Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Problem Bertumpuk Food Estate Sumatera Utara

Proyek food estate di Sumatera Utara gagal dan menyimpan banyak persoalan. Badan Otorita kian menambah masalah.

17 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dalam pelaksanaannya, proyek food estate di Sumatera Utara mengandung risiko maladministrasi.

  • Wilayah proyek food estate beririsan dengan wilayah masyarakat adat.

  • Badan otorita tersebut tak lebih sebagai agen atau penyedia jasa sewa-menyewa tanah.

LIPUTAN Tempo tentang lumbung pangan atau food estate Sumatera Utara makin mengukuhkan analisis kacaunya kebijakan ini. Sejak diresmikan pada 2020, proyek food estate di Sumatera Utara bisa dikatakan gagal. Megaproyek ini telah memunculkan masalah sejak lahir sehingga pelaksanaannya pun membuat problem kian bertumpuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek food estate diresmikan Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2020. Megaproyek ini muncul seperti membonceng isu Covid-19 dan "memanfaatkan" kepanikan akibat prediksi krisis pangan. Padahal kawasan pengembangan pangan skala luas memiliki rekam jejak kegagalan pada era pemerintahan sebelumnya.

Dalam pelaksanaannya, proyek food estate di Sumatera Utara mengandung risiko maladministrasi. Sejumlah regulasi yang melegitimasi proyek baru dibuat, padahal proyek di lapangan sudah berjalan. Pada 25 November 2020 terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 448 tentang Perubahan Fungsi Dalam dan Antar-Fungsi Pokok Kawasan Hutan. Surat keputusan ini merupakan acuan bagi penyediaan lahan untuk lokasi food estate di Sumatera Utara dengan luas total 33.492 hektare.

Meski regulasi penyediaan lahan baru terbit pada 25 November 2020, rupanya food estate sudah berjalan. Di Desa Ria-Ria, pembukaan lahan sudah dilakukan sejak Agustus 2020. Kawasan yang dikembangkan saat ini pun masih berada di area penggunaan lain (APL) dan belum berpedoman pada SK menteri tadi. Namun penyediaan lahan dalam SK ini juga bermasalah. Tak ada penerapan prinsip Padiatapa, atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan, yang adil. Dalam peta SK tersebut terdapat permukiman warga, persawahan, dan hutan kemenyan yang merupakan ruang hidup masyarakat adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sisi APL, area food estate ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Luas wilayah APL di Kabupaten Humbang Hasundutan rencananya mencapai 1.000 hektare. Kenyataannya, hanya 215 hektare luasan proyek food estate yang berjalan. Dari luas itu pun, sekitar 30 persennya dikelola pribadi atau bekerja sama dengan perusahaan. Sisanya telantar karena sudah tidak dikelola oleh pemiliknya dengan berbagai alasan.

Bukan hanya luasan proyek, cara tanam pun tidak berjalan maksimal. Di Pakpak Bharat, misalnya, wilayah APL yang digunakan proyek food estate seluas sekitar 50 hektare merupakan hutan kemenyan milik masyarakat yang dialihfungsikan menjadi kebun jagung. Namun teknik penanamannya tidak seperti yang biasa dilakukan masyarakat petani di sana, sehingga hasilnya tidak maksimal.

Hal yang sama terjadi di Desa Ria-Ria. Pengolahan tanah untuk media tanam dikebut karena mengejar target penanaman musim pertama pada Desember 2000. Akibatnya hasil penanaman itu tak maksimal karena kesiapan dan kesuburan tanah yang diolah tidak benar-benar baik.

Persoalan lainnya adalah konflik dengan masyarakat adat. Wilayah proyek food estate beririsan dengan wilayah masyarakat adat. Baru-baru ini, masyarakat adat Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, berunjuk rasa ke kantor kepolisian resor dan kantor Bupati Humbang Hasundutan terkait dengan konflik tanah adat mereka. Permintaan mereka adalah food estate tidak dilanjutkan jika konflik wilayah adat mereka tak diselesaikan.

Bukan hanya masyarakat adat, petani pun tidak punya kedaulatan atas pengelolaan tanahnya sendiri. Di Desa Ria-Ria, area seluas 215 hektare yang digunakan berada di lahan milik 174 warga dan sudah besertifikat hak milik. Ironisnya, pemilik lahan harus menuruti instruksi pengelola proyek food estate.

Pengolahan lahan, jenis tanaman, sumber bibit, pupuk, hingga penyaluran hasil panen ditentukan pemerintah. Tak hanya itu, koperasi usaha bersama (KUB) sebagai pihak penampung membeli hasil panen petani sering lebih rendah daripada harga di pasar.

Pengelolaan hasil panen pun tidak transparan sehingga petani yang tergabung dalam food estate mengalami kerugian besar, di mana sebagian hasil penjualan panen mereka yang ditahan oleh KUB tidak ada kejelasan. Petani akhirnya kehabisan modal dan akhirnya meminjam ke bank untuk digunakan sebagai modal berikutnya.

Food estate jelas sangat tidak berpihak kepada petani. Pola kerja sama hasil food estate selalu menempatkan petani sebagai pihak yang dirugikan. Bahkan sekitar 30 petani food estate di Ria-Ria terbelit utang dengan mengagunkan sertifikat tanahnya yang dijadikan modal pertanian untuk food estate.

Proyek food estate di Sumatera Utara juga menimbulkan deforestasi. Beberapa di antaranya beririsan dengan wilayah konservasi atau suaka. Bayangkan jika lahan food estate beririsan dengan habitat harimau atau orang utan yang berada di wilayah konservasi.

Di Humbang Hasundutan, pohon-pohon di hutan, terutama pohon-pohon kemenyan, banyak ditebang. Hal yang sama juga terjadi di Pakpak Bharat. Bahkan kayu-kayu yang ditebang dijadikan lahan bisnis bagi pihak tertentu. Hutan yang menjadi ruang hidup masyarakat, sumber air, dan pelindung bagi biodiversitas dirusak atas nama food estate.

Dengan beragam problem yang ada dan tak segera dibenahi, pemerintah menambah masalah baru dengan munculnya Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara. Jokowi meneken peraturan presiden mengenai badan ini dua hari sebelum purnatugas pada 18 Oktober 2024.

Jika membaca isi Perpres 131 Tahun 2024 itu, badan otorita tersebut tak lebih sebagai agen atau penyedia jasa sewa-menyewa tanah. Badan Otorita menyediakan jasa kepada kelompok tani dan kelompok ternak. Atas jasa yang diberikan, si penerima jasa, dalam hal ini petani, pekebun, dan peternak, harus membayar semacam retribusi.

Keberadaan badan otorita ini mengurangi kadar otonomi daerah. Otorita daerah tidak punya kewenangan lagi di wilayah otoritatif yang dikelola Badan Otorita. Jadi, pembentukan badan otorita ini sebenarnya merupakan cerminan cara pandang pemerintah yang selalu monolitik dan otoriter.

Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara jelas akan menjadi beban bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Badan ini memerlukan anggaran operasional. Pola kerjanya juga tidak membuat proyek food estate berjalan dengan baik. Untuk itu, perpres mengenai Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara semestinya dicabut.

Idealnya pemerintah pusat menyerahkan urusan penyediaan pangan ke pemerintah daerah dengan insentif anggaran. Kepala daerah mempunyai otoritas dan kebebasan memastikan ketersediaan pangan. Otonomi daerah pun tetap terjaga dan tidak sentralistik.

Dengan munculnya setumpuk problem itu, proyek food estate harus dihentikan. Kebijakan pembangunan pangan harus memiliki semangat perlindungan dan pemberdayaan petani daerah. Pemerintah dapat menggelontorkan anggaran untuk pemberdayaan dan perlindungan petani melalui pembangunan infrastruktur pendukung ketahanan pangan. Tanpa perlu ada embel-embel food estate.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Delima Silalahi

Delima Silalahi

Sekretaris Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus