JAUH sebelum muncul model "menghabisi" para penjahat, seorang
anggota Polisi Khusus Kereta Api, Basuki, telah mempraktekkannya
10 tahun yang lalu. Ia menembak mati seorang penjahat, Sudirman,
yang melawan ketika hendak ditangkapnya. Berbeda dengan
"penembak misterius", yang boleh tetap main tembak, Basuki
diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta dua pekan lalu. Tapi,
atas nama hukum, ia dibebaskan. Hakim Djulizar menganggap bahwa
Basuki terpaksa membunuh karena melakukan pembelaan diri dalam
rangka tugasnya.
Kasusnya sebenarnya memang biasa saja. Yang menarik, selama 10
tahun Basuki, 31 tahun, terpaksa menunggu putusan bebas itu
dengan cemas. "Menunggu selama itu rasanya was-was. Karena
selalu timbul pertanyaan, bagaimana putusan terhadap saya," ujar
Basuki. "Tapi sekarang saya senang, dan keputusan itu langsung
saya terima," tambah Basuki, ayah dari 3 anak itu.
Sepuluh tahun yang lalu. Pada suatu malam, Basuki menjalankan
tugasnya, mengamati kesibukan penumpang yang baru datang dari
Jakarta di Stasiun Tugu, Yogya. Ia sempat memergoki dua bandit
kereta api sedang mengangkat kopor milik penumpang. Basuki, yang
telah mengenal kedua pencoleng itu, langsung mengejar. Tapi yang
dikejar, Totok, dapat melompati pagar stasiun. Lenyap. Tapi
Basuki berhasil membuntut Sudirman.
Masih dekat stasiun, di Kampung Brandan, Basuki mencegat
Sudirman. "Maunya saya pegang dengan tangan kosong, tapi ia
tiba-tiba menghunus pisau," cerita Basuki. Tidak ada jalan lain
lagi. Duel pun terjadi antara polsuska itu dengan si bandit. Bak
cerita film, menurut Basuki, ia beberapa kali hampir kena tikam.
Hanya dua goresan menyayat tangannya. Karena itulah, kata
Basuki, ia terpaksa mengeluarkan pistol dan menembak ke atas dua
kali. Tapi tendangan Sudirman, entah kenapa, mengenai tangan
Basuki yang lagi memegang pistol. Akibatnya, pelatuk pistol
tertarik, dan Sudirman terkapar dengan peluru Colt 38 menembus
dadanya.
Keterangan Basuki itu meyakinkan hakim. Beberapa saksi yang
mengetahui kejadian itu tidak bisa didatangkan. Saksi Suparno,
misalnya, seorang penjual koran di stasiun itu, kini tidak
diketahui alamatnya. Saksi lainnya anggota polisi, Suhardono,
ternyata sudah almarhum sebelum kesaksiannya didengar di sidang.
Tapi Hakim Djulizar tidak merasa kesulitan. "Kesaksian tertulis
sudah cukup, karena dibuat di bawah sumpah," kata Djulizar. Dan
merasa lebih lancar lagi, karena Basuki mengaku terus terang.
"Jika ia mungkir, perkara itu pasti tidak bisa diajukan ke
pengadilan, karena tidak seorang saksi pun yang melihat ia
menembak penjahat itu," tambah Djulizar.
Namun, perkara sampai terkatung-katung begitu selama 10 tahun,
dinilai Ketua DPP Peradin Haryono Tjitrosubono sebagai "merampas
kemerdekaan orang lain". Menurut Haryono, selama menunggu,
tertuduh tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, karena selalu
dibayangi ancaman hukuman.
Pengacara Yogya, Abdul Malik, sependapat dengan Haryono. "Secara
yuridis, pihak yang memperlambat perkara itu harus mendapat
sanksi administratif dari atasannya," ujar Malik. Sebab petugas
itu, katanya, telah melanggar prinsip "peradilan cepat". Selain
itu, menurut Malik, peradilan perkara yang tertunda lama tidak
sempurna. Sebab bisa terjadi ada perubahan alat-alat bukti.
Misalnya, saksi meninggal atau tidak diketahui lagi tempat
tinggalnya -- seperti kasus Basuki itu.
Hakim Djulizar membantah melalaikan persidangan. "Perkara itu
baru 4 hari kami terima dan langsung kami sidangkan," ujar
Djulizar. Bagi hakim, katanya, baru ada masalah kalau perkara
itu sudah kadaluwarsa. Untuk perkara pembunuhan, seperti perkara
Basuki, hak menuntut akan gugur setelah lewat waktu 12 tahun --
berarti masih ada tempo 3 tahun lagi. "Kalau belum gugur, soal
perkara itu lama atau baru, bukan urusan kami," tambah Djulizar.
Kepala Seksi Operasi Kejaksaan Negeri Yogya, Suhadi Muslam,
membenarkan bahwa perkara itu sudah terlalu lama di meja
kejaksaan. Tepatnya, perkara itu diserahkan polisi ke
instansinya, 14 April 1973. "Kalau tidak salah, sudah 4 kali
kami bermaksud mengajukan ke pengadilan, tapi selalu ada
kekurangannya," katanya. Kekurangan itu, katanya, berupa tidak
datangnya saksi yang dipanggil. Padahal, tambah Suhadi lagi,
"kurang satu saksi saja hakim tidak mau mengadili." Siapa yang
akan dikenai sanksi administratif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini