Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
PADA 28 Oktober 1978, Presiden Soeharto memberi seruan bahwa bahasa Indonesia berperan sebagai bahasa persatuan, menghindarkan kita dari pertikaian bahasa dan politik. Anggapan itu memunculkan kebijakan khas rezim Orde Baru, berdalih atas stabilitas politik dan pembangunan. Soeharto menginginkan agar ada pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, mengandung kehendak penguasa: menempatkan bahasa Indonesia untuk legitimasi kekuasaan.
Amanat Soeharto tampil menjadi tema dalam Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta—bertema "Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia". Semangat panitia dan peserta kongres pada masa Orde Baru itu berbeda dengan efek kesejarahan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo (1938) dan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Bahasa Indonesia pada masa Orde Baru adalah modal bagi penguasa mencipta karisma dan pesona. Penguasa bertabiat sebagai "tuan bahasa", digunakan untuk memberi perintah dan membentuk kepatuhan. Agenda memperalat bahasa Indonesia demi pembangunan mengartikan keingkaran atas kesejarahan bahasa Indonesia.
Pada 17 Agustus 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan kebijakan tentang ejaan. Nalar kekuasaan berlanjut ke perintah penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahasa Indonesia mulai kehilangan jiwa, mengalami "pembangkrutan" makna dan penggerusan nasib oleh penguasa. Konsekuensi dari perlakuan penguasa adalah kemiskinan imajinasi. Bahasa Indonesia sulit digunakan untuk mengekspresikan gugatan, perlawanan, kritik, dan protes akibat represi politik. Penguasa mengajak publik agar menerima pengertian "pembangunan", "ketertiban", dan "stabilitas" secara patuh, tak ada pengertian berbeda. Publik juga ditakuti dengan stigmatisasi kata dari penguasa: subversif, buruh, laten, komunis, dan revolusi.
Para pengarang juga dikondisikan menanggung reduksi bahasa dan imajinasi saat penguasa sering melakukan sensor, koreksi, dan pelarangan. Kebebasan imajinasi tak terwujud, terbatasi oleh aturan-aturan bahasa Indonesia bernalar birokratis. Pemerintah Soeharto berhasil mengerdilkan, memberangus, dan memanipulasi imajinasi selama puluhan tahun: mengakibatkan bebalisme di Indonesia. Kita bisa mengingat novel Aku Bukan Komunis garapan Yudhistira A.N.M. Massardi. Novel ini pernah menang dalam Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1977. Judul novel berubah menjadi Mencoba Tidak Menyerah saat diterbitkan oleh Gramedia pada 1979. Pada sampul belakang buku tercantum keterangan pendek: "…menceritakan sebuah keluarga yang menjadi korban suasana akibat meletusnya peristiwa traumatik GESTAPU/PKI 1965". Kita masih mendapati persoalan dalam menggunakan kata-kata dalam judul novel, dipengaruhi situasi bahasa pada masa Orde Baru. Kita tentu memiliki imajinasi dan pemaknaan berbeda dari perubahan judul novel.
Pada Kongres Bahasa Indonesia III untuk mencari referensi bandingan atas hajatan negara dalam pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia X di Jakarta, 29-31 Oktober 2013, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia selaku pelaksana hajatan mengajukan tema besar: "Penguatan Bahasa Indonesia di Dunia Internasional". Kongres bakal diikuti oleh seribu peserta. Hajatan itu terdengar fantastis meski diragukan efeknya terhadap publik. Bahasa Indonesia selama puluhan tahun telanjur jadi urusan tertutup dengan dominasi birokrasi dan akademik. Situasi itu mengakibatkan bahasa Indonesia seolah-olah ada di langit, tak terjangkau dan jauh dari keterlibatan publik.
Kita berhak ragu dan khawatir Kongres Bahasa Indonesia X adalah hajatan milik kaum birokrat dan akademik. Mereka membahas pelbagai hal, menggunakan etos birokrasi dan kompetensi keilmuan elitis, hingga akhirnya bahasa Indonesia milik pemerintah dan disajikan secara ironis melalui buku pelajaran. Bahasa Indonesia juga milik kaum akademik di kampus, diurusi dalam pengajaran dan penelitian. Bahasa Indonesia belum menjadi milik publik, tema keseharian di Indonesia. Akibat dari elitisme mengurusi bahasa Indonesia adalah manipulasi dan ilusi dalam pidato pejabat, iklan politik, dan laporan pemerintah. Efek sambungan merasuk pada pendidikan, sastra, dan pers.
Para pejabat sering lupa bahwa hajatan Kongres Bahasa Indonesia I (1938) menghendaki persepsi populis. Para pengarang, wartawan, dan guru berkumpul untuk menentukan peran bahasa dalam semaian nasionalisme dan "mengimajinasikan" pembentukan Indonesia. Mereka mengurusi bahasa Indonesia, bermisi identitas-kultural, politik, jurnalistik, dan pendidikan. Bahasa Indonesia hendak ditumbuhkan dengan berjiwa dan bergelora, melawan dominasi kolonial dan menanggapi hasrat zaman "kemadjoean".
Semangat itu berlanjut ke Kongres Bahasa Indonesia II di Medan (1954). Embusan api revolusi turut menguatkan kehendak menggerakkan Indonesia, berpijak ke sejarah dan pengakuan dalam konstitusi. Kalangan birokrat memang mulai mengurusi bahasa Indonesia berdalih untuk kepentingan bangsa dan negara. Bahasa Indonesia terus mengalami revolusi, bertumbuh oleh kerja para pengarang, guru, dan wartawan. Publik masih mendapat hak keterlibatan untuk mengolah dan memaknai bahasa Indonesia, berhasrat mengekspresikan keindonesiaan secara beradab.
Adinegoro (1954) mengingatkan bahwa misi Kongres Bahasa Indonesia I adalah manifestasi bahasa persatuan. Kongres Bahasa Indonesia II bermisi ingin membuktikan derajat bahasa Indonesia, berlatar zaman revolusi dan pembentukan kepribadian Indonesia. Adinegoro menjelaskan, misi-misi itu mengacu pada peran diri selama menjadi pembicara dalam dua kongres. Ingatan dua kongres di masa lalu pantas jadi rujukan menanggapi Kongres Bahasa Indonesia X. Kita ragu bisa mendapat berkah dari hajatan fantastis di Jakarta. Kongres Bahasa Indonesia X cuma peristiwa milik mereka: kalangan pejabat dan akademik.
*) Pengelola Jagat Abjad Solo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo