Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Simalakama Kenaikan Iuran JKN

Maraknya pemberitaan soal kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menghiasi berbagai media massa sepekan terakhir ini.

3 September 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN di bawah Kementerian Kesehatan. Foto: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahlil Ruby
Pemerhati JKN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maraknya pemberitaan soal kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menghiasi berbagai media massa sepekan terakhir ini. Ada skenario kenaikan iuran 100 persen dari pemerintah dan kenaikan Rp 16.500 sampai Rp 40 ribu dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), terutama iuran peserta bukan penerima upah (PBPU).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu tujuan naiknya iuran adalah menutupi potensi defisit dana jaminan sosial (DJS) JKN sekitar Rp 28 triliun pada 2019 jika pemerintah mau membayar iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 40 ribu per orang per bulan. Namun kenaikan iuran ini belum dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan karena tarif tidak dapat naik signifikan.

Kajian Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2015 tentang tidak aktifnya peserta PBPU menunjukkan beban iuran PBPU kelas 1, 2, dan 3 terhadap penghasilan rumah tangga berturut-turut 7, 6, dan 5 persen. Apabila naiknya iuran membebani lebih dari 10 persen dari belanja konsumsi rumah tangga, rumah tangga tersebut menderita belanja kesehatan katastropik dan menaikkan jumlah PBPU tidak aktif. Situasi ini menjebak pemerintah dalam kondisi maju kena, mundur pun kena.

Agar terlepas dari jebakan itu, pemerintah dapat menggali sumber dana selain dari iuran. Evaluasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2017 terhadap praktik 80 negara menunjukkan pajak konsumsi dan pajak lain diperuntukkan langsung (earmarking) bagi dana kesehatan, terutama negara yang pekerja informalnya besar seperti Indonesia.

Sebanyak 62 negara mengalokasikan dana untuk asuransi kesehatan melalui pajak penghasilan bagi pekerja formal. Empat negara mengenakan porsi tertentu terhadap pajak pertambahan nilai (PPN), yaitu Cile sebesar 1 persen, Ghana 2,5 persen dari 17 persen PPN, Iran 1 persen, dan Italia 38,5 persen. Pengenaan pajak konsumsi pada tembakau dan alkohol diterapkan oleh lebih dari 30 negara, seperti Thailand yang menetapkan 2 persen untuk pajak tembakau dan alkohol, Vietnam 2 persen, dan Nepal mengalokasikan semua pajak rokok untuk pengendalian kanker. Adapun Mesir, Prancis, Filipina, dan Turki memperuntukkan cukai rokok bagi jaminan kesehatan nasionalnya. Kolombia, Guatemala, dan Meksiko mengenakan pajak alkohol untuk kesehatan. Pengumpulan dana dari konsumsi minuman manis dan pemanis diterapkan juga oleh 10 negara lain.

Selain atas pajak konsumsi, Gabon menerapkan retribusi atas transfer uang pribadi asing dan pendapatan perusahaan telepon seluler. Ada dua negara yang memperoleh dana kesehatan dari lotre.

Kajian Pusat Jaminan Sosial Universitas Indonesia dan Friedrich-Ebert Stiftung (2018) menemukan potensi sumber dana lain sebesar Rp 21,85 triliun. Penyakit yang berkaitan dengan rokok diduga telah menyedot 30 persen DJS. Apabila setiap perokok dipungut Rp 50 per batang, ada potensi dana sebesar Rp 18 triliun. Besaran ini dapat menaikkan harga rokok di kisaran 3-12,5 persen per bungkus. Sehubungan dengan elastisitas harga rokok sebesar -0,47, kenaikan ini tidak berdampak pada industri rokok.

Biaya pengobatan untuk penyakit akibat pencemaran udara diestimasi sebesar triliunan rupiah. Pengenaan PPN sebesar Rp 50 per liter pada jenis bahan bakar minyak umum dengan RON di atas 90 memiliki potensi dana sebesar Rp 2,5 triliun.

Konsumsi minuman manis dan pemanis memiliki risiko terhadap diabetes tipe dua, penyakit hati, gangguan ginjal, dan lain-lain. Penyakit tersebut termasuk banyak menyedot klaim untuk kasus ginjal dan diabetes pada 2015 berturut-turut sebesar Rp 750 miliar dan Rp 3,2 triliun. Pungutan dari minuman manis dan pemanis sebesar Rp 1.000 per produk saja akan berpotensi menambah dana Rp 790 miliar untuk kesehatan.

Alkohol berdampak pada risiko kesehatan dan kecelakaan lalu lintas. Apabila pemerintah menambahkan 10 persen cukai dari tarif cukai per liter sesuai dengan kandungan alkohol, potensi penerimaan DJS sebesar Rp 560 miliar.

Untuk memobilisasi dana tersebut, pemerintah dapat menerapkan kebijakan dedikasi berupa pungutan dengan tambahan biaya kesehatan pada komoditas yang telah disebutkan. Kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bahwa aset DJS bersumber dari sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain kebijakan pungutan, kebijakan earmarking untuk DJS menjadi sangat penting. Sebab, tanpa kebijakan earmarking, pungutan menjadi pendapatan umum negara. Pengalaman Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 dalam mengalokasikan langsung pungutan ke Badan Pengelola Dana dapat dijadikan rujukan dalam pungutan untuk DJS. Tentu saja kebijakan ini membutuhkan komunikasi politik dan publik yang adekuat.

Iuran dan sumber dana tersebut akan menjamin kesinambungan dan mutu JKN, sehingga sebagian iuran PBI dapat dialokasikan untuk pemerataan fasilitas kesehatan. Banyak negara mempraktikkan earmarking dana sumber lain untuk kesehatan karena kuatnya komitmen politik kepala negara. Pemerintah sudah seharusnya menaikkan iuran serta nilai batas gaji pemerintah dan swasta sesuai dengan usulan DJSN seraya mempersiapkan segera kebijakan penggalian dana JKN dari sumber lain. Semoga Bapak Jokowi menjadikan JKN berkesinambungan dan bermutu sebagai legacy di bidang pembangunan jaminan sosial.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus