I WAYAN DAWEG meletakkan palu dan pahat. Sambil mengisap rokok
dalam-dalam, tangan kirinya membebelah lembaran kulit yang
tengah ditatahnya. la bekerja dari pagi sampai lampu patromaks
menyala di rumahnya.
Pemuda Bali dari Desa Puaya, Kecamatan Sukawati, Gianyar, ini
adalah seorang pembuat pakaian tari. Ia menggantungkan seluruh
isi periuk nasi keluarganya pada pekerjaan ini. "Sawah kami tak
punya," ujar Wayan Daweg, ayah dari 2 orang anak.
Bengkel tempat kerjanya sederhan saja. Sebuah serambi terbuka
yang berukuran 6 x 9 meter, sebagian besar dari ruangan itu
penuh dengan lembaran kulit yang masih utuh atau sudah diukir.
Kalau sedang banyak pesanan, Wayan Daweg bersama 4 orang
pembantunya bekerja sampai jauh malam dibantu sinar patromaks
sewaan.
Kepandaian Wayan Daweg membuat pakaian didapat dari ayahnya yang
mewarisi keahlian itu secara turun-temurun. Begitu Wayan Daweg
tamat SMP, sang ayah menyerahkan seluruh roda perusahan ini
kepada anaknya. Karena sejak umur belasan tahun dia sudah
membantu ayahnya, tentu saja ia sudah cukup mengenal berbagai
model pakaian, misalnya untuk tari Tambulilingan, Panji Semirang
dan Ramayana. "Semua motif dan bentuk sudah saya hafal di luar
kepala," ujarnya.
Pembuat pakaian tari di Bali kebanyakan mempergunakan bahan
beledu, katanya, memang lebih murah dan mudah dikerjakan. Tapi
kalau kotor pakaian tari dari beledu lama kelamaan menjadi
jelek. Sementara yang dari kulit, bisa dicucl dan awet.
Menurut pengakuannya, dalam sebulan Wayan Daweg dan 4 orang
pegawainya bisa menghabiskan 150 kg kulit sapi mentah. "Jika
pesanan banyak, bisa lebih," kata orang Rali yang berkumis kecil
ini.
Proses pembuatan pakaian tari dari kulit memang lebih lama.
Untuk membuat sebuah udeng (tutup kepala), bisa menyita waktu 10
hari. Pertama-tama kulit harus direndam dulu sehari semalam.
Tiga hari kemudian kulit itu harus dibentang dan dikeringkan.
Baru kemudian diserut untuk diperhalus dan dip-tong menurut
model-model yang diinginkan.
Setelah selesai diukir, kulit ini masih harus dicat. Memang
cukup ruwet, tetapi kalau sudah selesai pakaian tari dari
kulit ini tampak cemerlang.
Wayan Dawe membawa sendiri setip pakaian tari yang telah
selesai ke toko langganannya di Kota Denpasar."Harga saya masih
rendah," ujarnya, tapi dengan begitu pakaian bisa cepat laku."
Dan sementara itu toko-toko yang selalu dititipinya pakaian tari
lebih banyak bersifat pasif. Artinya, tidak merasa perlu datang
ke rumah si pembuat. "Soalnya, jika kita pesan langsung,
harganya jadi lebih tinggi," ujar seorang nyonya yang mempunyai
toko di Jalan Gajahmada, Denpasar.
Tidak jarang pemilik toko menawar hasil karya seni busana tari
ini separuh harga. "Sering juga ditolak," kata Wayan Daweg,
"karena persediaan toko masih banyak." Padahal, Wayan Daweg
masih harus memberi makan dan menggaji keempat pembantunya.
Menurut pengakuan Wayan Sedia yang sudah bekerja pada Wayan
Daweg sejak 5 tahun lalu, setiap bulan rata-rata dia bisa
mengantungi Rp 20.000. Itu kalau kerja dengan kesibukan normal.
"Sayangnya, pakaian hanya laku kalau ada perayaan atau hari
libur," ujar Daweg.
Hari libur, berarti Bali banyak dikunjungi orang dan tentu ada
juga yang membeli pakaian tari. Di luar musim itu, berarti
hari-hari paceklik. "Kalau saya mencari kredit, apakah ada yang
memberi kredit lunak untuk usaha saya ini?" tanya Daweg dengan
nada ragu. Dia mencita-citakan memperbesar usahanya.
Dengan modal kecil, nasib para pembuat pakaian tari memang tak
begitu cerah. "Biasanya kalau sedang laris, uang saya tabung,"
ujar Saliman Hadi, pembuat pakaian tari di Kartopuran, Saja Jawa
Tengah. Dengan nada nrimo Saliman berkata lagi: "Tapi kalau
musim sepi ada juga yang pesan, itu namanya rezeki."
Dia mulai berkecimpung dalam bisnis ini sejak 1951. Ayahnya
pekerja di Keraton Kasunanan Surakarta. Karena itu Saliman
kenyang keluar masuk keraton dan sempat menekuni kesibukan para
pembuat pakaian tari di istana itu. Dulu, -- di kala keraton
masih berfungsi -- ada bagian khusus yang membuat pakaian tari
di keraton.
Menurut Saliman ia selalu memasang tarif "dengan sewajarnya".
Artinya tidak mengambil keuntungan berlebih-lebihan. Misalnya
pakaian lengkap untuk Gatotkaca, mulai dari mahkota, probo
(hiasan berbentuk sayap pada mahkota) sampai ke benggel (gelang
di kaki), dipasangnya tarif Rp 100.000. "Itu bisa ditawar kok,"
ujarnya lagi.
Ilham
Seperangkat pakaian Gatotkaca tersebut, bisa dirampungkannya
dalam waktu 10 hari. Tidak termasuk perhiasan, karena sudah ada
orang yang membuatnya khusus. Dalam seluruh proses pekerjaan,
selain sebagai tukang, Saliman sekaligus bertindak sebagai
majikan. Tapi istri dan kelima anaknya juga menjadi pendukung
usahanya.
Salah seorang anak gadisnya berbisik: "Saya nanti ingin
mengusahakan penjualan yang lebih baik, sistem yang lebih baik
dan mendapat pesanan yang lebih banyak." Sang anak menilai cara
ayahnya berkarya terlalu tradisional. Karena itu sulit
berkembang.
Saliman mengaku dia sering mendapat ilham untuk menciptakan mode
pakaian tari baru. "Tengah malam saya nyenyuwun (memohon),"
katanya, agar pakaian yang sedang saya rancang bisa jadi dengan
sempurna." Atau ilham dicarinya dengan mengunjungi ASTI (Akademi
Seni Tari Indonesia) di Yogya atau di Sala. Apalagi kalau musim
ujian di kedua sekolah tari tersebut, karena salah satu
pelajaran yang diuji ialah mencipta pakaian tari. Di situ
katanya ilham itu sering didapatnya.
Nasib pembuat pakaian tari di Bandung tidak segemerlap penari
yang sedang beraksi di atas pentas. Karena itu, jarang sekali
yang memilih profesi ini. Apalagi setiap penari tidak perlu
harus memiliki seperankat baju tari secara pribadi. Sebab
pakaian tari di kawasan Kota Bandung mudah didapat dengan cara
menyewa, bahkan meminjam secara cuma-cuma.
Nyonya Urti Atikah, 46 tahun, beberapa tahun yang lalu memang
pernah mencoba membuat pakaian tari sebagai barang dagangan.
Mulai dari pakaian tari termahal sampai yang termurah. Hasilnya
waktu itu memang lumayan. Tetapi karena arus beli pakaian tari
merosot, nyonya ini kemudian menghentikan usahanya. Bekas penari
ketika di masa mudanya ini, kini menjual jamu.
Hanya sesekali yaitu kalau ada orang memesan ia layani juga.
Biasanya menjelang pesta Agustusan. "Membuat pakaian tari tidak
ada rahasianya," ujarnya, "sama saja dengan tukang jahit biasa."
Sayangnya, tambahnya, pembuat baju tari masa kini main pukul
rata saja. "Dulu, bahan baju untuk Senapati harus beda dengan
Punakawan," ujarnya, "eh, kini, sama saja semuanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini