Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sopir saya sekarang namanya ...

Sopir saya maman yang asli tasikmalaya bingung & putus asa mendengar istilah-istilah baru dalam bahasa indonesia. misalnya "penyesuaian" yang berarti "kenaikan". maka ia pun ingin kebutuhannya "disesuaikan".

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAMAN sopir saya orang awam, karena dia takut polisi seperti takut sama setan. Bertahun di belakang setir sehingga faham sejak beluk mesin dan peralatan jauh lebih mendalam dari letak limpanya sendiri. Dia bicara sedikit tapi minum seperti angsa. Selebihnya dia orang baik hati walau tidak pernah kena angin penataran sedikit pun. Dia berasal dari Rajapolah, dekat Tasikmalaya, tidur berbantal gunung dan berguling bebukitan. Ikannya besar-besar, malah konon ada ikan gurame sepemeluk dan sehasta, menurut cerita berasal dari makhluk manusia yang karena bangkrut usaha kerajinannya berkeputusan lebih baik jadi ikan saja. Maman saya ini begitu indah dan halus bahasa Sundanya sehingga saking halusnya sering sulit terdengar dan tertangkap telinga. Di luar dugaan, warisan karuhun yang mahal harganya itu pada suatu waktu menimbulkan kerepotan yang tiada taranya. Berbahasa Sunda kelewat bagus, khazanah bahasa Indonesianya jadi terbatas. Dalam keadaan normal, tampaknya tidak ada kesulitan yang berarti. Tapi berhubung bahasa Indonesia bahasa yang berkembang dan punya banyak jalur yang bisa dipilih sesuai dengan keperluan, di sinilah Maman mulai bingung dan putus asa. Misalnya, seumur hidupnya dia belum pernah mendengar kata "lestari, berkesinambungan, pemerataan, pengarahan, pemantapan". Belum lagi andai barisan kata-kata ajaib ini diperpanjang dengan ikut sertanya "lugas, tuntas, mawas, umpan balik, dan hidup sederhana". Rentetan kata-kata itu bagi Maman orang Rajapolah dekat TasikmaIaa tak ubahnya seperti pawai mantera yang keluar dari celah-celah gua Gunung Patuha sehingga perlu dicari dulu kunci pemecahannya lewat bibir para sepuh yang bijak bestari. Tapi, semuanya itu belum seberapa. Puncak dari kebalauan Maman mencapai titik kritis tatkala terdengar olehnya istilah yang paling mutakhir -- setidak-tidaknya untuk sementara waktu -- yang bunyinya "penyesuaian". Sedikit banyak aman saya mafhum makna kata "sesuai" misalnya dalam kaitan kebaya bininya, karena acapkali dia berkata "kebaya itu tidak sesuai dengan kamu karena warnanya cocok untuk nenek-nenek." Belakangan ini telinganya terasa kehabisan ruang untuk menampung macam-macam kata yang menganung kata "sesuai". Misalnya: disesuaikan, menyesuaikan, pehyesuaian, sudah disesuaikan, harap disesuaikan, berkat penyesuaian. Apapun variasinya, maknanya satu juga: harga naik. Berhari-hari Maman tercenung-cenung memikirkan sehabis akal sebab apa menaikkan harga harus menggunakan istilah "disesuaikan" karena dalam praktek uang yang mesti dikeluarkan dari koceknya lebih banyak dari yang sudah-sudah untuk memperoleh barang yang sama. Apa hubungan antara kata "sesuai" dengan kata "naik". Maman menyesali dirinya, sambil membentur-bentur kepala ke tembok, mengapa di masa remaja dia tidak memperdalam bahasa Indonesia lebih baik lagi melainkan dihambur-hamburkannya waktu yang amat berguna itu di atas punggung kerbau. Di luar dugaannya sama sekali ada saat kelemahan bahasa mampu membuat orang pening dan kesimak. Tapi, syukur alhamdulillah. Tuhan masih menolong Maman. Dia tersentak dan sadar, tidak ada faedahnya kejeblos dalam rawa-rawa kelewat lama. Jika orang lain bisa "menyesuaikan", mengapa dia tidak? Bukankah sama-sama menyuap nasi? Maka Maman pun repot "menyesuaikan" apa saja yang dianggapnya perlu untuk menyambung hidup. Dia minta naik gaji, dia minta uang rokok, dia minta uang nyamuk (karena digigit nyamuk berarti ongkos), dia minta uang pencegah kantuk, dia minta uang kaget karena sopir lebih sering kaget dari orang kantor. Kesemua ini saya penuhi karena saya lebih faham makna "sesuai" baik yang tersurat maupun yang tersirat. Dan langkah penyesuaiannya yang terakhir -- dan terberat -- adalah minta sepatu buatan Italia yang pesial buat memenuhi syarat-syarat pengendara. Ini pasti dibacanya lewat iklan majalah TEMPO berkat sukses-sukses yang dicapai program "koran masuk desa". Sudahkah Maman puas dengan langkah penyesuaiannya? Tentu saja belum. Dengan isyarat-isyarat yang mudah ditangkap -- seperti kelasi memainkan lampu kode di haluan -- dia kepingin ikut raker karena sopir yang ikut raker lebih tahu aturan ketimbang yang tidak, dan dia kepingin adu untung jadi calon lurah yang lagi musimnya. Dia siap menghadapi tes resmi maupun menandatangani formulir apa saja entah yang terbuka entah yang tertutup. Dia ingin memelihara kesinambungan karena konon kabarnya kakek dan bapaknya juga pernah jadi lurah walau untuk itu mereka harus mengorIankan tiga ekor sapi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus