Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menyusuri Jejak Rp 4,8 Milyar

Kasus korupsi Letjen (Pol) Siswadji, bermula dari penelitian inspektorat perbendaharaan Hankam terhadap 55 bundel surat keputusan otorisasi pelaksanaan, skop, yang digunakan secara tidak wajar. (hk)

30 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA buah kamera putar tercantel di ujung dinding rumah bertingkat II di Jalan Gumuk 23, di daerah megah Kemang, Jakarta Selatan. Sebuah mengawasi tamu yang masuk dari pintu depan. Yang satu lagi mengintip semua penjuru taman. Pintu masuk ruang utama berupa kayu berukir Jepara. Pintu taman sebelah timur melupakan bangunan gaya Candi Bentar dengan pagar dinding berukir Bali. Di taman ada dua patung Bali dan kolam. Benarkah di sini ada juga kran air dan toilet berlapis emas? Kata pembantu rumah yang menunggu di sana: Tidak ada. Bukan seperti yang banyak dibicarakan orang, kran air memang cuma berlapis tembaga biasa saja. Pemilik rumah megah itu sendiri, kata penunggunya, hanya sekali-kali saja singgah ke sana. Letnan Jenderal Pol. Siswadji, yang sekarang tengah berurusan dengan Mahmilti untuk perkara korupsi, memang lebih senang tinggal di Jalan Melawai. Siapakah Siswaji? Dia, lahir di Salatiga 8 Juni 1923, menyandang 13 bintang dan tanda penghargaan. Gelar kesarjanaan di bidang kepolisian diperoleh dari PTIK dan MA dari Universitas Columbia, Siswadji juga menjabat sebagai Rektor Universitas Tri Sakti. Ada yang senang kepadanya dalam kedudukannya di Markas Besar Polri. Ia gampang mengeluarkan uang. Tak bertele-tele. Tapi ada juga yang mengritiknya. Seorang pejabat intel Mabes Polri misalnya bercerita, bagaimana gaya Siswadji. Masalah penggunaan anggaran atau sisa anggaran aturannya memang selalu harus dibicarakan dalam musyawarah khusus atau umum di antara 6 orang Asisten Kapolri. Tapi, begitu Siswadji duduk sebagai Deputy, sebagai Irjen yang menggantikan Deputy Saleh Iranto, mekanisme berubah. Kegiatan yang berkaitan dengan keuangan dan logistik hampir mutlak berada di tangan Siswadji dan Ass V (Logistik) Majen Sumarko. Hal itu tak banyak dibicarakan. Sebab dianggap tidak mengganggu kelancaran dinas maupun urusan lain. Bahkan di sana-sini urusan keuangan dirasakan sangat lancar. Pernah kegiatan intel polri tertolong karenanya. Ceritanya begini Ada gerombolan Marwan yang merajalela dari Palembang sampai Lampung. Pabrik dan konsesi hutan milik Effendy Dasaad diteror. Beberapa karyawan Dasaad mati tertembak Operasi penumpasan oleh polri hampir saja macet. Dan tak bisa diadakan secara mendadak. Pengajuan anggaran tetap saja hampa. Alasannya tentu saja, "anggaran harus dialokasikan sebelumnya." Namun, berkat keluwesan sang Deputy Kapolri, operasi penumpasan bisa berlangsung. Siswadji mendrop uang pada waktunya. Itu soal dinas. Tentang soal yang tidak dinas pun dilayani dengan baik oleh Siswadji. Dari mulai urusan berobat sampai menyekolahkan anak ke mancanegara banyak pejabat yang minta bantuan sang Deputy. "Pak Sis memang royal," kata seorang pejabat tinggi kepolisian. Cara Siswadji mengeluarkan uang, baik untuk dinas, setengah dinas maupun di luar itu, memang "hebat". Cukup dengan nota atau perintah lisan saja. Orang-orang di Jawatan Keuangan Polri (Janku)-lah yang mengurus selanjutnya. Orang Janku mengeluarkan apa yang disebut sebagai 'cek putih'. Cek begitu dapat diuangkan kepada para leveransir yang disebut "rekanan". Di mana kantor para rekanan ? Tidak jauh-jauh di Markas Besar Polri juga, di ruang-ruang Janku. Pada gilirannva nanti para rekanan akan menarik uang dari dana sisa anggaran dengan cek-cek kontan yang dibikin oleh Janku. Pertanggunganjawabnya mudah: buat saja kwitansi fiktif. Begitulah prakteknya. Hal itu bukan tidak menimbulkan persoalan di antara para pejabat tertentu. Seorang pejabat polisi misalnya menyatakan pernah melaporkan hal inl kepada Kapolri Widodo. Tapi, katanya, waktu itu. "Pak Widodo terlalu percaya kepada Siswadji." Widodo sendiri, kata sang pejabat, "orangnya jujur dan sederhana." Bagaimana kasus Siswadji ditelusuri dan menjadikan ia tertuduh? Sebuah sumber di Hankam menceritakan sebuah versi. Bulan Desember 1975, Inspeictorat Perbendaharaan (Itben) Hankam telah menjumpai ketidakberesan pada keuangan polri, mulai bulan September 1974 s/d April 1975. Terdapat 55 bundel SKOP (Surat Keputusan Otorisasi Pelaksanaan), yang digunaan tidak wajar." Dalam mata anggarh, yang seharusnya dipergunakan untuk gaji anggota polri, ternyata sisanya dilaporkan sebagai pengeluaran uang lauk-pauk atau perjalanan dinas. Setelah diteliti, ternyata tak ada sepucuk suratpun yang ditujukan kepada Menteri Hankam mengenai pengalihan penggunaan sisa anggaran untuk keperluan lain. "Setiap pengalihan penggunaan dana harus seijin Menteri," kata pejabat Hankam tadi. Hal itu sudah harus dimaklumi. Maka Itben Hankam segera menghubungi Janku Polri agar secepatnya membereskan segala sesuatunya. "Tapi bukan tanggapan baik yang kami terima, malah sikap tidak membantu yang kami peroleh." Itben Hankam segera membentuk tim pemeriksa. Anggotanya beberapa perwira dan sipil. Di sebuah gedung di ujung Jalan Merdeka Barat tim pemeriksa membongkar arsip laporan keuangan mulai 1973 s/d 1975. "Laporannya sangat jelimet." Untuk sebuah arsip saja diperlukan waktu beberapa puluh menit buat memeriksanya. Sesudah bekerja keras hampir 6 bulan diketemukan angka Rp 6,7 milyar nilai ke 55 SKOP yang diperiksa. Angka pertama yang ditemukan itu sangat mengejutkan. Sementara itu, kata pejabat tinggi Hankam ini, usaha dari Itben untuk minta pertanggunganjawab dari Janku Polri tetap saja macet. Pejabat Janku Polri selalu menjawab enteng saja: "Segala uang yang dikeluarkan telah sepengetahuan Kapolri," begitu jawab yang diterima pejabat Itben. Usaha Tim Itben jalan terus dengan berbagai hambatan. Bahkan ada usaha penyuapan Rp 100 juta kepada anggot tim. Usaha sogok ini ditolak. Dan menyusullah penemuan tim Itben berikutnya. Ada 45 SKOP lagi, yang tidak beres, bernilai Rp 10 milyar. Permainan yang tampak dalam membuat administrasi fiktif makin nyata saja. Misalnya, ada dana yang dikeluarkan untuk mengecat dan membetulkan genting rumah pejabat sampai menelan biaya Rp 10 juta. Gilanya, hal itu dilakukan berkali-kali untuk rumah yang sama "Ini 'kan permainan kasar," kata orang Hankam. Juga, apa yang disebut sebagai pengeluaran untuk membeli ATK (alat tulis kantor), jumlahnya sangat fantastis, "walaupun diperiksa sekilas saja." Kalau pembelian ATK itu nyata, "tentu semua gudang polri akan penuh dengan kertas." Kenyataannya, tim pemeriksa Itben toh menjumpai gudang hanya berisi beberapa rim kertas saja. Setelah otak-atik angka, pertengahan 1977, setelah satu setengah tahun bekerja, Itben Hankam menyimpulkan sebuah angka: Rp 4,8 milyar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Deputy Kapolri Siswadji dkk. Hasil pemeriksaan Itben sebenarnya bisa lebih seru lagi bila instansi itu memiliki kelengkapan yang memadai. "Kita hanya melakukan pcmeriksaan administratif saja, bukan fisik," kata seorang pejabat. Masih bisakah negara menyelamatkan uangnya dari kasus Siswadji ini? Tak banyak Menurut Kepala Oditurat Jenderal ABRI, Majen Imam Sukarsono, dari tangan para tertuduh telah dapat disita sekitar 15 mobil mewah, sejumlah rumah, berpu1uh hektar tanah. Nilainya cuma sekitar Rp 1,5 milyar. Apakah memborlgkar perkara itu di pengadilan tidak akan menjatuhkan kewibawaan polri di mata masyarakat? "Kalau sebaliknya, korupsi tidak ditindak dan diadili, itu baru akan memerosotkan nama polri," kata Imam Sukarsono. "Pengadilan tidak mengadili polri, tapi mengadili oknum-oknum polri." Bekas Kapolri Widodo, yang sekarang digantikan Awaluddin Djamin MPA, tidak banyak komentar. Ketidakberesan polri, bagaimanapun, katanya, "saya sebagai komandan bertanggungjawab." Widodo kemudian menyerahkan "mengembalikan image polri yang telah dirusak oleh badai," kepada penggantinya. Hanya, menurut pengalamannya sebagai polisi, "polisi itu tidak akan bisa dicintai masyarakat." Itu, katanya, berkenaan dengan tugasnya yang tidak populer menangkap, menggeledah atau menahan orang. "Polisi yang baik, menolong orang, tidak ada yang ingat," kata Widodo pula. "Tapi sekali berbuat salah, akan terus diingat. Maka hanya mereka yang gentlemen saja yang mau melakukan tugas seperti itu." Ada kesedihan dalam kata-kata seperti itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus