HARI sudah subuh, waktu ia sampai di rumahnya, di Pegangsaan Timur. Ia mengempaskan tubuhnya di kursi ruang kerjanya. Badannya terasa letih benar. Sudah dua hari ia tidak tidur. Sekarang badannya juga terasa dingin, menggigil. Dia tahu malarianya mulai kambuh lagi. Istrinya, Fatma, tahu kelelahan suaminya. Ia pun tahu, seharusnya dalam keadaan begitu suaminya digandengnya dan direbahknnya di tempat tidur untuk istirahat. Tetapi tidak. Dibiarkannya suaminya duduk termenung begitu di kamar kerjanya. Mungkin kemudian dibikinkannya secangkir kopi panas. Hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945. Itulah, menurut tuturnya, hari pilihannya. Hari keramat, karena hari itu adalah Jumat Legi -- Jumat yang suci. Juga Al-quran diturunkan pada tanggal 17, dan orang Islam sembahyang sebanyak 17 rakaat sehari. Alangkah cepat dan dahsyat dua hari yang terakhir itu, katanya mengenang. Sebelum menjatuhkan hari pilihannya itu, dua hari yang lalu, Wikana, Sukarni, Chaerul Saleh, dan sekelompok pemuda telah, mendatanginya, memukul-mukul meja, menghardiknya, memojokkannya, mendesaknya agar mau bertindak pada hari itu juga. Merdeka pada hari itu juga. Alangkah muda dan tidak sabaran anak-anak itu, pikirnya. Hatinya kesal, karena, menurut dia, anak-anak muda itu juga gegabah, sembrono, dan cupet pikirannya. Berbatalyon rikugun, yang mengawal Jakarta dan sekitarnya, dengan senapan dan bayonet terhunus, juki, tekidanto, belum lagi meriam, tank, serta panser, yang sanggup membabat dalam sekejap, rupanya, tidak mampu menerobos pertimbangan mereka. Yang ada pada benak mereka hanya merdeka, yang buru-buru mesti diumumkan. Ia mendesah, seakan kemerdekaan adalah hasil sesaat, dan berpuncak pada saat pengumumannya. Di hadapannya terbentang jalan yang panjang: sejak di rumah bekas mertuanya H.O.S. Tjokroaminoto, THS Bandung, PNI Partindo, penjara Bantjeuj, dan rapat-rapat umum yang seakan tiada habisnya, kemudian Endeh, Bengkulu, serta tiga setengah tahun kolaborasi dengan Jepang yang sangat memedihkan. Hatinya menggelegak waktu melihat para pemuda itu seakan meremehkan rentetan usaha dan penderitaannya. Dan, pada waktu Wikana kehabisan kesabaran mengancamnya dengan sebilah belati terhunus, ia pun kehabisan sabarnya. Pada subuh itu, ia masih juga belum mengerti dari mana ia dapat kekuatan untuk meloncat ke tengah kelompok pemuda itu, dan menyerahkan lehernya untuk digorok kalau mereka memang tidak mau lagi mengikuti pimpinannya. Kemudian, Rengasdengklok. Lagi pemuda bertindak. Kali itu dengan rencana dan jumlah yang jauh lebih besar. Mereka ingin mengobarkan api revolusi di Jakarta, dan merasa perlu menculiknya ke Rengasdengklok untuk meyakinkan bahwa rakyat memang sudah siap untuk merdeka dan menang. Ia menurut, dan mengikuti kemauan para pemuda. Kali itu, ia ingin menunjukkan bahwa pemberontakan dengan persiapan yang begitu kacau tidak akan berhasil. Tetapi sekaligus ia juga ingin menunjukkan bahwa hatinya adalah pada pemuda yang dengan penuh semangat ingin melihat negerinya merdeka sekarang juga. Ada semacam kerisauan dalam hatinya mengikuti perkembangan yang begitu cepat dan berbau anarki itu. Mungkin tidak diduganya sama sekali bahwa elan vital pemuda, yang selalu didengung-dengungkannya dalam sekian ratus atau mungkin ribuan rapat umum sejak dia berumur 19 tahun, akan mengambil bentuk seperti di rumahnya di Pegangsaan Timur dan memuncak dengan penculikannya ke Rengasdengklok. Wajah Chaerul Saleh, Sukarni, dan lain-lainnya itu sekaligus menggembirakan hatinya, tetapi juga menerbitkan rasa khawatirnya. Pengalamannya di penjara, pecah arang dengan kawan seperjuangan, dan pembuangan mengajarinya bahwa akhirnya kesabaran, perhitungan matang, dan kerja sama dengan teman yang akan menentukan. Mungkin, pada waktu itu, naluri mistiknya mengatakan bahwa saatnya memang telah tiba untuk mengumumkan kemerdekaan. Mungkin tidak seperti yang dibayangkannya semula bahwa akan seperti itu jadinya -- setidaknya bukan anarki. Tetapi satu hal yang ia pasti: pelaksanaan itu sejauh mungkin tidak boleh menumpahkan darah. Kemudian, di rumah Maeda. Alangkah sederhana, simple, akhirnya susunan proklamasi itu. Kritik beberapa pemuda bahwa proklamasi itu berbau Jepang dapat diatasi. Bulat sudah pendapat. Proklamasi itu akan dibacakan pukul 10 di Pegangsaan Timur bukan di Ikada, seperti maunya pemuda -- pada tanggal seperti yang dimauinya. Jumat Legi 17 Agustus 1945. Sekarang, hari sudah lewat subuh. Kopi yang tinggal separuh di cangkir sudah mendingin. Tubuhnya terasa lemas. Makin menggigil. Malaria yang didapatnya di Makassar tempo hari datang untuk ikut merayakan kemenangannya. Masih banyak surat yang harus ditulisnya, dan segera dikirimkannya kepada teman-teman di daerah agar menyebarluaskan kabar kemerdekaan. Waktu akhirnya Chudancho Latief Hendraningrat mengetuk pintu, badannya masih terkulai lemas di tempat tidur. Dikenakannya baju putih-putih, dan dengan perlahan, diiringi Hatta, Fatmawati, Trimurti, dan Sayuti Melik, ia pun melangkah menyaksikan dan mendengarkan sendiri suaranya dengan gagah (di mana malaria itu?), jelas membaca: kami bangsa Indonesia.... Soekarno mengisahkan kisah itu kepada Cindy Adams. Begitu juga dengan cara mereka sendiri, Legge, Dahm, Soebardjo, Adam Malik, Kahin, Hatta, dan entah siapa lagi, telah ikut memberikan tafsiran mereka pada peristiwa yang bersejarah itu. Barangkali tidak seorang pun, termasuk Soekarno, akan dapat dengan tepat menjelaskan kepada kita apa sesungguhnya yang telah menggerakkan roda-roda, yang akhirnya memulai mesin revolusi kita menggelinding. Tetapi tentang kegamangan, kesepian, kegusaran, keraguan, dan mungkin juga ketakutan yang dihadapi Soekarno menjelang proklamasi itu siapa yang sanggup mengisahkannya kepada kita? Puluhan halaman dan ratusan kata yang direkam Cindy Adams dari mulut Soekarno sendiri tidak cukup hidup mengisahkannya dalam buku itu. Kata-kata nyaring dari sang aktor itu sendiri ternyata juga tidak sanggup menjelaskannya kepada kita. Mungkin hanya Soekarno sendiri, waktu subuh menjelang Jumat Legi di kamarnya itu, waktu ia duduk merenung, yang akan dapat dengan utuh merangkum semua perasaan itu. Sayang, hanya dia juga yang akan mendapat hak istimewa untuk mendengarkannya. Apakah itu berarti bahwa kita (dengan cara sendiri) tidak akan mampu memahami kegamangan, kesepian, ketakutannya, dan tentu saja juga kegagahannya itu? Tentulah tidak. Karena kita mampu memahami semua yang dihadapinya itu, saya kira, kita ikut senang ia bersama Hatta mendapat anugerah Pahlawan Proklamator.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini