Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sebuah Kasus Korupsi, Tapi Belum ...

Mahkamah militer tinggi II menuduh korupsi terhadap Deputy Kapolri, Letjen Siswadji & beberapa pejabat tingkat pusat yang mengurus keuangan Polri. Penggantian kapolri tidak ada hubungannya dengan korupsi. (hk)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENDERAL itu berdiri di sebuah beranda rumah prajurit polisi di kompleks perumahan polri Cengkareng. Beranda itu berhimpitan dengan dapur tetangga. Penghuninya, seorang prajurit, mengatakan kepada sang jenderal bahwa dia sudah 22 tahun hidup dalam keadaan semacam itu. "Selama ini begini-begini saja?" jenderal itu ikut mengeluh, sambil tangannya meraba-raba dinding daripada bambu yang tampaknya sudah sejak lama rapuh. Ia mendengar bahwa kalau malam kompleks perumahan itu suram. Disel listrik di sini mati sudah sejak Juli lalu. "Bagaimana anak-anak harus belajar" tanya sang jenderal. Ia M. Jusuf. Menteri Hankam itu tengah mengadakan peninjauan dengan serius. Dan ia menemukan banyak hal yang menyolok. Perumahan di Cengkareng itu satu contoh . Contoh lain ada anggota polisi lalulintas sampai tak punya alat kerja sederhana sempritan! Selalu ditemui Jenderal Jusuf sepanjang inspeksinya ke berbagai asrama polri, bahwa hampir semua anggota polri di tingkat paling bawah tarnpak dalam keadaan prihatin yang berlarut-larut. Sampai kapan? Belum tahu. Namun kunjungan Menhankam ke tempat mereka, disertai janji perbaikan, diharap bisa membubuhkan kembali rasa kepercayaan bawahan kepada atasan. Selama ini rasa kepercayaan itu dikhawatirkan makin hari makin menipis digerogoti penderitaan. Juga karena mereka sendiri tahu bahwa penderitaan itu tidak merata -- di atas sana. Terakhir pengetahuan mereka bertambah dengan terbongkarnya kasus korupsi di tingkat Markas Besar. Kemudian, mereka juga mendengar keterangan Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib, yang menyatakan bahwa korupsi dalam tubuh polri diketahui menyangkut nama 14 perwira tinggi. Ini berarti hampir separoh dari pati yang berada di Mabes Polri, jika tidak semuanya terlibat, setidaknya mengetahui ketidakberesan pengurusan uang negara. Bagi banyak orang, juga di luar kepolisian, yang menarik perhatian ialah bahwa untuk pertama kalinya seorang jenderal berbintang tiga diajukan ke depan hakim, untuk dituntut. Hari-hari ini termasuk hari bersejarah, ketika Letnan Jenderal Siswadji, Deputy Kapolri, diadili. Bersama dia duduk pula pejabat polri tingkat pusat: Brigjen Pol. Prajitno (bekas Kepala Jawatan Keuangan Polri), Kolonel Pol. Suroso (Kepala Jawatan Keuangan yang sekarang) dan Letkol Pol. Paimin Sumarna (perwira Jawatan Keuangan). Mereka dituduh oleh Oditur Tinggi, Letjen (lokal) Karyono Yudho SH, di Mahkamah Militer Tinggi II Jawa bagian Barat, berbuat kejahatan korupsi memperkaya diri sendiri atau orang lain, dengan merugikan keuangan negara. Sebagai pejabat yang mengurus keuangan polri, menurut Oditur, mereka tahu ada sisa dana belanja pegawai, uang lauk pauk dan uang perjalanan dinas sebanyak Rp 7.655.245.129,06 dan Rp 8.802.167.640,66. Sehingga di Bank Indonesia seharusnya masih tersimpan sisa dana Rp 16.467.412.769,72. Mereka juga tentu tahu ada sisa dana Rp 450 juta setiap bulan sepanjang tahun 1973 s/d 1977. Namun, dengan dalih agar uang sisa anggaran itu tidak hangus begitu saja bila tidak dimanfaatkan, dana yang seharusnya tetap tinggal di BI itu mereka pindahkan ke rekening pribadi. Tujuh rekening koran di BNI '46 dan dua di Bank Eksim. Lalu, dengan alasan pula untuk menutup keperluan dinas -- yang katanya otorisasinya dari Hankam lambat, sementara keperluan sudah mendesak -- sisa dana tersebut mereka gunakan saja untuk menutup anggaran lain. Dana tersebut, menurut penuntut, telah dipergunakan untuk berbagai keperluan pribadi menjamu tamu, mengongkosi perjalanan dinas pejabat dan lain-lain. Umumnya, untuk keperluan tetek bengek yang tak ada hubungannya dengan dinas itu, para tertuduh minta lebih dulu dari kantong para leveransir yang mereka sebut "rekanan". Rekanan itu misalnya perusahaan VOLTA, Danro Jaya dan PRESTO, yang salah satu pemiliknya adalah Saleh Iranto, Deputy Kapolri sebelum Siswadji. Pertanggunganjawab administrasi sekitar uang yang kemudian dibayarkan kepada rekanan itu lalu digampangkan saja: dimasukkan ke dalam pos pengeluaran untuk perjalanan dinas, atau pembelian alat tulis kantor (ATK) yang sulit dikontrol itu, atau pemeliharaan bangunan asrama polisi -- atau mengapur rumah pejabat. Ada memang pengeluaran yang benar-benar perlu. Seperti untuk ATK itu. Tapi, kata Oditur, harga pembeliannya sudah diatur seenaknya sendiri. Sampai 300% di atas harga yang sebenarnya. Sementara itu banyak juga kwitansi yang dibuat secara fiktif saja, untuk menutupi pengeluaran yang sembarangan. Tagihan rekanan kemudian dilayani oleh Siswadji dengan perintah lisan atau nota. Tugas Kepala Jawatan Keuangan atau Kajanku-lah kemudian untuk membayar tagihan para rekanan itu. Pembayaran tidak dilakukan melalui KBN. Pembayarannya dengan cek-cek yang dapat mencairkan dana sisa anggaran yang rekeningnya sudah dipindahkan ke BNI atau Bank Eksim. Melalui rekanan VOLTA, misalnya, dana sisa anggaran polri itu mengalir sejumlah dua milyar tujuhratus juta rupiah. Yaitu, antara lain, untuk membayar kembali pembelian yang uangnya sudah ditalangi lebih dulu oleh rekanan ini. Yang dibeli antara lain kursi (lebih dari Rp 17,5 juta), seperangkat meja direktur dan lampu hias. Semua pembelian jenis itu, yang menghabiskan satu milyar 600 juta rupiah, memang terbukti ada barangnya. Tapi di samping harga yang sebenarnya diragukan, pun cara pembeliannya dilakukan tanpa tender sebagaimana mustinya. Pengeluaran dengan pertanggunganjawab secara fiktif, masih melalui VOLTA, sampai sejumlah Rp 1 milyar seratus juta. Misalnya, untuk membeli rumah bagi kediaman resmi Deputy Siswadji di Jalan Daha, sebesar Rp 150 juta. Meskipun, sebenarnya tak ada ketentuan sang Deputy dapat rumah resmi. Tapi tak cuma itu. Untuk perbaikannya rumah itu juga menghabiskan ongkos sekian pula. Lalu, untuk membayar kembali ongkos perjalanan ke dalam atau ke luar negeri oleh beberapa pejabat, yang sebehmnya sudah dibayar lebih dulu oleh VOLTA, polri harus mengalirkan dana sisa sampai Rp 327 juta. Keperluan 'tetek-bengek' juga macam-macam. Antara lain, untuk membeli perlengkapan kamar mandi dan generator buat Siswadji (Rp 100 juta) dan membeli toko Karya Bakti di Cilandak untuk Brigjen Suprajitno (Rp 50 juta). Dan semuanya dibuatkan kwitansi untuk pembelian "keperluan dinas". UNTUK membayar kembali rekanan PRESTO, dari sisa anggaran telah dikeluarkan pula uang sampai sejumlah Rp 8 milyar 182 juta. Separohnya, Rp 4 milyar dan Rp 600 juta, dipertanggungjawabkan secara lumayan. Tapi separohnya Rp 3 milyar 500 juta, yah, fiktif lagi! Memang disebut untuk alat tulis kantor. Tapi, nyatanya, untuk uan saku Siswadji bolak-balik 8 kali ke luar negeri saja sampai Rp 20 juta. Lalu untuk pertandingan golf Rp 16 juta, menjamu tamu Rp 336 juta atau memperbaiki rumah pejabat polri Rp 120 juta. Untuk tokoh rekanan lain dalam PRESTO, John Pribadi, sisa dana anggaran polri juga bermanfaat. Ia bisa membeli tanah, rumah dan mobil BMW. Yaitu dari dana yang disalurkan kepadanya sejumlah Rp 1 milyar 200 juta. Yang dibelanjakan secara nyata cuma Rp 562 juta. Selebihnya dibelikan barang-barang untuk keperluan pribadi Siswadji, seharga Rp 20 juta, perhiasan Isteri Siswadji Rp 20 juta, disalurkan ke Komando Logistik Polri Rp 200 juta dan macam-macam lagi. Termasuk yang diterimakan (entah untuk apa) kepada Letkol Pol. S. Noor, Rp120 juta, yang katanya untuk Asisten Keuangan Hankam. Sementara itu Rekanan Danro Jaya kebagian dana sisa anggaran Rp 594 juta. Yang ada manfaatnya bagi polri hanya untuk membayar pajak MPO/PPN ang cuma lebih dari Rp 51 juta. Selebihnya untuk beli alat komputer (entah untuk apa pula) Rp 80 juta, lampu kristal Rp 30 juta, mobil Rp 7 juta yang semuanya untuk Siswadji pribadi. Tertuduh lain, Kolonel Suroso dan Letkol Paimin, masing-masing kebagian Rp 1O0 juta dan Rp 50 juta. Sedangkan rekanan Edi Jaya, seorang kontraktor, lsa menggunakan uang itu sampai Rp 170 juta lebih untuk membeli tanah di Ciputat. Angka-angka itu sungguh mencengangkan besarnya -- mungkin untuk heli sempritan buat seluruh rakyat Indonesia yang 135 juta saja tak habis. Tapi benarkah tuduhan kepada Siswadji ini? Betapapun, ia belum terbukti bersalah. Yang akan memutuskan ialah majelis hakim yang dipimpin Jenderal (lokal) Soetjipto SH dan para anggota Letjen (lokal) Pol. Kemal Mahisa SH serta Marsekal Muda (lokal) Soemadi SH, Siswadji sendiri membantah tuduhan Oditur. "Sebagian tuduhan benar," katanya "sepanjang hal itu dapat dibuktikan atas dasar penilaian yang formil materiil, obyektif rasionil, bernalar, dan logis analistis. Dan sidang pengadilan masih berjalan. Banyak yang mendengarkan. Laksamana Sudomo, tokoh Opstib no. 1 itu. menyempatkan hadir pada sidang pertama bersarna pejabat tinggi Hankam lainnya. Sementara itu Oditur telah mengajulan daftar berisi 33 nama para saksi. Di antara kurang-lebih 8 nama jenderal. "Tidak semuanya terlibat kejahatan", kata salah seorang hakim, "tapi mereka memang diperlukan untuk memberikan kesaksian." Nama penting yang tampaknya pasti muncul sebagai saksi, di antaranya, bekas Assisten I (Intel) Kapolri dan bekas Kadapol Metro Jaya Majen Kodrat Samadikun. Juga Majen Sumarko, yang baru minggu-minggu lalu ini saja lepas dari jabatan Assisten V Kapolri. Keduanya, berkenaan dengan fungsinya ketika duduk di Markas Besar Polri, sudah selayaknya bicara soal keuangan, penggunaan dana lebih, bersama Deputy yang terdakwa sekarang. Bagaimana dengan tasan Siswadji langsung, Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo? Nampaknya ia dianggap bersih. Memang, ia digantikan oleh Dr. Awaludin Djamin awal pekan ini, setelah dia disebut-sebut oleh tertuduh merestui pembelian rumah dinas sang Deputy. Tapi Pangkopkamtib Wapangab Sudomo menjelaskan: penggantian Kapolri itu tak ada hubungannya dengan perkara korupsi Rp 4,8 milyar di polri. Namun apakah bekas Kapolri itu juga akan tampil sebagai saksi? "Itu akan dipertimbangkan nanti," ujar salah seorang hakim. Bagi siapa saja, pembersihan memang dipujikan. Tapi nampaknya yang tertuduh belum tentu salah, dan yang jadi saksi belum tentu akan dihukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus