Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah siapa?

Anggota polisi khusus ka, basuki yang menembak bandit sepuluh tahun yang lalu, perkaranya baru disidangkan bulan juni 1983. dan oleh pengadilan negeri yogya, ia dinyatakan bebas. (hk)

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAUH sebelum muncul model "menghabisi" para penjahat, seorang anggota Polisi Khusus Kereta Api, Basuki, telah mempraktekkannya 10 tahun yang lalu. Ia menembak mati seorang penjahat, Sudirman, yang melawan ketika hendak ditangkapnya. Berbeda dengan "penembak misterius", yang boleh tetap main tembak, Basuki diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta dua pekan lalu. Tapi, atas nama hukum, ia dibebaskan. Hakim Djulizar menganggap bahwa Basuki terpaksa membunuh karena melakukan pembelaan diri dalam rangka tugasnya. Kasusnya sebenarnya memang biasa saja. Yang menarik, selama 10 tahun Basuki, 31 tahun, terpaksa menunggu putusan bebas itu dengan cemas. "Menunggu selama itu rasanya was-was. Karena selalu timbul pertanyaan, bagaimana putusan terhadap saya," ujar Basuki. "Tapi sekarang saya senang, dan keputusan itu langsung saya terima," tambah Basuki, ayah dari 3 anak itu. Sepuluh tahun yang lalu. Pada suatu malam, Basuki menjalankan tugasnya, mengamati kesibukan penumpang yang baru datang dari Jakarta di Stasiun Tugu, Yogya. Ia sempat memergoki dua bandit kereta api sedang mengangkat kopor milik penumpang. Basuki, yang telah mengenal kedua pencoleng itu, langsung mengejar. Tapi yang dikejar, Totok, dapat melompati pagar stasiun. Lenyap. Tapi Basuki berhasil membuntut Sudirman. Masih dekat stasiun, di Kampung Brandan, Basuki mencegat Sudirman. "Maunya saya pegang dengan tangan kosong, tapi ia tiba-tiba menghunus pisau," cerita Basuki. Tidak ada jalan lain lagi. Duel pun terjadi antara polsuska itu dengan si bandit. Bak cerita film, menurut Basuki, ia beberapa kali hampir kena tikam. Hanya dua goresan menyayat tangannya. Karena itulah, kata Basuki, ia terpaksa mengeluarkan pistol dan menembak ke atas dua kali. Tapi tendangan Sudirman, entah kenapa, mengenai tangan Basuki yang lagi memegang pistol. Akibatnya, pelatuk pistol tertarik, dan Sudirman terkapar dengan peluru Colt 38 menembus dadanya. Keterangan Basuki itu meyakinkan hakim. Beberapa saksi yang mengetahui kejadian itu tidak bisa didatangkan. Saksi Suparno, misalnya, seorang penjual koran di stasiun itu, kini tidak diketahui alamatnya. Saksi lainnya anggota polisi, Suhardono, ternyata sudah almarhum sebelum kesaksiannya didengar di sidang. Tapi Hakim Djulizar tidak merasa kesulitan. "Kesaksian tertulis sudah cukup, karena dibuat di bawah sumpah," kata Djulizar. Dan merasa lebih lancar lagi, karena Basuki mengaku terus terang. "Jika ia mungkir, perkara itu pasti tidak bisa diajukan ke pengadilan, karena tidak seorang saksi pun yang melihat ia menembak penjahat itu," tambah Djulizar. Namun, perkara sampai terkatung-katung begitu selama 10 tahun, dinilai Ketua DPP Peradin Haryono Tjitrosubono sebagai "merampas kemerdekaan orang lain". Menurut Haryono, selama menunggu, tertuduh tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, karena selalu dibayangi ancaman hukuman. Pengacara Yogya, Abdul Malik, sependapat dengan Haryono. "Secara yuridis, pihak yang memperlambat perkara itu harus mendapat sanksi administratif dari atasannya," ujar Malik. Sebab petugas itu, katanya, telah melanggar prinsip "peradilan cepat". Selain itu, menurut Malik, peradilan perkara yang tertunda lama tidak sempurna. Sebab bisa terjadi ada perubahan alat-alat bukti. Misalnya, saksi meninggal atau tidak diketahui lagi tempat tinggalnya -- seperti kasus Basuki itu. Hakim Djulizar membantah melalaikan persidangan. "Perkara itu baru 4 hari kami terima dan langsung kami sidangkan," ujar Djulizar. Bagi hakim, katanya, baru ada masalah kalau perkara itu sudah kadaluwarsa. Untuk perkara pembunuhan, seperti perkara Basuki, hak menuntut akan gugur setelah lewat waktu 12 tahun -- berarti masih ada tempo 3 tahun lagi. "Kalau belum gugur, soal perkara itu lama atau baru, bukan urusan kami," tambah Djulizar. Kepala Seksi Operasi Kejaksaan Negeri Yogya, Suhadi Muslam, membenarkan bahwa perkara itu sudah terlalu lama di meja kejaksaan. Tepatnya, perkara itu diserahkan polisi ke instansinya, 14 April 1973. "Kalau tidak salah, sudah 4 kali kami bermaksud mengajukan ke pengadilan, tapi selalu ada kekurangannya," katanya. Kekurangan itu, katanya, berupa tidak datangnya saksi yang dipanggil. Padahal, tambah Suhadi lagi, "kurang satu saksi saja hakim tidak mau mengadili." Siapa yang akan dikenai sanksi administratif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus