DUA buah kamera putar tercantel di ujung dinding rumah
bertingkat II di Jalan Gumuk 23, di daerah megah Kemang, Jakarta
Selatan. Sebuah mengawasi tamu yang masuk dari pintu depan. Yang
satu lagi mengintip semua penjuru taman.
Pintu masuk ruang utama berupa kayu berukir Jepara. Pintu taman
sebelah timur melupakan bangunan gaya Candi Bentar dengan pagar
dinding berukir Bali. Di taman ada dua patung Bali dan kolam.
Benarkah di sini ada juga kran air dan toilet berlapis emas?
Kata pembantu rumah yang menunggu di sana: Tidak ada. Bukan
seperti yang banyak dibicarakan orang, kran air memang cuma
berlapis tembaga biasa saja.
Pemilik rumah megah itu sendiri, kata penunggunya, hanya
sekali-kali saja singgah ke sana. Letnan Jenderal Pol. Siswadji,
yang sekarang tengah berurusan dengan Mahmilti untuk perkara
korupsi, memang lebih senang tinggal di Jalan Melawai.
Siapakah Siswaji? Dia, lahir di Salatiga 8 Juni 1923, menyandang
13 bintang dan tanda penghargaan. Gelar kesarjanaan di bidang
kepolisian diperoleh dari PTIK dan MA dari Universitas Columbia,
Siswadji juga menjabat sebagai Rektor Universitas Tri Sakti.
Ada yang senang kepadanya dalam kedudukannya di Markas Besar
Polri. Ia gampang mengeluarkan uang. Tak bertele-tele. Tapi ada
juga yang mengritiknya. Seorang pejabat intel Mabes Polri
misalnya bercerita, bagaimana gaya Siswadji.
Masalah penggunaan anggaran atau sisa anggaran aturannya memang
selalu harus dibicarakan dalam musyawarah khusus atau umum di
antara 6 orang Asisten Kapolri. Tapi, begitu Siswadji duduk
sebagai Deputy, sebagai Irjen yang menggantikan Deputy Saleh
Iranto, mekanisme berubah. Kegiatan yang berkaitan dengan
keuangan dan logistik hampir mutlak berada di tangan Siswadji
dan Ass V (Logistik) Majen Sumarko.
Hal itu tak banyak dibicarakan. Sebab dianggap tidak mengganggu
kelancaran dinas maupun urusan lain. Bahkan di sana-sini urusan
keuangan dirasakan sangat lancar.
Pernah kegiatan intel polri tertolong karenanya. Ceritanya
begini Ada gerombolan Marwan yang merajalela dari Palembang
sampai Lampung. Pabrik dan konsesi hutan milik Effendy Dasaad
diteror. Beberapa karyawan Dasaad mati tertembak Operasi
penumpasan oleh polri hampir saja macet. Dan tak bisa diadakan
secara mendadak. Pengajuan anggaran tetap saja hampa. Alasannya
tentu saja, "anggaran harus dialokasikan sebelumnya." Namun,
berkat keluwesan sang Deputy Kapolri, operasi penumpasan bisa
berlangsung. Siswadji mendrop uang pada waktunya.
Itu soal dinas. Tentang soal yang tidak dinas pun dilayani
dengan baik oleh Siswadji. Dari mulai urusan berobat sampai
menyekolahkan anak ke mancanegara banyak pejabat yang minta
bantuan sang Deputy. "Pak Sis memang royal," kata seorang
pejabat tinggi kepolisian.
Cara Siswadji mengeluarkan uang, baik untuk dinas, setengah
dinas maupun di luar itu, memang "hebat". Cukup dengan nota atau
perintah lisan saja. Orang-orang di Jawatan Keuangan Polri
(Janku)-lah yang mengurus selanjutnya. Orang Janku mengeluarkan
apa yang disebut sebagai 'cek putih'. Cek begitu dapat diuangkan
kepada para leveransir yang disebut "rekanan". Di mana kantor
para rekanan ? Tidak jauh-jauh di Markas Besar Polri juga, di
ruang-ruang Janku.
Pada gilirannva nanti para rekanan akan menarik uang dari dana
sisa anggaran dengan cek-cek kontan yang dibikin oleh Janku.
Pertanggunganjawabnya mudah: buat saja kwitansi fiktif.
Begitulah prakteknya.
Hal itu bukan tidak menimbulkan persoalan di antara para pejabat
tertentu. Seorang pejabat polisi misalnya menyatakan pernah
melaporkan hal inl kepada Kapolri Widodo. Tapi, katanya, waktu
itu. "Pak Widodo terlalu percaya kepada Siswadji." Widodo
sendiri, kata sang pejabat, "orangnya jujur dan sederhana."
Bagaimana kasus Siswadji ditelusuri dan menjadikan ia tertuduh?
Sebuah sumber di Hankam menceritakan sebuah versi. Bulan
Desember 1975, Inspeictorat Perbendaharaan (Itben) Hankam telah
menjumpai ketidakberesan pada keuangan polri, mulai bulan
September 1974 s/d April 1975. Terdapat 55 bundel SKOP (Surat
Keputusan Otorisasi Pelaksanaan), yang digunaan tidak wajar."
Dalam mata anggarh, yang seharusnya dipergunakan untuk gaji
anggota polri, ternyata sisanya dilaporkan sebagai pengeluaran
uang lauk-pauk atau perjalanan dinas.
Setelah diteliti, ternyata tak ada sepucuk suratpun yang
ditujukan kepada Menteri Hankam mengenai pengalihan penggunaan
sisa anggaran untuk keperluan lain. "Setiap pengalihan
penggunaan dana harus seijin Menteri," kata pejabat Hankam tadi.
Hal itu sudah harus dimaklumi. Maka Itben Hankam segera
menghubungi Janku Polri agar secepatnya membereskan segala
sesuatunya. "Tapi bukan tanggapan baik yang kami terima, malah
sikap tidak membantu yang kami peroleh."
Itben Hankam segera membentuk tim pemeriksa. Anggotanya beberapa
perwira dan sipil. Di sebuah gedung di ujung Jalan Merdeka Barat
tim pemeriksa membongkar arsip laporan keuangan mulai 1973 s/d
1975. "Laporannya sangat jelimet." Untuk sebuah arsip saja
diperlukan waktu beberapa puluh menit buat memeriksanya.
Sesudah bekerja keras hampir 6 bulan diketemukan angka Rp 6,7
milyar nilai ke 55 SKOP yang diperiksa. Angka pertama yang
ditemukan itu sangat mengejutkan. Sementara itu, kata pejabat
tinggi Hankam ini, usaha dari Itben untuk minta
pertanggunganjawab dari Janku Polri tetap saja macet. Pejabat
Janku Polri selalu menjawab enteng saja: "Segala uang yang
dikeluarkan telah sepengetahuan Kapolri," begitu jawab yang
diterima pejabat Itben.
Usaha Tim Itben jalan terus dengan berbagai hambatan. Bahkan ada
usaha penyuapan Rp 100 juta kepada anggot tim. Usaha sogok ini
ditolak. Dan menyusullah penemuan tim Itben berikutnya. Ada 45
SKOP lagi, yang tidak beres, bernilai Rp 10 milyar.
Permainan yang tampak dalam membuat administrasi fiktif makin
nyata saja. Misalnya, ada dana yang dikeluarkan untuk mengecat
dan membetulkan genting rumah pejabat sampai menelan biaya Rp 10
juta. Gilanya, hal itu dilakukan berkali-kali untuk rumah yang
sama "Ini 'kan permainan kasar," kata orang Hankam.
Juga, apa yang disebut sebagai pengeluaran untuk membeli ATK
(alat tulis kantor), jumlahnya sangat fantastis, "walaupun
diperiksa sekilas saja." Kalau pembelian ATK itu nyata, "tentu
semua gudang polri akan penuh dengan kertas." Kenyataannya, tim
pemeriksa Itben toh menjumpai gudang hanya berisi beberapa rim
kertas saja.
Setelah otak-atik angka, pertengahan 1977, setelah satu setengah
tahun bekerja, Itben Hankam menyimpulkan sebuah angka: Rp 4,8
milyar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Deputy Kapolri
Siswadji dkk. Hasil pemeriksaan Itben sebenarnya bisa lebih seru
lagi bila instansi itu memiliki kelengkapan yang memadai. "Kita
hanya melakukan pcmeriksaan administratif saja, bukan fisik,"
kata seorang pejabat.
Masih bisakah negara menyelamatkan uangnya dari kasus Siswadji
ini? Tak banyak Menurut Kepala Oditurat Jenderal ABRI, Majen
Imam Sukarsono, dari tangan para tertuduh telah dapat disita
sekitar 15 mobil mewah, sejumlah rumah, berpu1uh hektar tanah.
Nilainya cuma sekitar Rp 1,5 milyar.
Apakah memborlgkar perkara itu di pengadilan tidak akan
menjatuhkan kewibawaan polri di mata masyarakat? "Kalau
sebaliknya, korupsi tidak ditindak dan diadili, itu baru akan
memerosotkan nama polri," kata Imam Sukarsono. "Pengadilan tidak
mengadili polri, tapi mengadili oknum-oknum polri."
Bekas Kapolri Widodo, yang sekarang digantikan Awaluddin Djamin
MPA, tidak banyak komentar. Ketidakberesan polri, bagaimanapun,
katanya, "saya sebagai komandan bertanggungjawab."
Widodo kemudian menyerahkan "mengembalikan image polri yang
telah dirusak oleh badai," kepada penggantinya.
Hanya, menurut pengalamannya sebagai polisi, "polisi itu tidak
akan bisa dicintai masyarakat." Itu, katanya, berkenaan dengan
tugasnya yang tidak populer menangkap, menggeledah atau menahan
orang.
"Polisi yang baik, menolong orang, tidak ada yang ingat," kata
Widodo pula. "Tapi sekali berbuat salah, akan terus diingat.
Maka hanya mereka yang gentlemen saja yang mau melakukan tugas
seperti itu."
Ada kesedihan dalam kata-kata seperti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini