Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Siapa takut kalah ? (siapa tidak ?)

Semangat lomba cipta iklan indonesia th 1978 belum baik. beberapa biro iklan besar tidak ikut, takut kliennya mundur bila tidak menang. untuk meningkatkan kreativitas perlu tolok pengakuan prestasi.

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bondan Winarno adalab "oraug periklanan"yang banyak menulis, dengan gayanya yang khas. Di bawah ini sumbangannya untuk TEMPO, sehubungan dengan Lomba Cipta Iklan pekan lalu: SAYA mulai ikut sayembara mengarang ketika umur sa ya sepuluh tahun. Kalah. Saya ikut sayembara cerpen baru-baru ini. Kalah lagi. Saya juga ikut sayembara novel. Kalah juga, sekalipun H.B. Jassin bilang novel saya sangat kosmopolitan dan menganjurkan dengan sangat pembukuan novel ini. Bahwa saya tidak pernah protes pada dewan juri, haraplah tidak disangkutpautkan dengan faktor etnis berhubung "kejawaan" saya. Sebab saya punya cs. Prof. Dr. Soelarko. Siapa lagi kalau bukan ahli potret itu. Ia toh selalu ikut lomba foto kalau sedang tidak jadi juri. Ia tak takut kalah. Buktinya, dalam Salon Foto 1978 ia hanya mendapat medali perunggu untuk kategori hitam putih. Dia tidak protes. "Kalau saya menang terus, artinya dunia fotografi di Indonesia ini tidak maju," katanya ringan. Sayembara dan perlombaan memang kancah yang paling mengerikan bagi para profesionals. Apalagi mereka yang merasa sudah berada di lapisan teratas. Yasunari Kawabata yang memenangkan Nobel dengan karya sastranya memilih harakiri (sayangnya dengan gas!) karena mupus bahwa ia sudah tak dapat mencipta sebagus Negeri Salju-nya itu lagi. Tapi kalau orang Jepang memilih harakiri ketika ia terkalahkan, kelihatannya orang Indonesia lebih suka memilih huruhara. Kalah sepakbola, huruhara. Kalah sayembara puisi, huruhara. Kalah festival film, huru-hara. Wah, kalau begini jangan-jangan nanti GBHN akan mengatur perlunya melarang sayembara dan perlombaan demi keamanan dan ketertiban. Habis, bagaimana Kalau semua orang mau menang bukankah sayembara dan perlombaan tak perlu diadakan lagi? Maka kalau ada lima orang penyair ikut sayembara, demi terhindarnya huruhara, panitia harus membuat lima kategori juara. Satu penyair jadi juara karena suaranya paling keras waktu membaca puisinya. Satu lagi jadi juara karena ketikan naskah puisinya paling rapi. Satu juara karena bisa membaca puisi sambil main piano dan minum bir. Satu pemenang karena puisinya bertema "pembangunan tanpa perusakan". Dan akhirnya, Saudara-saudara, juara berikut ini dipilih karena puisinya sangat populer sehingga sering dinyanyikan oleh Elvy Sukaesih secara seronok. Rosihan Anwar yang rupanya belum kapok jadi juri, juga duduk dalam kursi penjurian Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978. Ngantuk, karena ia bangun di Surabaya jam 5 pagi untuk mengejar pesawat pertama ke Jakarta, ia tak segan-segan untuk mengatakan bahwa juri memang bukan super manusia. Artinya, penilaian memang tak bisa lepas dari faktor sentimentil. Ini konsisten dengan cara berpikir manusia biasa di mana orang cenderung mengambil kesimpulan dari kesan pertama. After-thought acapkali malah membingungkan proses pengambilan keputusan. Barangkali ini yang membuat orang selalu kepingin protes. Menganggap juri, yang sama-sama makan nasi, tidak kompeten. Lha, apa juri harus makan beling agar jadi spesi manusia yang patut dihargai kebenarannya dalam memberikan pengakuan terhadap suatu prestasi kreativitas? Lucunya lagi, protes terhadap keputusan juri atau wasit sering datang dari luar lapangan permainan. Baden Powell juga pernah bilang bahwa sepakbola hanya baik untuk pemainnya, tapi tidak untuk penontonnya. Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978 yang merupakan usaha perintisan di bidang ini ternyata khas sayembara a la Indonesia. Total iklan yang diperlombakan hanya 188. Itupun hanya diwakili oleh 30 peserta. Semangat berlomba belum tercermin dengan baik. Beberapa biro iklan besar masih bersikap apriori dan tak ikut serta. Antara lain karena khawatir tidak menang sehingga klien-nya akan menarik diri, atau barangkali juga karena merasa sudah senior -- sehingga tidak merasa perlu berlomba dengan mereka yang masih di bawah tolok. Seorang juri tak kurang herannya: "Rasanya banyak poster bagus di jalanan, tapi kok cuma segini yang ikut?". Juri pun, mau tak mau, hanya menilai apa yang disodorkan untuk dinilai tanpa berusaha membandingkan dengan yang tempo hari dilihat mereka di jalanan. Tentu saja para juri pun khawatir akan kemungkinan protes dari mereka yang tidak ikut serta dan kemudian datang menyatakan hasil karyanya yang jauh lebih baik dari karya pemenang. Tapi bagaimana tidak? Kalau yang hebat-hebat berada di luar lapangan permainan dan tak mau diajak masuk ke dalam garis, masakan yang sudah bertekad untuk ikut bermain harus dikorbankan? Mungkin para juri dalam pengumumannya harus menyebut dengan hati-hati 'Iklan Terbaik Indonesia 1977-1978 yang ikut diperlombakan dalam Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978' sebelum memberikan Anugerah Pariwara itu. Masya Allah ! Lantas kapan kita mau meningkatkan kreativitas kalau tolok untuk pengakuan prestasi masih dipertanyakan? Lantas kapan kita mau maju kalau lembaga sayembara masih menjadi alergi yang menggatalkan para tokoh seeded?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus