MAMAN sopir saya orang awam, karena dia takut polisi seperti
takut sama setan. Bertahun di belakang setir sehingga faham
sejak beluk mesin dan peralatan jauh lebih mendalam dari letak
limpanya sendiri. Dia bicara sedikit tapi minum seperti angsa.
Selebihnya dia orang baik hati walau tidak pernah kena angin
penataran sedikit pun.
Dia berasal dari Rajapolah, dekat Tasikmalaya, tidur berbantal
gunung dan berguling bebukitan. Ikannya besar-besar, malah konon
ada ikan gurame sepemeluk dan sehasta, menurut cerita berasal
dari makhluk manusia yang karena bangkrut usaha kerajinannya
berkeputusan lebih baik jadi ikan saja. Maman saya ini begitu
indah dan halus bahasa Sundanya sehingga saking halusnya sering
sulit terdengar dan tertangkap telinga. Di luar dugaan, warisan
karuhun yang mahal harganya itu pada suatu waktu menimbulkan
kerepotan yang tiada taranya. Berbahasa Sunda kelewat bagus,
khazanah bahasa Indonesianya jadi terbatas.
Dalam keadaan normal, tampaknya tidak ada kesulitan yang
berarti. Tapi berhubung bahasa Indonesia bahasa yang berkembang
dan punya banyak jalur yang bisa dipilih sesuai dengan
keperluan, di sinilah Maman mulai bingung dan putus asa.
Misalnya, seumur hidupnya dia belum pernah mendengar kata
"lestari, berkesinambungan, pemerataan, pengarahan, pemantapan".
Belum lagi andai barisan kata-kata ajaib ini diperpanjang dengan
ikut sertanya "lugas, tuntas, mawas, umpan balik, dan hidup
sederhana". Rentetan kata-kata itu bagi Maman orang Rajapolah
dekat TasikmaIaa tak ubahnya seperti pawai mantera yang keluar
dari celah-celah gua Gunung Patuha sehingga perlu dicari dulu
kunci pemecahannya lewat bibir para sepuh yang bijak bestari.
Tapi, semuanya itu belum seberapa. Puncak dari kebalauan Maman
mencapai titik kritis tatkala terdengar olehnya istilah yang
paling mutakhir -- setidak-tidaknya untuk sementara waktu --
yang bunyinya "penyesuaian". Sedikit banyak aman saya mafhum
makna kata "sesuai" misalnya dalam kaitan kebaya bininya, karena
acapkali dia berkata "kebaya itu tidak sesuai dengan kamu karena
warnanya cocok untuk nenek-nenek." Belakangan ini telinganya
terasa kehabisan ruang untuk menampung macam-macam kata yang
menganung kata "sesuai". Misalnya: disesuaikan, menyesuaikan,
pehyesuaian, sudah disesuaikan, harap disesuaikan, berkat
penyesuaian. Apapun variasinya, maknanya satu juga: harga naik.
Berhari-hari Maman tercenung-cenung memikirkan sehabis akal
sebab apa menaikkan harga harus menggunakan istilah
"disesuaikan" karena dalam praktek uang yang mesti dikeluarkan
dari koceknya lebih banyak dari yang sudah-sudah untuk
memperoleh barang yang sama. Apa hubungan antara kata "sesuai"
dengan kata "naik". Maman menyesali dirinya, sambil
membentur-bentur kepala ke tembok, mengapa di masa remaja dia
tidak memperdalam bahasa Indonesia lebih baik lagi melainkan
dihambur-hamburkannya waktu yang amat berguna itu di atas
punggung kerbau. Di luar dugaannya sama sekali ada saat
kelemahan bahasa mampu membuat orang pening dan kesimak.
Tapi, syukur alhamdulillah. Tuhan masih menolong Maman. Dia
tersentak dan sadar, tidak ada faedahnya kejeblos dalam
rawa-rawa kelewat lama. Jika orang lain bisa "menyesuaikan",
mengapa dia tidak? Bukankah sama-sama menyuap nasi? Maka Maman
pun repot "menyesuaikan" apa saja yang dianggapnya perlu untuk
menyambung hidup.
Dia minta naik gaji, dia minta uang rokok, dia minta uang nyamuk
(karena digigit nyamuk berarti ongkos), dia minta uang pencegah
kantuk, dia minta uang kaget karena sopir lebih sering kaget
dari orang kantor. Kesemua ini saya penuhi karena saya lebih
faham makna "sesuai" baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Dan langkah penyesuaiannya yang terakhir -- dan terberat --
adalah minta sepatu buatan Italia yang pesial buat memenuhi
syarat-syarat pengendara. Ini pasti dibacanya lewat iklan
majalah TEMPO berkat sukses-sukses yang dicapai program "koran
masuk desa".
Sudahkah Maman puas dengan langkah penyesuaiannya? Tentu saja
belum. Dengan isyarat-isyarat yang mudah ditangkap -- seperti
kelasi memainkan lampu kode di haluan -- dia kepingin ikut raker
karena sopir yang ikut raker lebih tahu aturan ketimbang yang
tidak, dan dia kepingin adu untung jadi calon lurah yang lagi
musimnya. Dia siap menghadapi tes resmi maupun menandatangani
formulir apa saja entah yang terbuka entah yang tertutup. Dia
ingin memelihara kesinambungan karena konon kabarnya kakek dan
bapaknya juga pernah jadi lurah walau untuk itu mereka harus
mengorIankan tiga ekor sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini