Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Shanghai

Keadaan kota shanghai sebagai gambaran kekuasaan komunis di cina. shanghai yang tadinya cantik berubah kumuh. mao yang mengawali menghantam partai komunis dengan revolusi kebudayaannya.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Shanghai
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KATAKANLAH namanya Liu. Ia memakai setelan lengkap, ia berbahasa Inggris dengan baik. Di atas perahu motor yang menyusuri Sungai Huang-p'u, ia berbisik, "Saya rasa komunisme sudah mati di sini." Katakanlah namanya Liu, penduduk Shanghai. Umurnya 35 tahun: ia contoh "yuppie" Republik Rakyat Cina dewasa ini. Ia memang belum orang swasta. Pekerjaannya mengurusi pembangunan kembali daerah industri di P'u Tung, di seberang timur Sungai. Ia lulus sekolah bisnis di AS. Baginya, masa depan Cina jelas, meskipun dengan latar yang gelap, seperti angka-angka fosforis di kalkulator saku. "Komunisme sudah tak punya masa depan," katanya lagi. Saya pandangi Tuan Liu. Berniatkah ia menenteramkan saya, seorang tamu Indonesia, yang tak habis-habisnya disuruh waspada terhadap ancaman komunisme -seakan-akan komunisme itu sejenis makhluk sakti? Tuan Liu memandang deretan bangunan besar di sepanjang Jalan Chun Shan Tung. Katanya, "Gedung-gedung itu hampir semuanya berasal dari masa pra-Revolusi, ketika Shanghai masih jadi kota yang dikuasai bisnis Barat." Di latar kota, yang elegan memang hanya arsitektur kantor dagang peninggalan Inggris atau Prancis. Di jalan besar, trotoar tersaji lebar, dan pohon rapi berderet, seperti pagar ayu yang sopan. Jam kota di menara tinggi menegaskan kembali sebuah gaya yang tumbuh dari riwayat kekayaan dan kemahiran yang lama. Dibandingkan dengan itu semua, komunisme hanya membangun konstruksi yang wagu. Megah oleh keyakinan tapi tanpa keanggunan. Bahkan komunisme merenggutkan apa yang cantik dari kapitalisme Barat: berjalan di depan gedung-gedung kolonial yang tua itu, akan kita rasakan suasana sembap, balkon-balkon jendela yang ditutup kayu bekas, untuk menyembunyikan ruang-ruang yang dulu mentereng tapi sekarang dihuni oleh bagian dari kepadatan penduduk. Di sana-sini, gantungan cucian kumuh menjorok ke luar dan dari celah pintu tampak ranjang atau perabot yang ringsek. Tapi buat apa arsitektur yang elegan, jika itu semula hanya milik sedikit orang -apalagi orang asing? Bukankah justru gedung-gedung itu -malah seluruh Kota Shanghai -pernah jadi lambang kesewenang-wenangan Barat? Dalam novel La Condition Humaine, Andre Malraux berkisah tentang percobaan pemberontakan komunis di Shanghai, di tahun 1927. Tapi tak ada gambaran tentang kota aneka ragam ini. Seakan-akan Shanghai tak ada artinya, kecuali sebagai ruang penindasan Bagi Kyo, pejuang revolusi dalam La Condition Humaine, di balik tembok-tembok Shanghai, yang ada hanya "orang-orang roda-pintal, mereka yang kerja 16 jam sehari sejak masa kanak, orang-orang tukak-lambung, skoliosis, kelaparan". Kyo dan kawan-kawannya mengorbankan diri untuk pembebasan buruh di belakang roda-pintal itu. Komunisme pun menang, di tahun 1949. Masa depan pun terbentang -sampai tiba sebuah masa, ketika orang komunis sendiri menghabisi partai dan mengebiri pendirian mereka. Mao yang memulainya, di pertengahan 1960-an. Ia menghantam Partai Komunis yang semula dipimpinnya. Dikerahkannya anak muda, generasi yang tak puas dengan keadaan, generasi yang juga haus akan pengalaman heroisme. Mereka menamakan diri Pengawal Merah. Mereka gempur markas Partai, yang dipenuhi dengan orang yang puas diri, para birokrat yang terlampau enak sebab lama berkuasa. Mao menyebut ini "Revolusi Kebudayaan". Korbannya ratusan ribu. Tapi tak cuma itu. Ketika "Revolusi" itu dihentikan, rakyat sudah telanjur sadar bahwa Partai (nama yang oleh orang komunis selalu disebut dengan takzim) juga bisa diserang. Dan keruntuhan pun mulai. Roderick MacFarquhar, guru besar sinologi di Harvard, punya cara melukiskan bangunan kekuasaan seperti yang terdapat di Cina setelah Partai Komunis berkuasa. Bayangkan sebuah segitiga, katanya. Di pucuknya: Sang Pemimpin. Salah satu sisinya: birokrasi Partai dan Negara, pelaksana titah Sang Pemimpin. Sisi yang lain adalah ideologi Marxisme-Leninisme, yang memberi legitimasi kepada posisi Sang Pemimpin dan yang terus-menerus disesuaikan dengan ide Sang Pemimpin. Dan dasar dari segitiga itu adalah militer. Di dalam segitiga ini ada segitiga "dalam", yang terdiri dari pelbagai sistem intel dan litsus, yang memperkuat segitiga "luar" untuk menjaga agar masyarakat tak berbuat yang aneh-aneh. "Revolusi Kebudayaan" Mao menghantam salah satu sisi segitiga itu: Partai. Dan di bawah Bapa Deng, sisi yang lain kena: ideologi Marxisme-Leninisme. Modal asing pun diundang. Para petani dibiarkan jadi kapitalis. Sosialisme masih disebut, pikiran Mao masih dikutip, tapi terasa bahwa semua itu diperlukan buat mempertahankan kekuasaan, bukan keyakinan. Seperti bedil-bedil di Tienanmen. Sebuah rezim yang sebenarnya tak percaya kepada omongannya sendiri memang cuma bisa bertahan seperti orang yang bernapas dengan jantung palsu. Umurnya tak lama. Tuan Liu benar. Shanghai seakan-akan jadi bukti: komunisme ternyata hanya sebuah interupsi dalam sejarah. Siapa yang mencoba mempertahankannya, sebagai inspirasi ataupun sebagai ancaman, akan ikut bangkrut. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus