JENDERAL itu berdiri di sebuah beranda rumah prajurit polisi di
kompleks perumahan polri Cengkareng. Beranda itu berhimpitan
dengan dapur tetangga. Penghuninya, seorang prajurit, mengatakan
kepada sang jenderal bahwa dia sudah 22 tahun hidup dalam
keadaan semacam itu.
"Selama ini begini-begini saja?" jenderal itu ikut mengeluh,
sambil tangannya meraba-raba dinding daripada bambu yang
tampaknya sudah sejak lama rapuh. Ia mendengar bahwa kalau malam
kompleks perumahan itu suram. Disel listrik di sini mati sudah
sejak Juli lalu. "Bagaimana anak-anak harus belajar" tanya sang
jenderal.
Ia M. Jusuf. Menteri Hankam itu tengah mengadakan peninjauan
dengan serius. Dan ia menemukan banyak hal yang menyolok.
Perumahan di Cengkareng itu satu contoh . Contoh lain ada
anggota polisi lalulintas sampai tak punya alat kerja sederhana
sempritan!
Selalu ditemui Jenderal Jusuf sepanjang inspeksinya ke berbagai
asrama polri, bahwa hampir semua anggota polri di tingkat paling
bawah tarnpak dalam keadaan prihatin yang berlarut-larut. Sampai
kapan? Belum tahu. Namun kunjungan Menhankam ke tempat mereka,
disertai janji perbaikan, diharap bisa membubuhkan kembali rasa
kepercayaan bawahan kepada atasan.
Selama ini rasa kepercayaan itu dikhawatirkan makin hari makin
menipis digerogoti penderitaan. Juga karena mereka sendiri tahu
bahwa penderitaan itu tidak merata -- di atas sana.
Terakhir pengetahuan mereka bertambah dengan terbongkarnya kasus
korupsi di tingkat Markas Besar. Kemudian, mereka juga mendengar
keterangan Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib, yang menyatakan
bahwa korupsi dalam tubuh polri diketahui menyangkut nama 14
perwira tinggi. Ini berarti hampir separoh dari pati yang berada
di Mabes Polri, jika tidak semuanya terlibat, setidaknya
mengetahui ketidakberesan pengurusan uang negara.
Bagi banyak orang, juga di luar kepolisian, yang menarik
perhatian ialah bahwa untuk pertama kalinya seorang jenderal
berbintang tiga diajukan ke depan hakim, untuk dituntut.
Hari-hari ini termasuk hari bersejarah, ketika Letnan Jenderal
Siswadji, Deputy Kapolri, diadili. Bersama dia duduk pula
pejabat polri tingkat pusat: Brigjen Pol. Prajitno (bekas Kepala
Jawatan Keuangan Polri), Kolonel Pol. Suroso (Kepala Jawatan
Keuangan yang sekarang) dan Letkol Pol. Paimin Sumarna (perwira
Jawatan Keuangan).
Mereka dituduh oleh Oditur Tinggi, Letjen (lokal) Karyono Yudho
SH, di Mahkamah Militer Tinggi II Jawa bagian Barat, berbuat
kejahatan korupsi memperkaya diri sendiri atau orang lain,
dengan merugikan keuangan negara.
Sebagai pejabat yang mengurus keuangan polri, menurut Oditur,
mereka tahu ada sisa dana belanja pegawai, uang lauk pauk dan
uang perjalanan dinas sebanyak Rp 7.655.245.129,06 dan Rp
8.802.167.640,66. Sehingga di Bank Indonesia seharusnya masih
tersimpan sisa dana Rp 16.467.412.769,72. Mereka juga tentu tahu
ada sisa dana Rp 450 juta setiap bulan sepanjang tahun 1973 s/d
1977.
Namun, dengan dalih agar uang sisa anggaran itu tidak hangus
begitu saja bila tidak dimanfaatkan, dana yang seharusnya tetap
tinggal di BI itu mereka pindahkan ke rekening pribadi. Tujuh
rekening koran di BNI '46 dan dua di Bank Eksim. Lalu, dengan
alasan pula untuk menutup keperluan dinas -- yang katanya
otorisasinya dari Hankam lambat, sementara keperluan sudah
mendesak -- sisa dana tersebut mereka gunakan saja untuk menutup
anggaran lain.
Dana tersebut, menurut penuntut, telah dipergunakan untuk
berbagai keperluan pribadi menjamu tamu, mengongkosi perjalanan
dinas pejabat dan lain-lain. Umumnya, untuk keperluan tetek
bengek yang tak ada hubungannya dengan dinas itu, para tertuduh
minta lebih dulu dari kantong para leveransir yang mereka sebut
"rekanan". Rekanan itu misalnya perusahaan VOLTA, Danro Jaya dan
PRESTO, yang salah satu pemiliknya adalah Saleh Iranto, Deputy
Kapolri sebelum Siswadji.
Pertanggunganjawab administrasi sekitar uang yang kemudian
dibayarkan kepada rekanan itu lalu digampangkan saja: dimasukkan
ke dalam pos pengeluaran untuk perjalanan dinas, atau pembelian
alat tulis kantor (ATK) yang sulit dikontrol itu, atau
pemeliharaan bangunan asrama polisi -- atau mengapur rumah
pejabat.
Ada memang pengeluaran yang benar-benar perlu. Seperti untuk ATK
itu. Tapi, kata Oditur, harga pembeliannya sudah diatur
seenaknya sendiri. Sampai 300% di atas harga yang sebenarnya.
Sementara itu banyak juga kwitansi yang dibuat secara fiktif
saja, untuk menutupi pengeluaran yang sembarangan.
Tagihan rekanan kemudian dilayani oleh Siswadji dengan perintah
lisan atau nota. Tugas Kepala Jawatan Keuangan atau Kajanku-lah
kemudian untuk membayar tagihan para rekanan itu. Pembayaran
tidak dilakukan melalui KBN. Pembayarannya dengan cek-cek yang
dapat mencairkan dana sisa anggaran yang rekeningnya sudah
dipindahkan ke BNI atau Bank Eksim.
Melalui rekanan VOLTA, misalnya, dana sisa anggaran polri itu
mengalir sejumlah dua milyar tujuhratus juta rupiah. Yaitu,
antara lain, untuk membayar kembali pembelian yang uangnya sudah
ditalangi lebih dulu oleh rekanan ini. Yang dibeli antara lain
kursi (lebih dari Rp 17,5 juta), seperangkat meja direktur dan
lampu hias. Semua pembelian jenis itu, yang menghabiskan satu
milyar 600 juta rupiah, memang terbukti ada barangnya. Tapi di
samping harga yang sebenarnya diragukan, pun cara pembeliannya
dilakukan tanpa tender sebagaimana mustinya.
Pengeluaran dengan pertanggunganjawab secara fiktif, masih
melalui VOLTA, sampai sejumlah Rp 1 milyar seratus juta.
Misalnya, untuk membeli rumah bagi kediaman resmi Deputy
Siswadji di Jalan Daha, sebesar Rp 150 juta. Meskipun,
sebenarnya tak ada ketentuan sang Deputy dapat rumah resmi. Tapi
tak cuma itu. Untuk perbaikannya rumah itu juga menghabiskan
ongkos sekian pula. Lalu, untuk membayar kembali ongkos
perjalanan ke dalam atau ke luar negeri oleh beberapa pejabat,
yang sebehmnya sudah dibayar lebih dulu oleh VOLTA, polri harus
mengalirkan dana sisa sampai Rp 327 juta.
Keperluan 'tetek-bengek' juga macam-macam. Antara lain, untuk
membeli perlengkapan kamar mandi dan generator buat Siswadji
(Rp 100 juta) dan membeli toko Karya Bakti di Cilandak untuk
Brigjen Suprajitno (Rp 50 juta). Dan semuanya dibuatkan kwitansi
untuk pembelian "keperluan dinas".
UNTUK membayar kembali rekanan PRESTO, dari sisa anggaran telah
dikeluarkan pula uang sampai sejumlah Rp 8 milyar 182 juta.
Separohnya, Rp 4 milyar dan Rp 600 juta, dipertanggungjawabkan
secara lumayan. Tapi separohnya Rp 3 milyar 500 juta, yah,
fiktif lagi! Memang disebut untuk alat tulis kantor. Tapi,
nyatanya, untuk uan saku Siswadji bolak-balik 8 kali ke luar
negeri saja sampai Rp 20 juta. Lalu untuk pertandingan golf Rp
16 juta, menjamu tamu Rp 336 juta atau memperbaiki rumah pejabat
polri Rp 120 juta.
Untuk tokoh rekanan lain dalam PRESTO, John Pribadi, sisa dana
anggaran polri juga bermanfaat. Ia bisa membeli tanah, rumah dan
mobil BMW. Yaitu dari dana yang disalurkan kepadanya sejumlah Rp
1 milyar 200 juta. Yang dibelanjakan secara nyata cuma Rp 562
juta. Selebihnya dibelikan barang-barang untuk keperluan pribadi
Siswadji, seharga Rp 20 juta, perhiasan Isteri Siswadji Rp 20
juta, disalurkan ke Komando Logistik Polri Rp 200 juta dan
macam-macam lagi. Termasuk yang diterimakan (entah untuk apa)
kepada Letkol Pol. S. Noor, Rp120 juta, yang katanya untuk
Asisten Keuangan Hankam.
Sementara itu Rekanan Danro Jaya kebagian dana sisa anggaran Rp
594 juta. Yang ada manfaatnya bagi polri hanya untuk membayar
pajak MPO/PPN ang cuma lebih dari Rp 51 juta. Selebihnya untuk
beli alat komputer (entah untuk apa pula) Rp 80 juta, lampu
kristal Rp 30 juta, mobil Rp 7 juta yang semuanya untuk Siswadji
pribadi. Tertuduh lain, Kolonel Suroso dan Letkol Paimin,
masing-masing kebagian Rp 1O0 juta dan Rp 50 juta. Sedangkan
rekanan Edi Jaya, seorang kontraktor, lsa menggunakan uang itu
sampai Rp 170 juta lebih untuk membeli tanah di Ciputat.
Angka-angka itu sungguh mencengangkan besarnya -- mungkin untuk
heli sempritan buat seluruh rakyat Indonesia yang 135 juta saja
tak habis.
Tapi benarkah tuduhan kepada Siswadji ini? Betapapun, ia belum
terbukti bersalah.
Yang akan memutuskan ialah majelis hakim yang dipimpin Jenderal
(lokal) Soetjipto SH dan para anggota Letjen (lokal) Pol. Kemal
Mahisa SH serta Marsekal Muda (lokal) Soemadi SH, Siswadji
sendiri membantah tuduhan Oditur. "Sebagian tuduhan benar,"
katanya "sepanjang hal itu dapat dibuktikan atas dasar penilaian
yang formil materiil, obyektif rasionil, bernalar, dan logis
analistis.
Dan sidang pengadilan masih berjalan. Banyak yang mendengarkan.
Laksamana Sudomo, tokoh Opstib no. 1 itu. menyempatkan hadir
pada sidang pertama bersarna pejabat tinggi Hankam lainnya.
Sementara itu Oditur telah mengajulan daftar berisi 33 nama
para saksi. Di antara kurang-lebih 8 nama jenderal. "Tidak
semuanya terlibat kejahatan", kata salah seorang hakim, "tapi
mereka memang diperlukan untuk memberikan kesaksian."
Nama penting yang tampaknya pasti muncul sebagai saksi, di
antaranya, bekas Assisten I (Intel) Kapolri dan bekas Kadapol
Metro Jaya Majen Kodrat Samadikun. Juga Majen Sumarko, yang baru
minggu-minggu lalu ini saja lepas dari jabatan Assisten V
Kapolri. Keduanya, berkenaan dengan fungsinya ketika duduk di
Markas Besar Polri, sudah selayaknya bicara soal keuangan,
penggunaan dana lebih, bersama Deputy yang terdakwa sekarang.
Bagaimana dengan tasan Siswadji langsung, Kapolri Jenderal
Widodo Budidarmo? Nampaknya ia dianggap bersih. Memang, ia
digantikan oleh Dr. Awaludin Djamin awal pekan ini, setelah dia
disebut-sebut oleh tertuduh merestui pembelian rumah dinas sang
Deputy. Tapi Pangkopkamtib Wapangab Sudomo menjelaskan:
penggantian Kapolri itu tak ada hubungannya dengan perkara
korupsi Rp 4,8 milyar di polri. Namun apakah bekas Kapolri itu
juga akan tampil sebagai saksi? "Itu akan dipertimbangkan
nanti," ujar salah seorang hakim.
Bagi siapa saja, pembersihan memang dipujikan. Tapi nampaknya
yang tertuduh belum tentu salah, dan yang jadi saksi belum tentu
akan dihukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini