyak tidak melonjak menjadi US$ 60 atau US$ 100 seperti yang diperkirakan para pakar. Nilai dolar merosot, yang menandakan bahwa orang tak perlu lagi mengamankan uangnya dengan memborong dolar karena takut terjadi perang. Perang belum selesai, tapi pasar uang internasional sudah bertepuk tangan merayakan kemenangan. Barangkali ini tepuk tangan yang terlalu pagi, tapi yang jelas, yang ditakutkan selama ini ternyata tak terjadi. Ternyata, perang AS-Irak merupakan tontonan yang tak menarik, seperti menonton pertandingan kejuaraan tinju yang tak berimbang, yang hanya berlangsung satu ronde. Bergairahnya kembali pasar uang di seluruh dunia merupakan pertanda baik. Para investor ternyata tidak begitu terpengaruh dengan apa yang terjadi di Teluk. Dapat dipastikan bahwa mereka akan segera mempersiapkan kiat-kiat berikutnya. Ini akan mengubah gambaran tentang ekonomi beberapa bulan mendatang ini. Resesi ekonomi yang dikhawatirkan itu barangkali akan pulih lebih cepat dari yang diperkirakan selama ini. Kecuali kalau Irak membuat kejutan, dan perang terus berlarut. Ekonomi AS masih mengalami kontraksi, satu proses yang memang sudah berlangsung sebelum Saddam Hussein menggebrak Kuwait. Dan kontraksi ini nampaknya masih berlangsung dalam kuartal satu ini. Beberapa sektor ekonomi yang penting telah terpukul. Sektor perumahan, yang mengalami boom pada 1980-an sekarang macet. Jumlah rumah yang dibangun tahun lalu merosot 7%, untuk pertama kalinya terjadi dalam 10 tahun. Ini yang menyebabkan permintaan kayu lapis dari Indonesia turun 15%. Di industri mobil, General Motor, Ford, dan Chrysler dipaksa menciutkan produksinya, menutup beberapa pabriknya, dan merumahkan ribuan karyawannya. Ini juga menyebabkan impor beberapa komoditi bahan mentah turun. Jatuhnya industri real estate menyebabkan puluhan bank di AS bangkrut. Aliran modal dari Jepang, yang cukup berperan bagi ekonomi AS, mulai berhenti sejak pertengahan tahun lalu ketika harga saham di Bursa Tokyo anjlok. Ekonomi AS dibikin parah lagi ketika harga minyak melonjak 50% ketika Irak menyerbu Kuwait. Anehnya, sekalipun resesi sudah jelas terjadi, Bank Sentral AS (Federal Reserve) masih repot dengan urusan mengendalikan inflasi. Di mata bank sentral AS, inflasi masih merupakan ancaman yang lebih berbahaya, dan bukan resesi. Gubernur Bank Sentral Alan Greenspan mengakui adanya pergerakan turun (down turn) pada ekonomi AS. Sampai saat ini dia tak pernah menggunakan istilah resesi. Lalu apa yang disebut resesi? Untuk beberapa lama, para ekonom dan politikus di AS berdebat cukup seru untuk memberi definisi apa itu resesi. Bagi para politikus, resesi terjadi bila puluhan pabrik sudah ditutup, ribuan karyawan diberhentikan, pengangguran meningkat, penghasilan masyarakat turun, dan puluhan industri harus tutup karena tak ada daya beli. Dan ini sudah terjadi. Kenapa bank sentral tidak buru-buru menurunkan suku bunga? Setelah keadaan benar-benar parah, barulah bank sentral bertindak. Dalam waktu satu bulan, tingkat suku bunga primer (suku bunga pinjaman kepada perbankan) diturunkan sampai dua kali menjadi 6,5%. Lebih dari itu, bank sentral menurunkan rasio modal, artinya, bank-bank sekarang boleh meminjamkan lebih banyak dari setiap uang nasabah yang diterimanya. Kelonggaran likuiditas yang diberikan bank sentral inl merupakan awal dari usaha memerangi resesi. Ini akan menolong sekali, karena dalam tekanan resesi, pertolongan pertama yang bisa menyelamatkan adalah dibukanya keran moneter. Peluang ekonomi AS (dan dengan demikian ekonomi dunia) untuk lepas dari resesi dengan lebih cepat sudah terbuka. Tentu saja ini tak berarti bahwa eknomi AS, ekonomi terbesar di dunia itu, sudah pulih sepenuhnya dari penyakit yang diidapnya selama ini. Defisit anggaran belanjanya akan membengkak, terutama karena biaya operasi militernya di Teluk Persia, dan dana yang harus dikeluarkan untuk menyelamatkan bank-bank yang bangkrut. Banyak yang memproyeksikan bahwa defisit anggaran belanja pemerintah AS akan mencapai rekor US$ 300 milyar, tahun ini. Ini akan merupakan ancaman bagi stabilitas pasar uang internasional. Karena kalau pemerintah AS harus menutup defisit sebesar itu dengan mencari utang, suku bunga di pasaran internasional akan naik. Banjirnya obligasi pemerintah AS ke pasar uang (crowding out) akan menyedot dana yang tadinya bisa dimanfaatkan oleh sektor swasta dan yang juga diperlukan Dunia Ketiga. Ekonomi AS telah tumbuh dengan perkasa selama masa Presiden Reagan. Tapi pertumbuhan ekonomi yang cepat ini pada akhirnya menyeret ekonomi AS ke lingkaran fiskal yang ruwet. Terlepas dari lingkaran setan fiskal ini, nampaknya sebuah skenario sudah kelihatan, begitu drama Irak selesai dan Saddam Hussein turun dari panggung. Pertama, harga minyak akan wajar, dan ini tak akan merupakan beban. Tekanan inflasi akan berkurang, dan uang yang tadinya harus dibelanjakan minyak akan bisa digunakan untuk investasi lain. Kedua, suku bunga rendah, dan ini akan menumbuhkan psikologi investor yang positif. Ketiga, ini bukan klise, tapi keunggulan teknologi AS akan menguntungkan bisnisnya, karena dari sini akan tercipta produk baru dan pasar baru, teknik produksi yang hemat, dan pada akhirnya keunggulan kompetitif. Perang Teluk memberi kesempatan ekonomi AS untuk istirahat. Sebuah ekonomi yang tumbuh terus-menerus selama 10 tahun perlu istirahat, dan ambil napas. Kapan dia akan bergerak lagi, tergantung apakah perang dengan Saddam Hussein akan merupakan pertandingan satu ronde atau dua belas ronde.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini