Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Napak tilas jalur sutera

Atas prakarsa unesco, sekitar 60 ilmuwan melakukan napak tilas seperti dilakukan marcopolo, pada abad ke-13. ekspedisi maritim dimulai venesia hingga osaka jepang. berlangsung 13 okt '90 sampai 3 maret'91.

26 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN paling legendaris -- melintasi gurun pasir, mendaki gunung, dan menyeberangi samudra -- pernah dilakukan Marco Polo pada akhir abad ke-13. Dari negerinya, pengembara Italia ini melintasi Turki, Irak, Iran, Pakistan. terus ke timur -- melewati Himalaya, dan Gurun Gobi -- menuju Guanzhou, di pesisir Cina. Sebuah perjalanan yang panjang, juga mencekam. Setelah tinggal di Cina beberapa tahun, Marco Polo pulang ke negerinya. Namun, lantaran terjadi pergolakan politik yang gawat di daratan Cina, ia harus pulang lewat jalur laut. Ia melintasi Laut Cina Selatan, Selat Malaka, singgah sebentar di Samudra Pasai, Aceh, lantas kembali melayari Samudra India, dan mendarat di Ujung Teluk Persia. Perjalanan pulang dilanjutkan lewat darat. Lintas perjalanan Marco Polo itu sering disebut jalur sutra. Melalui jalur itulah sutra dari Cina sampai ke mana-mana, ke negeri-negeri Arab, bahkan sampai Eropa. Kini, sekitar 60 ilmuwan dari pelbagai disiplin ilmu tengah melakukan "napak tilas" jalur sutra itu, lewat laut, dari Venesia hingga ke Osaka, Jepang -- mulai 13 Oktober 1990 sampai 3 Maret 1991. Napak tilas jalur sutra ini dibikin atas prakarsa Unesco. Program ini dinamai Integral Study of The Silk Roads: Roads of Dialogue. Proyek itu menjadi bagian dari program yang lebih besar: dasawarsa pengembangan kebudayaan sedunia (World Decade for Cultural Development) -- program yang digarap Unesco untuk 1988-1997. "Ini ekspedisi maritim pertama oleh Unesco," kata A.B. Lapian, sejarawan LIPI, yang ikut dalam program itu. Ekspedisi kebudayaan ini ditempuh dengan kapal pesiar mewah Fulk Al Salamah, pinjaman dari Sultan Oman. Jalur yang ditempuh tak persis sama dengan rute Marco Polo -- yang tak pernah menyinggahi Surabaya atau Osaka. Fulk Al Salamah, sebelum tiba di Osaka, sempat mengunjungi 14 negara, termasuk Indonesia. Selama sepekan, 7-14 Januari lalu, kapal berbobot 11 ribu ton ini berlabuh di Tanjungperak, Surabaya. Seperti pada persinggahan sebelum dan sesudahnya, selama di Surabaya, rombongan disuguhi acara seminar sejarah dan kebudayaan. Beberapa ahli, dari dalam dan luar negeri, berbicara -- mencoba merekonstruksikan sejarah di kawasan Asia Tenggara semasa generasi Marco Polo, termasuk soal bisnis sutranya. "Ketika itu, kerajaan-kerajaan di Indonesia termasuk konsumen sutra Cina," kata A.B. Lapian. Gerbang masuk sutra eks Cina ke Indonesia, boleh jadi, salah satunya adalah pelabuhan Tuban, Jawa Timur. "Tuban adalah pelabuhan besar semasa abad ke 13-15," ujar Sri Soejatmi Satari, Direktur Museum Departemen P dan K, pada seminar di Surabaya itu. Berada di muara Bengawan Solo, yang lebarnya sampai 200 meter di musim hujan waktu itu, Tuban memiliki pelabuhan yang baik. Pada masa itu, banyak pedagang asing dari Sri Langka, Kamboja, Cina, atau Sriwijaya datang ke Tuban. Ada komoditi lokal yang ditawarkan Tuban: kapuk, kain tenun dari kapas, garam, dan bligo -- sejenis semangka, tapi untuk sayur. Tuban juga menghasilkan lada, tapi kualitasnya nomor dua, kalah dengan lada dari Jawa Barat. Pamornya baru memudar pada abad ke-15, gara-gara Gresik yang ada di sebelah timurnya tumbuh menjadi bandar yang ramai. Jauh sebelum Tuban berkembang, di Sumatera telah berdiri Kerajaan Sriwijaya, yang sanggup bertahan tujuh abad, abad ke 7-14. Semasa jayanya, menurut A.B. Lapian, yang berbicara di seminar Surabaya itu, Sriwijaya mengontrol perniagaan di bandar-bandar di Asia Tenggara, terutama Sumatera, Semenanjung Malaka, dan Muangthai. Kontrol itu melahirkan monopoli perdagangan. Arus barang diatur lewat tiga jenjang -- dari pengumpul tersier, sekunder, dan primer. Perdagangan di tingkat pelabuhan primer langsung dikendalikan Sriwijaya. Mitra dagangnya --Cina, Arab, atau India -- membeli barang itu dari pelabuhan primer. Namun, menurut Lapian, Sriwijaya membatasi diri tidak mencampuri urusan politik dan kebudayaan negeri-negeri yang dikontrolnya. Dominasi Sriwijaya di kawasan Selat Malaka itu diakui oleh sejarawan Jepang Shigeru Ikuta, yang mempelajari dokumen-dokumen Cina. Penguasaan monopoli perdagangan Sriwijaya itu, "Dilakukan di bawah ancaman militer," kata Ikuta. Kapal-kapal Cina, menurut Ikuta, mulai mengunjungi ibukota Sriwijaya, Palembang, abad ke-8, untuk melakukan kontak dengan saudagar Arab, Persia, atau India. Tak ada kontak dagang tanpa melalui "jasa" Sriwijaya. Palembang juga dikenal sebagai pusat pengembangan agama Budha. Pengembara Cina, I-tsing, yang mendatangi Sriwijaya pada akhir 680-an, mencatat bahwa ribuan biksu muda telah ditempa di Sriwijaya. Para biksu itu kemudian dikirim ke pelosok-pelosok negeri untuk menyebarkan agama Budha. Sebagai negara super-kuasa di Asia Tenggara, Sriwijaya tidak lepas dari ancaman musuh. Rajendracola Dewa I, dari Kerajaan Cola India, pernah mengirim pasukan untuk menaklukkan Sriwijaya. Tapi laskar seberang itu tak berhasil. Sebelumnya, Kerajaan Hindu Mataram, di Jawa Tengah, juga pernah menyerbu, tapi juga dapat dipatahkan. Namun, sesudah serbuan itu, Sriwijaya mulai surut. Pudarnya Sriwijaya itu memungkinkan munculnya kerajaan kuat di pesisir utara Aceh: Samudra Pasai. Mundurnya pengaruh itu agaknya membuat orang tidak banyak lagi menyebut Sriwijaya. Bahkan, ketika Marco Polo melewati Selat Malaka, ia tak menuliskan adanya Kerajaan Sriwijaya, melainkan Melayu. Marco Polo kemudian singgah sebentar di Samudra Pasai, 1292. Di situ dia menulis: Samudra Pasai telah memeluk Islam. Dia tak menyebut-nyebut soal sutra. Putut Trihusodo dan Dwi Setyo Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus