Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Hari-Hari Pembuat Pakaian Tari

Pembuat pakaian tari di bali maupun di jawa mengalami masa-masa paceklik. tidak jarang pemilik toko menawarkan hasil karya seni busana separuh harga tapi tetap ditolak juga.

21 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I WAYAN DAWEG meletakkan palu dan pahat. Sambil mengisap rokok dalam-dalam, tangan kirinya membebelah lembaran kulit yang tengah ditatahnya. la bekerja dari pagi sampai lampu patromaks menyala di rumahnya. Pemuda Bali dari Desa Puaya, Kecamatan Sukawati, Gianyar, ini adalah seorang pembuat pakaian tari. Ia menggantungkan seluruh isi periuk nasi keluarganya pada pekerjaan ini. "Sawah kami tak punya," ujar Wayan Daweg, ayah dari 2 orang anak. Bengkel tempat kerjanya sederhan saja. Sebuah serambi terbuka yang berukuran 6 x 9 meter, sebagian besar dari ruangan itu penuh dengan lembaran kulit yang masih utuh atau sudah diukir. Kalau sedang banyak pesanan, Wayan Daweg bersama 4 orang pembantunya bekerja sampai jauh malam dibantu sinar patromaks sewaan. Kepandaian Wayan Daweg membuat pakaian didapat dari ayahnya yang mewarisi keahlian itu secara turun-temurun. Begitu Wayan Daweg tamat SMP, sang ayah menyerahkan seluruh roda perusahan ini kepada anaknya. Karena sejak umur belasan tahun dia sudah membantu ayahnya, tentu saja ia sudah cukup mengenal berbagai model pakaian, misalnya untuk tari Tambulilingan, Panji Semirang dan Ramayana. "Semua motif dan bentuk sudah saya hafal di luar kepala," ujarnya. Pembuat pakaian tari di Bali kebanyakan mempergunakan bahan beledu, katanya, memang lebih murah dan mudah dikerjakan. Tapi kalau kotor pakaian tari dari beledu lama kelamaan menjadi jelek. Sementara yang dari kulit, bisa dicucl dan awet. Menurut pengakuannya, dalam sebulan Wayan Daweg dan 4 orang pegawainya bisa menghabiskan 150 kg kulit sapi mentah. "Jika pesanan banyak, bisa lebih," kata orang Rali yang berkumis kecil ini. Proses pembuatan pakaian tari dari kulit memang lebih lama. Untuk membuat sebuah udeng (tutup kepala), bisa menyita waktu 10 hari. Pertama-tama kulit harus direndam dulu sehari semalam. Tiga hari kemudian kulit itu harus dibentang dan dikeringkan. Baru kemudian diserut untuk diperhalus dan dip-tong menurut model-model yang diinginkan. Setelah selesai diukir, kulit ini masih harus dicat. Memang cukup ruwet, tetapi kalau sudah selesai pakaian tari dari kulit ini tampak cemerlang. Wayan Dawe membawa sendiri setip pakaian tari yang telah selesai ke toko langganannya di Kota Denpasar."Harga saya masih rendah," ujarnya, tapi dengan begitu pakaian bisa cepat laku." Dan sementara itu toko-toko yang selalu dititipinya pakaian tari lebih banyak bersifat pasif. Artinya, tidak merasa perlu datang ke rumah si pembuat. "Soalnya, jika kita pesan langsung, harganya jadi lebih tinggi," ujar seorang nyonya yang mempunyai toko di Jalan Gajahmada, Denpasar. Tidak jarang pemilik toko menawar hasil karya seni busana tari ini separuh harga. "Sering juga ditolak," kata Wayan Daweg, "karena persediaan toko masih banyak." Padahal, Wayan Daweg masih harus memberi makan dan menggaji keempat pembantunya. Menurut pengakuan Wayan Sedia yang sudah bekerja pada Wayan Daweg sejak 5 tahun lalu, setiap bulan rata-rata dia bisa mengantungi Rp 20.000. Itu kalau kerja dengan kesibukan normal. "Sayangnya, pakaian hanya laku kalau ada perayaan atau hari libur," ujar Daweg. Hari libur, berarti Bali banyak dikunjungi orang dan tentu ada juga yang membeli pakaian tari. Di luar musim itu, berarti hari-hari paceklik. "Kalau saya mencari kredit, apakah ada yang memberi kredit lunak untuk usaha saya ini?" tanya Daweg dengan nada ragu. Dia mencita-citakan memperbesar usahanya. Dengan modal kecil, nasib para pembuat pakaian tari memang tak begitu cerah. "Biasanya kalau sedang laris, uang saya tabung," ujar Saliman Hadi, pembuat pakaian tari di Kartopuran, Saja Jawa Tengah. Dengan nada nrimo Saliman berkata lagi: "Tapi kalau musim sepi ada juga yang pesan, itu namanya rezeki." Dia mulai berkecimpung dalam bisnis ini sejak 1951. Ayahnya pekerja di Keraton Kasunanan Surakarta. Karena itu Saliman kenyang keluar masuk keraton dan sempat menekuni kesibukan para pembuat pakaian tari di istana itu. Dulu, -- di kala keraton masih berfungsi -- ada bagian khusus yang membuat pakaian tari di keraton. Menurut Saliman ia selalu memasang tarif "dengan sewajarnya". Artinya tidak mengambil keuntungan berlebih-lebihan. Misalnya pakaian lengkap untuk Gatotkaca, mulai dari mahkota, probo (hiasan berbentuk sayap pada mahkota) sampai ke benggel (gelang di kaki), dipasangnya tarif Rp 100.000. "Itu bisa ditawar kok," ujarnya lagi. Ilham Seperangkat pakaian Gatotkaca tersebut, bisa dirampungkannya dalam waktu 10 hari. Tidak termasuk perhiasan, karena sudah ada orang yang membuatnya khusus. Dalam seluruh proses pekerjaan, selain sebagai tukang, Saliman sekaligus bertindak sebagai majikan. Tapi istri dan kelima anaknya juga menjadi pendukung usahanya. Salah seorang anak gadisnya berbisik: "Saya nanti ingin mengusahakan penjualan yang lebih baik, sistem yang lebih baik dan mendapat pesanan yang lebih banyak." Sang anak menilai cara ayahnya berkarya terlalu tradisional. Karena itu sulit berkembang. Saliman mengaku dia sering mendapat ilham untuk menciptakan mode pakaian tari baru. "Tengah malam saya nyenyuwun (memohon)," katanya, agar pakaian yang sedang saya rancang bisa jadi dengan sempurna." Atau ilham dicarinya dengan mengunjungi ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) di Yogya atau di Sala. Apalagi kalau musim ujian di kedua sekolah tari tersebut, karena salah satu pelajaran yang diuji ialah mencipta pakaian tari. Di situ katanya ilham itu sering didapatnya. Nasib pembuat pakaian tari di Bandung tidak segemerlap penari yang sedang beraksi di atas pentas. Karena itu, jarang sekali yang memilih profesi ini. Apalagi setiap penari tidak perlu harus memiliki seperankat baju tari secara pribadi. Sebab pakaian tari di kawasan Kota Bandung mudah didapat dengan cara menyewa, bahkan meminjam secara cuma-cuma. Nyonya Urti Atikah, 46 tahun, beberapa tahun yang lalu memang pernah mencoba membuat pakaian tari sebagai barang dagangan. Mulai dari pakaian tari termahal sampai yang termurah. Hasilnya waktu itu memang lumayan. Tetapi karena arus beli pakaian tari merosot, nyonya ini kemudian menghentikan usahanya. Bekas penari ketika di masa mudanya ini, kini menjual jamu. Hanya sesekali yaitu kalau ada orang memesan ia layani juga. Biasanya menjelang pesta Agustusan. "Membuat pakaian tari tidak ada rahasianya," ujarnya, "sama saja dengan tukang jahit biasa." Sayangnya, tambahnya, pembuat baju tari masa kini main pukul rata saja. "Dulu, bahan baju untuk Senapati harus beda dengan Punakawan," ujarnya, "eh, kini, sama saja semuanya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus