Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bukanlah makhluk manusiawi yang memperoleh pengalaman spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang mendapatkan pengalaman manusiawi. ~ Pierre Teilhard de Chardin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DE Chardin seorang pastor yang mungkin pernah mengalami krisis spiritual. Karena itu, saya menduga, pandangannya di atas bukan bagian dari khotbahnya sebagai agamawan, melainkan hasil perenungan dan pergulatan batin yang intens sebagai umat kebanyakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejalan dengan Chardin, William James, filosof cum psikolog yang tak mengasosiasikan dirinya dengan agama mana pun, pada 1904 menulis, “Lubuk paling dalam dari manusia adalah Diri yang bersifat sosial. Diri itu hanya bisa menemukan ketenangan dalam Teman (Socious) yang bisa diandalkan di dunia ideal.” Saya menduga dunia ideal yang ia maksudkan adalah spiritualitas.
Pernyataan De Chardin dan ramalan William James 120 tahun lalu itu terbukti benar setelah kita saksikan kehidupan beragama dan berspiritualitas merebak lebih dari setengah abad belakangan. Alvin Toffler di pertengahan 1970-an mengatakan di Amerika ada lebih dari 4.000 paguyuban keagamaan dan spiritual.
Pada 1965, majalah Time meramalkan agama akan hilang. Tapi, di awal 1990-an, majalah itu mengoreksinya dengan membuat laporan tentang kebangkitan agama dan spiritualitas. Survei terhadap 1.000 orang menyebutkan lebih banyak orang Amerika yang berdoa (bermeditasi) ketimbang pergi ke bioskop, berolahraga, dan berhubungan seks.
Peter Berger, sosiolog terkemuka abad ke-20, mengoreksi pandangannya bahwa modernitas akan menggerus agama. Kecuali di Eropa barat, dua dekade setelah bukunya terbit, The Desecularization of the World, agama dan spiritualitas justru bangkit dengan kekuatan besar.
Tapi apa itu agama? Apa pula spiritualitas? Pertanyaan itu penting diajukan mengingat belakangan ini merebak gerakan spiritualitas tanpa agama atau spiritualitas tanpa Tuhan alias spiritualitas sekuler. Di masa sebelumnya, spiritualisme selalu dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat ilahi (divine). Dalam spiritualitas tanpa agama atau tanpa Tuhan, sepintas unsur-unsur spiritualitas keagamaan raib.
Daniel Dennett, misalnya, berpendapat spiritualitas berkaitan dengan rasa terpesona dan sukacita serta kedamaian dan ketakjuban (terhadap kehidupan), tanpa keterlibatan Tuhan atau hal-hal yang bersifat supranatural. Spiritualitas bahkan bisa dipahami sebagai “sekadar” sikap welas asih dan kebaikan kepada kehidupan.
Sementara itu, spiritualitas keagamaan bersumber dari esensi yang berada di luar segala sesuatu yang ada di alam ini. Esensi tersebut berada di luar, atau di atas alam ciptaan, yang merupakan asal muasal atau akar (alfa-omega, sangkan paraning) ciptaan itu. Dengan demikian, esensi tersebut merupakan zat yang immaterial; zat yang sepenuhnya murni, subtil, inti yang tak dicampuri apa pun. Ia bersifat simpel dan tak terbagi-bagi. Sedemikian transenden sehingga ia disebut sesuatu yang hampa (void) tapi ada. Mengutip Ronggowarsito, suwung sakjatining isi—kosong tapi sejatinya isi.
Meski begitu, spiritualitas tanpa agama tak jarang memiliki gagasan umum yang sama dengan gagasan agama dalam urusan ketuhanan. Lebih dari satu abad lalu William James menyatakan sesungguhnya agama adalah spiritualitas itu sendiri. Baginya, agama adalah jawaban terlengkap semua pertanyaan tentang karakter alam semesta tempat kita tinggal.
Bisa ditambahkan: manusia spiritual tak jarang melihat dirinya sebagai benang yang berada dalam jaringan (tapestry) keseluruhan kehidupan.
Kenyataannya, ada sebagian dari kelompok spiritualis yang menyatakan diri tidak beragama tapi tetap bertuhan. Mereka biasanya kehilangan kepercayaan kepada aspek institusional atau keorganisasian agama karena kecewa pada peran negatif agama institusional. Sampai di sini Tuhan mereka percayai ada di dalam diri mereka (imanen)—suatu kesadaran yang lebih tinggi dari kesadaran ego individual. Dengan kata lain, Tuhan dipercaya telah meresapi manusia dan alam semesta (kosmos). Pandangan ini berbeda dengan Tuhan orang-orang beragama yang sepenuhnya transenden—sesuatu yang mengatasi dan terpisah dari ego individual. Yang terakhir ini bisa kita sebut sebagai spiritualisme panteistik.
Saya cenderung tak membedakan spiritualitas agama dan spiritualitas sekuler, bahkan ketika spiritualitas «hanya» diasosiasikan dengan sikap welas asih dan kebaikan. Bukankah puncak agama adalah sikap welas asih dan kebaikan hati? Mereka yang percaya pada keniscayaan nomos—dengan segenap ritual dan institusinya—sudah seharusnya melihat nomos sebagai sarana membina spiritualitas. Tuhan seyogianya dipandang sebagai mysterium tremendum et fascinans—sumber ketakjuban, kedamaian, dan keterpesonaan. Bagi saya, spiritualitas sekuler pada puncaknya adalah spiritualitas religius juga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo