Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK banyak argumentasi yang bisa dipakai untuk menyanggah rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengembalikan kawasan Kalijodo sebagai ruang terbuka hijau. Terletak di tepi Sungai Angke dan Kanal Banjir Timur, Jakarta Utara, selama puluhan tahun penduduk di kawasan itu menempati lahan yang bukan miliknya.
Di tengah maraknya pembangunan gedung, jalan, dan bangunan lain yang mempersempit daerah resapan air, memperbanyak ruang terbuka hijau merupakan upaya yang patut disokong. Seraya mengembalikan fungsi lahan, pemerintah mendapat manfaat yang kedua dari "penghijauan" Kalijodo: dibongkarnya lokalisasi pelacuran yang telah berlangsung ratusan tahun, plus perjudian dan peredaran minuman keras.
Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama mengumumkan rencana pembongkaran Kalijodo setelah terjadi kecelakaan maut di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Pelaku mengaku menabrak korban setelah mabuk-mabukan di Kalijodo.
Kejahatan di Kalijodo memang bukan cerita baru. Menjadi lokalisasi pelacuran sejak masa kolonial, Kalijodo merupakan tempat bertemunya pelbagai orang dari berbagai ras. Sebuah studi mencatat Kalijodo berkembang bersamaan dengan masuknya Serikat Dagang Belanda (VOC) ke Batavia pada abad ke-17. Pendatang Cina di Batavia menjadikan Kalijodo sebagai lokasi mencari gundik.
Terletak berdekatan dengan pelabuhan Batavia, Kalijodo mudah dijangkau para pendatang. Para pedagang dan pelintas batas menjadikan kawasan ini sebagai tempat kongko di pinggir sungai yang ketika itu airnya belum sekeruh sekarang.
Lalu terbitlah pelacuran, judi, dan peredaran minuman keras—tiga "bisnis" dalam satu jalinan tali-temali. Juga kelompok-kelompok jagoan yang datang dan pergi. Selain dari Jakarta, kelompok Banten dan pendatang Sulawesi tercatat pernah menjadi "penguasa" Kalijodo. Berkali-kali perang antarpreman terjadi di sana—sesuatu yang berakhir dengan korban jiwa.
Premanisme tak pernah bertahan hidup tanpa beking aparat—juga di Kalijodo. Sudah menjadi rahasia umum, tentara dan polisi melindungi praktek ilegal di kawasan itu. Kuat diduga, praktek beking-membeking ini melibatkan pejabat di level yang tak rendah. Karena itu, tekad Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya Mayor Jenderal Teddy Lhaksmana dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian mendukung penertiban Kalijodo layak diawasi agar tidak berhenti hanya pada janji.
Pengembalian fungsi lahan—rencananya dilangsungkan pada awal Maret mendatang—hendaknya tidak dilakukan setengah hati. Gubernur Ahok sepatutnya tidak mengulangi kejadian pada 2002 dan 2010. Ketika itu, pemerintah DKI menggusur Kalijodo, tapi tak segera melakukan penataan kawasan, sehingga permukiman liar kembali tumbuh. Pemerintah sepatutnya menjelaskan rencana besar penambahan kawasan terbuka hijau di lokasi selain Kalijodo, termasuk lahan yang sudah dikuasai pengusaha besar. Pemaparan ini harus dilakukan untuk memastikan Gubernur tidak cuma berani menggusur rakyat kecil, tapi juga tak kecut terhadap penggede. Peta besar ini dapat pula menjadi ajang sosialisasi kepada penduduk kawasan yang bakal kena gusur.
Perihal pelacuran, pemerintah tak boleh menganggap persoalan selesai hanya dengan menutup lokalisasi. Sejumlah studi meyakini, justru dengan lokalisasi, efek buruk pelacuran bisa dikurangi. Penyebaran penyakit menular bisa dibatasi dengan pemeriksaan kesehatan secara teratur terhadappara pekerja seks.
Para pelacur yang tak dihimpun bakal menyebar tanpa bisa dikontrol. Menampung para pelacur di rumah susun, betapapun baiknya, bukan penyelesaian yang cespleng dan permanen. Tanpa keterampilan yang cukup, mereka secara sembunyi-sembunyi akan kembali buka praktek. Memulangkan mereka ke kampung halaman cuma memindahkan persoalan dari Ibu Kota ke daerah.
Pemerintah DKI selayaknya bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk mencari solusi alih profesi bagi para pelacur. Balai-balai latihan kerja kementerian itu sepatutnya dimanfaatkan. Lulusan balai latihan kerja selama ini diserap dalam pelbagai industri. Pelatihan dan penyaluran mereka harus menjadi bagian integral dari penertiban Kalijodo.
Bersikap tegas terhadap mereka yang mungkin akan bertahan di Kalijodo tentu tak ada salahnya. Tapi mengedepankan upaya persuasif sebaiknya tidak diabaikan. Mengembalikan kawasan terbuka hijau sedapat mungkin hendaknya dilakukan dengan damai. Main gebuk akan membuat Ahok diingat sebagai gubernur yang berani tapi abai terhadap hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo