Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMANASNYA suhu politik Indonesia pada 2014 bukanlah hal yang patut ditakuti. Sejarah "bicara", biarpun ada sedikit gonjang-ganjing politik di negeri ini, pertumbuhan ekonomi tetap melaju. Rezim pemerintahan boleh saja berganti, tapi perekonomian di negeri ini diperkirakan tumbuh enam persen.
Sungguh angka pertumbuhan yang istimewa di tengah ekonomi global masih dihantui krisis. Amerika Serikat masih tertimbun utang US$ 16,7 triliun. Kongres Amerika masih terbelah, sehingga pembahasan anggaran beberapa kali terancam buntu. Di zona Eropa, angka pengangguran mencapai rekor di atas 12 persen.
Perekonomian nasional justru lumayan kinclong sepanjang tahun ini. Ketika banyak negara lain mengalami malaise, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,8 sampai 6 persen. Di Asia, pertumbuhan ekonomi kita di atas India dan hanya kalah dibanding Cina. Tingginya permintaan pasar domestik menjadi lokomotif penarik gerbong ekonomi.
Meski pemilihan umum digelar tahun depan, masih ada harapan ekonomi akan jauh lebih baik ketimbang 2013. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar enam persen. Pertumbuhan setinggi itu dituangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 yang diketuk Jumat pekan lalu. Angka itu tak jauh dari perkiraan Bank Pembangunan Asia, sebesar enam persen, atau Bank Indonesia, 5,8 sampai 6,2 persen.
Negeri ini sudah "kenyang" dengan segala hiruk-pikuk politik. Lihat saja pada 2009, ketika hajatan pemilu dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi kala itu mencapai 4,5 persen, tertinggi ketiga, setelah Cina dan India. Indeks harga saham gabungan Bursa Efek Indonesia juga mencatat rekor tertinggi pada 6 Oktober 2009, ketika ditutup di level 2.528. Padahal saat itu Indonesia ikut kena dampak badai krisis paket kredit pemilikan rumah atau subprime mortgage di Amerika.
Meski ekonomi tahun depan penuh warna optimistis, pemerintah harus melihat sejumlah catatan. Angka defisit neraca berjalan diperkirakan terus membengkak. Otoritas moneter dan fiskal bisa pusing tujuh keliling. Bank Indonesia sudah memberikan obat: menaikkan suku bunga hingga level 7,25 persen. Tapi obat ini tidak bebas dari efek samping. Jika tak hati-hati, kenaikan suku bunga yang diharapkan menekan volume impor bisa menjadi bumerang. Pertumbuhan ekonomi bisa melambat karena impor barang-barang modal juga tertekan.
Sejumlah persoalan klise masih menjadi bahaya laten. Buruknya infrastruktur, ekonomi biaya tinggi, dan daya saing yang rendah harus segera diatasi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya memaksimalkan perannya di sisa masa jabatannya. Banyak janjinya yang belum terwujud, di antaranya mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan membangun infrastruktur. Tahun ini, Presiden cuma menganggarkan sekitar 4,8 persen dari APBN atau Rp 83,7 triliun. Nyatanya, sampai September, yang terealisasi cuma 39 persen. Infrastruktur yang buruk merupakan halangan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga harus memikirkan tingginya ketergantungan terhadap ekspor komoditas mentah. Indonesia harus mulai melirik ekspor produk-produk teknologi. Tak perlu bermimpi bisa sukses swasembada segala produk. Mending pemerintah berfokus pada pengembangan beberapa industri potensial. Dengan cara itu, lapangan kerja semakin banyak tersedia. Ekonomi pun akan semakin yahud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo