SEORANG tukang gambar dari Bangladesh berpameran di Jakarta.
Kalidas Karmakar, 34 tahun, tanpa banyak publikasi memamerkan
sejumlah karya campuran grafis, gouache (cat plakat) dan goresan
pena di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, 6-13 Juni.
Memang dengan polos ia menyebut dirinya bukan pelukis yang baik,
tapi seorang penggambar cekatan. Agaknya ia tahu benar
kemampuannya. Dan ia mengaku benar-benar bertolak dari jiwa
Bangladesh. "Bagi saya aneh, kalau ada orang Bangladesh melukis
dengan gaya action paining. Itu tak ada dalam traisi kami."
Gambarnya memang bersuasana mirip relief di candi. Ada juga
yang dipadu dengan tempelan sobekan surat kabar. Dan meski
gambar-gambar itu menyarankan satu cerita, ia tak bermaksud
bercerita. Ketika menghadapi bidang gambarlah baru muncul
berbagai bentuk, dan begitu saja ia coretkan. Bisa dipaham kalau
kemudian ia hanya memberi judul karyanya, etsa atau lingkungan
begitu saja.
Tiadanya cerita tak berarti tak ada apa-apanya. Hampir semua
karya Kalidas bersuasana muram. Goresan garisnya, yang membentuk
gambar orang, atau hanya wajah, agaknya memang lahir dari
sesuatu yang susah disebut kebahagiaan. Wajah yang tanpa senyum.
Tulang-tulang rusuk yang ditonjolkan. Tangan-tangan yang
tengadah dalam satu karya mengesankan orang berdoa, dalam karya
lain seperti jeritan minta tolong.
Pilihan teknisnya pun mencampur berbagai grafis (etsa, akuatin,
intaglio) yang dipadunya dengan goresan pena dan sapuan cat --
dan menimbulkan efek sendiri. Etsa dengan goresan pena
menghasilkan garis-garis tajam. Akuatin melahirkan bidang warna
transparan. Cetak intaglionya memunculkan bidang timbul -- ini
sebuah usaha menerobos keterbatasan teknis ilusi ruang pada
bidang dua dimensi. Dan sapuan cat plakatnya memberi kesan
sendiri sedikit melunakkan ketajaman goresan garis.
Hasilnya, kemudian, bukanlah gambar-gambar protes yang
eksplisit, yang begitu jelas. Kalidas tentulah menyadari,
'pesan' yang begitu jelas dalam satu karya seni rupa bisa cepat
membuat karya itu kering dan karatan. Orang-orang kurus kering
pada bidang gambarnya ia sapu dengan bidang. Ini membuat gambar
enak dipandang. Dan dengan sapuan bidang yang mengaburkan itu
seolah ia mau menyampaikan, bahwa ada sesualu yang tetap tak
bisa dijelaskan.
Seniman yang telah mengadakan pameran di berbagai negara dl
Eropa dan Amerika ini, di negerinya sendiri memang mendapat
pengakuan. "Itulah kebahagiaan saya. Kalangan pencinta seni di
negara saya menghargai karya saya," katanya.
Itulah kecuali ia menyadari kemampuannya, pilihannya terhadap
media grafis ada latar belakangnya sendiri. "Karya grafis bisa
dicetak banyak, dan karena itu saya jual murah agar lebih banyak
orang bisa membeli." Menurut Kalidas rata-rata karya grafisnya
dijualnya sekitar Rp 30 ribu. Dibanding harga III kisan cat
minyaknya yang ratusan riburupiah, memang murah, dan juga sama
dengan harga yang diberikan para pelukis grafis di sini.
Tapi dibanding dengan pendapatan per kapita Bangladesh, jelas
mahal. ItuIah mengapa dia mengaku sering melepaskan karyanya
jauh di bawah harga-atau sama sekali malah memberikan gratis.
Kalidas yang sederhana ini sadar benar, ia warga sebuah negara
yang miskin dan padat penduduk. Catatan terakhir Bangladesh:
luas kawasan 144 ribu km persegi dan berpenduduk 85 juta hampir
sama dengan Pulau Jawa. Pendapatan per kapitanya kurang dari Rp
70 ribu (Indonesia lebih dari Rp 100 ribu).
Hidup Kalidas sendiri rupanya tak mudah. Istrinya berpulang
sepuluh tahun lalu, meninggalkan dua anak gadis. Katanya,
terpaksa anak-anaknya kadang dia titipkan pada teman-temannya.
Meski sakunya selalu penuh bila berada di luar negeri, di
negaranya sendiri ia mengaku sering harus numpang dan makan di
rumah teman. Karena itu ia terpaksa merangkap bekerja yang lain:
beberapa tahun menjadi disainer tekstil.
Tahun 1977-78 mendapat kesempatm memperdalam seni grafis di
Warsawa, Polandia. Sebelumnya, 1964, tamat belajar dari akademi
senirupa di Dacca .lan 1969 lulus dari akademi senirupa di New
Delhi, India. Bau surealisme dalam karya-karya 1979-nya, agaknya
diperoleh di negeri sosialis Polandia. Dan setahun yang lalu ia
menikah lagi -- dengan seorang wanita Eropa Timur itu.
Yang berharga kita lihat pada Kalidas, seperti dikatakannya
sendiri, berpijaknya ia pada lingkungannya dan tetap kreatif.
Juga kepekaannya dalam menggunakan berbagai media yang tepat,
untuk melontarkan gambar gagasannya yang ia rekam dari
kehidupannya sehari-hari. Ketika hendak dipotret, cepat ia
herkata: "Lebih baik saya buatkan sketsa wajah saya untuk anda."
Hasilnya adadi halaman ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini