Bondan Winarno adalab "oraug periklanan"yang banyak menulis,
dengan gayanya yang khas. Di bawah ini sumbangannya untuk TEMPO,
sehubungan dengan Lomba Cipta Iklan pekan lalu:
SAYA mulai ikut sayembara mengarang ketika umur sa ya sepuluh
tahun. Kalah. Saya ikut sayembara cerpen baru-baru ini. Kalah
lagi. Saya juga ikut sayembara novel. Kalah juga, sekalipun H.B.
Jassin bilang novel saya sangat kosmopolitan dan menganjurkan
dengan sangat pembukuan novel ini. Bahwa saya tidak pernah
protes pada dewan juri, haraplah tidak disangkutpautkan dengan
faktor etnis berhubung "kejawaan" saya.
Sebab saya punya cs. Prof. Dr. Soelarko. Siapa lagi kalau bukan
ahli potret itu. Ia toh selalu ikut lomba foto kalau sedang
tidak jadi juri. Ia tak takut kalah. Buktinya, dalam Salon Foto
1978 ia hanya mendapat medali perunggu untuk kategori hitam
putih. Dia tidak protes. "Kalau saya menang terus, artinya dunia
fotografi di Indonesia ini tidak maju," katanya ringan.
Sayembara dan perlombaan memang kancah yang paling mengerikan
bagi para profesionals. Apalagi mereka yang merasa sudah berada
di lapisan teratas. Yasunari Kawabata yang memenangkan Nobel
dengan karya sastranya memilih harakiri (sayangnya dengan gas!)
karena mupus bahwa ia sudah tak dapat mencipta sebagus Negeri
Salju-nya itu lagi.
Tapi kalau orang Jepang memilih harakiri ketika ia terkalahkan,
kelihatannya orang Indonesia lebih suka memilih huruhara. Kalah
sepakbola, huruhara. Kalah sayembara puisi, huruhara. Kalah
festival film, huru-hara.
Wah, kalau begini jangan-jangan nanti GBHN akan mengatur
perlunya melarang sayembara dan perlombaan demi keamanan dan
ketertiban.
Habis, bagaimana Kalau semua orang mau menang bukankah
sayembara dan perlombaan tak perlu diadakan lagi?
Maka kalau ada lima orang penyair ikut sayembara, demi
terhindarnya huruhara, panitia harus membuat lima kategori
juara. Satu penyair jadi juara karena suaranya paling keras
waktu membaca puisinya. Satu lagi jadi juara karena ketikan
naskah puisinya paling rapi. Satu juara karena bisa membaca
puisi sambil main piano dan minum bir. Satu pemenang karena
puisinya bertema "pembangunan tanpa perusakan". Dan akhirnya,
Saudara-saudara, juara berikut ini dipilih karena puisinya
sangat populer sehingga sering dinyanyikan oleh Elvy Sukaesih
secara seronok.
Rosihan Anwar yang rupanya belum kapok jadi juri, juga duduk
dalam kursi penjurian Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978. Ngantuk,
karena ia bangun di Surabaya jam 5 pagi untuk mengejar pesawat
pertama ke Jakarta, ia tak segan-segan untuk mengatakan bahwa
juri memang bukan super manusia. Artinya, penilaian memang tak
bisa lepas dari faktor sentimentil.
Ini konsisten dengan cara berpikir manusia biasa di mana orang
cenderung mengambil kesimpulan dari kesan pertama. After-thought
acapkali malah membingungkan proses pengambilan keputusan.
Barangkali ini yang membuat orang selalu kepingin protes.
Menganggap juri, yang sama-sama makan nasi, tidak kompeten. Lha,
apa juri harus makan beling agar jadi spesi manusia yang patut
dihargai kebenarannya dalam memberikan pengakuan terhadap suatu
prestasi kreativitas?
Lucunya lagi, protes terhadap keputusan juri atau wasit sering
datang dari luar lapangan permainan. Baden Powell juga pernah
bilang bahwa sepakbola hanya baik untuk pemainnya, tapi tidak
untuk penontonnya.
Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978 yang merupakan usaha perintisan
di bidang ini ternyata khas sayembara a la Indonesia. Total
iklan yang diperlombakan hanya 188. Itupun hanya diwakili oleh
30 peserta.
Semangat berlomba belum tercermin dengan baik. Beberapa biro
iklan besar masih bersikap apriori dan tak ikut serta. Antara
lain karena khawatir tidak menang sehingga klien-nya akan
menarik diri, atau barangkali juga karena merasa sudah senior --
sehingga tidak merasa perlu berlomba dengan mereka yang masih di
bawah tolok. Seorang juri tak kurang herannya: "Rasanya banyak
poster bagus di jalanan, tapi kok cuma segini yang ikut?".
Juri pun, mau tak mau, hanya menilai apa yang disodorkan untuk
dinilai tanpa berusaha membandingkan dengan yang tempo hari
dilihat mereka di jalanan.
Tentu saja para juri pun khawatir akan kemungkinan protes dari
mereka yang tidak ikut serta dan kemudian datang menyatakan
hasil karyanya yang jauh lebih baik dari karya pemenang. Tapi
bagaimana tidak? Kalau yang hebat-hebat berada di luar lapangan
permainan dan tak mau diajak masuk ke dalam garis, masakan yang
sudah bertekad untuk ikut bermain harus dikorbankan?
Mungkin para juri dalam pengumumannya harus menyebut dengan
hati-hati 'Iklan Terbaik Indonesia 1977-1978 yang ikut
diperlombakan dalam Lomba Cipta Iklan Indonesia 1978' sebelum
memberikan Anugerah Pariwara itu. Masya Allah !
Lantas kapan kita mau meningkatkan kreativitas kalau tolok untuk
pengakuan prestasi masih dipertanyakan? Lantas kapan kita mau
maju kalau lembaga sayembara masih menjadi alergi yang
menggatalkan para tokoh seeded?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini